21 | Enlightenment

338 59 11
                                    

Aku sedang mengepel lantai yang remang setelah kafe tutup sebelum sebuah bayangan menghalangi pekerjaanku. Aku mendongak dan mendapati si pemilik bayangan sedang berdiri dengan kaki yang terbuka, dan lengan yang bersilangan.

"Kalian berantem, ya?" tanya mbak Sheila, sambil menatapku dengan alis yang berkerut.

"Berantem? Siapa sama siapa?"

Aku bukannya pura-pura, tapi aku memang gak tau siapa yang dia bicarakan.

"Lo bego? Ya lo sama Karina, siapa lagi?"

"Gue gak ngerasa bego... but anyway, kok mbak mikirnya gitu?"

"Ya jelas lah kalo liat kalian berdua gak ngobrol sama sekali seharian ini"

Sambil bersandar ke tongkat pel, aku memikirkannya.

"...Iya kah?"

"Gue gak kaget sih, kerjaan lo bengong aja dari tadi sore"

Harus aku akui kalau dari tadi aku memang melamun karena terus mengingat ucapan detektif Kevin sebelumnya. Aku berusaha mencari cara untuk mematahkan hipotesis orang itu.

Tapi, semakin aku memikirkannya, semakin aku yakin kalau aku gak punya kesempatan untuk menang.

"Pokoknya, tinggalin kebiasaan jelek lo itu karena gue muak ngeliatnya!"

"Keberatan yang mulia!"

"Ditolak!"

Dia memang gak punya simpati.

"Oke gue lanjutin, Karina juga kelihatannya aneh. Kayak... dia ngedektin gue biar dia jauh dari lo" mbak Sheila berhenti sejenak, "Makanya, lo habis ngelakuin apa sih ke dia? Paling enggak lo bisa jelasin, mbak mau denger"

Seperti biasa, mbak Sheila sangat keras kepala dengan pendapatnya sendiri.

"Mbak gak mikir kalo gue bisa aja yang jadi korban di sini?"

"No, i'm on her side whatever happens"

"How is that fair?"

"Ohh, lo baru nyadar?" dia membalas keluhanku dengan acuh, "Dunia ini emang gak masuk akal dan gak adil. Makanya ada sistem kasta. Jadi kenapa gue harus repot-repot sok suci, if the world's system is already shit? I live by my own rules"

Pernah membayangkan bagaimana kalau kata 'egois' berwujud manusia? Aku yakin wanita ini akan muncul paling pertama di benak kalian.

"Prinsip gue simple, kan?"

Aturan mainnya hanya satu: semua keinginannya harus terpenuhi, gak peduli orang lain mau bilang apa. Itu saja, gak ada yang lain.

Tapi aku gak bisa membayangkan betapa sulitnya mentaati 'satu aturan' itu dengan konsisten. Karena itu bukan sesuatu yang semua orang bisa lakukan dengan mudah.

Its like she's playing her guitar without letting the noise of the world interrupt her concert.

"Iya, saking simple-nya gue sampe jealous..."

Sialnya, aku lumayan memahami tipe orang seperti dia.

Aku hanya bisa tertawa, sambil membayangkan mbak Sheila mengambil sebuah mic dengan satu tangan, lalu mengacungkan jari tengahnya pada orang-orang yang dibencinya, gak peduli seberapa tinggi kasta dan jabatan mereka.

"Oke, lo harus minta maaf sekarang"

"Ke mbak?"

"Bego... Gak ada gunanya minta maaf ke gue! Tuh orangnya. Lo harus minta maaf sama 'Tuan Putri' yang dari tadi udah nguping obrolan ini" kata 'Sang Ratu' dengan suara keras.

Moonlight 🌙 | Yoshi ft. KarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang