vii - Pesta Malam Hari pt. 2

162 55 3
                                    

Mereka berpandangan. Kaira berkedip sekali. Telunjuk Nala masih menusuk pipinya. "Menusuk" mungkin terlalu kejam dan tajam, tapi itulah yang terjadi. Sekarang Nala paham apa itu kesunyian yang lantang.

Dengan canggung ia menarik tangannya kembali. Terkekeh, yang sialnya menambah kecanggungan di antara mereka. Kaira diam, Nala juga berusaha diam tapi akhirnya malah melakukan hal yang mempermalukan diri sendiri.

"Kai nonton wayang juga?"

Kaira butuh cukup waktu untuk sekedar menjawab, "Iya."

Nala tersenyum, kemudian berubah menjadi tawa. Kaira menyusul dengan tawa pelan yang terdengar malu-malu (sebenarnya tidak malu-malu, suara tawanya memang sepelan dan selembut itu). Nala tertawa karena itu adalah satu-satunya cara untuk memecah kecanggungan (menurutnya). Sedang Kaira tertawa karena ... entahlah. Tidakkah kamu juga ingin tertawa apabila orang yang kamu suka tengah tertawa?

Lama sekali tidak bertatap muka. Baju one piece putih yang Nala rindukan. Aroma khasnya yang selalu melekat dalam kubus memori. Entah parfum yang disemprotkan, atau harum sabun mandinya yang semerbak. Kalau berada di samping Kaira, rasanya bunga pun kalah harum, kalah rupawan. Ingatkan ia untuk tidak pergi ke ladang bunga, atau mereka akan layu karena cemburu.

"Katanya nanti mau main kembang api. Kai ikut nonton, atau sekarang udah mau pulang?" tanya Nala. Mulut sampahnya itu selalu hati-hati saat bicara dengan Kaira.

Dia mengangguk dengan lucunya. Rambutnya goyang-goyang, tuing-tuing, saat mengangguk.

"Iya, aku di sini sampai kembang apinya selesai."

Mereka pergi menuju kursi-kursi di pinggir area lapangan. Mengobrol adalah salah satu cara melepas rindu. Mungkin rindu satu arah karena hanya Nala yang merasa.

"Sejak dua hari lalu aku nggak lihat kamu. Nala ke mana aja?" tanya Kaira, lalu seperti telah mengucap kata terlarang, ia menutup mulutnya dengan mata membola, "eh, gak sopan ya, itu 'kan privasi kamu. Maaf, ya."

Nala terkekeh. Ia menggeleng seolah berkata itu bukan masalah.

"Gak ke mana-mana, Kai, di rumah Nenek aja." Karena Nala yang tidak keluyuran mereka tidak dapat bertemu.

"Oh, begitu ...," sahut Kaira dengan bahu mengendur. "Padahal kamu gak ke mana-mana, ya? Aku juga tau rumah nenekmu di mana, tapi aku gak bisa temuin kamu karena gak ada inisiatif ke sana sendiri," lanjutnya dengan nada kecewa.

Ada apa, sih? Nala sebegitu dirindukannya kah? Aduh, jangan bikin Nala geer, deh. Ia bisa terbang sekarang juga dengan daun telinga yang mengepak bagai sayap burung.

Nala memiringkan kepala, super bingung.

"Itu, lho! Petak umpetnya! Kamu 'kan udah sering temuin aku lebih dulu, harusnya gantian aku yang temuin kamu," jelasnya menggebu-gebu.

Dia ini usia berapa, sih? Lucu sekali gerak-geriknya. Dugaan Nala, anak SMP. Kalau benar, Nala harus mundur teratur berarti. Menunggu gadis itu melewati usia tujuh belas manisnya, barulah Nala berani.

"Sayang banget, ya? Mungkin kamu payah jadi yang jaga," katanya main-main, "besok-besok, biar aku aja yang cari kamu."

Kemudian dahi Kaira mengerut berupa tindak protes. Ia menggerakkan jari telunjuk di depan wajah Nala ke kanan-kiri. "No, no, no. Sekali-sekali aku juga pengen jadi yang jaga."

"Oke, kalau begitu kapan-kapan cari aku, ya? Jangan payah-payah, nanti gak ketemu lagi," kata Nala, masih dengan nada mengejek.

"Kemarin aku lihat kelinci liar, lho! Kamu nggak ada, sih," pamer Kaira dengan dagu terangkat.

"Lho, serius? Di mana? Kok, bisa?" Desa ini mengagumkan. Rumah Nenek mengagumkan. Kelinci liar! Nala belum pernah lihat, lho. Ternyata betulan ada, ya?

"Serius! Di dekat rumahku, dia—uhuk, maaf, Nala—" ia terbatuk sambil memalingkan wajah.

Nala meringis khawatir. Ia mengintip wajah Kaira yang tampak begitu kesusahan. Hingga batuknya reda, gadis itu tersenyum.

"Kai lagi kurang sehat, ya?"

Kaira menggeleng. "Udah biasa, kok! Karena udaranya aja."

Nalurinya membawa Nala melepas jaket yang bertengger di tubuh. Kain itu berganti menyelimuti bahu Kaira yang memasang wajah bingung. Dia hendak mengembalikannya pada Nala, namun terhenti ketika cowok itu berkata,

"Pake."

Dengan sekejap Kaira menurut. "Terima kasih, Nala."

"Kamu ke sini sendirian?" Dijawab anggukan. "Aku antar pulang, ya?"

"Enggak usah, Nala, aku bisa sendiri, kok! Beneran," kata Kaira disertai tangan yang membentuk pose peace.

"Kamu itu perempuan, Kai. Gak baik malam-malam pergi sendirian," sahut Nala. Ia menghela napas. "Bukan, bukan. Aku gak tenang kalau kamu pulang sendirian."

Kaira mengalihkan pandangan. Sisi wajahnya panas di antara udara malam yang dingin. Ia menyentuh pipinya yang memerah. Dengan hati-hati mendongakkan kepala dan bertanya dengan suara kecil, "Sekarang?"

Nala menipiskan bibir, lalu mengangguk.

Nala berjalan lebih dulu, Kaira mengikuti di belakang. Nala izin pada nenek untuk pulang lebih dulu. Mereka pun meninggalkan area kantor kepala desa. Nala berusaha melambatkan langkah karena Kaira terus tertinggal di belakang (atau ia tidak mau berjalan beriringan dengan Nala?).

Terdengar suara ledakan. Nala berhenti karena Kaira menarik bagian belakang bajunya.

"Nala! Nala, lihat, deh."

Dia terus menarik-narik baju Nala sampai cowok itu mengalah dan memutar badan. Di langit sana, bulan bukan satu-satunya yang bercahaya. Suara ledakan terdengar lagi, kemudian suara yang mengejutkan berganti dengan nyala kembang api di langit. Nala tertegun hingga tak sadar mulutnya setengah terbuka. Kaira bertepuk tangan dengan semangat, sebagaimana ia memberi tepuk tangan pada pertunjukan wayang tadi.

Nala berganti menoleh pada Kaira yang lebih pendek darinya. Mata gadis itu menyala-nyala dari pantulan cahaya kembang api. Senyumnya lebar hingga pipinya tampak berkali-kali lebih chubby dari biasanya. Sudut bibirnya tertarik. Nala mengaitkan ritsleting jaket yang dikenakan Kaira, menaikkannya sampai sebatas leher.

"Ayo," ajak Nala. Ia meraih tangan Kaira dan mulai berjalan.

Satu hal Nala sadari, ia begitu banyak bicara bersama orang yang diistimewakan hatinya. Rasa nyaman adalah faktor utama. Rasanya ia bisa bicara sepanjang hari bersama Kaira. Satu hal lagi, ia begitu menyukai namanya. Apalagi ketika suara kelewat lembut milik Kaira yang memanggil. Nala tidak keberatan dipanggil seribu kali pun.

Bersambung ...

Kunjungan Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang