xi - Libur Telah Usai

153 47 3
                                    

Abadi memang ada dalam kamus, namun tidak dengan dunia ini. Yang abadi hanya Tuhan, dan hubungan antar manusia sama tipisnya dengan benang yang mudah putus. Namun orang-orang selalu berusaha menjaga benang tersebut. Dilindungi agar tidak hancur, berhati-hati agar tidak putus begitu saja. Pada akhirnya benang-benang itu akan selalu putus. Lekang oleh waktu, atau sebuah serangan dadakan yang tak pernah disangka.

Hujan membuat Nala tidak bisa pergi ke mana pun. Apakah sudah masuk musim penghujan? Namun seseorang pernah bilang pada Nala bahwa musim hujan di bulan Juni itu tidak benar. Kalau kata Nenek, ini rahmat Tuhan sebelum bumi Indonesia diterjang kemarau yang panas. Sedangkan kalau kata Kakek, ini hujan buangan dari pawang hujan di suatu daerah. Pola pikir yang berbeda mungkin yang menyebabkan mereka bertahan sampai di hari tua.

Nala menatap tetes hujan yang datang beramai-ramai lewat jendela. Hawa dingin menyapa namun ia tak kunjung beranjak dari kursi ruang tamu. Nenek datang membawakan segelas teh hangat.

"Buat ngangetin badan," katanya sebelum melenggang masuk ke kamar.

Nala masih merenung. Firasatnya begitu buruk tentang sesuatu.

Pada keesokan hari, Nala bangun kelewat siang. Ia menggaruk perut seraya berjalan keluar kamar. Di meja makan tentu kosong tanpa Kakek yang menyantap sarapan. Semua mungkin sudah selangkah lebih awal dari Nala yang kesiangan. Nenek mengantar nasi uduk ke warung Bu Jum, dan Kakek yang mengurus peternakan serta lahan taninya. Nala tersenyum senang karena hujan tidak lagi menghujam bumi. Bergegas ia mandi dan bertukar pakaian. Tidak ada waktu untuk sarapan, cowok itu langsung berlari keluar rumah.

Ladang bunga matahari menjadi tujuan utama. Ke mana lagi ia bisa pergi selain tempat penuh warna kuning itu? Mata Nala nyalang melirik ke sana kemari. Ia mencari bunganya, bunga yang senantiasa berbalut gaun putih cantik bak seorang putri kerajaan. Hasil pencariannya nihil. Bunga yang Nala cari tidak ada di sana. Baik di antara kuningnya bunga matahari, maupun di puncak bukit yang sunyi.

Hembusan angin datang bersama udara dingin. Terdengar guntur yang menyeramkan disertai awan hitam bergerak. Nala bergegas kembali karena hujan akan kembali membasahi bumi.

Mungkin tidak hari ini.

***

Hari demi hari berlalu. Nala merasa ia harus mulai menghitung hari di mana Kaira sama sekali tak bisa ditemui. Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu. Empat hari lewat sejak menghilangnya ia entah ke mana. Selama empat hari juga Nala tak berhenti mencari, mengunjungi tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi berdua. Tidak bosan-bosannya ia mengunjungi bukit ladang bunga matahari. Terkadang hanya sekedar mampir, ataupun menetap untuk sekedar berbaring di bawah langit biru. Karena Nala percaya, ia akan menemukan Kaira lagi di sana.

Senin, Selasa, Rabu, Jumat. Menginjak kembali hari Sabtu, Nala baru kembali dari ladang bunga matahari. Tidak pernah absen ia pergi ke sana. Sempat berpikir ia gila karena biji bunga matahari mendadak menjelma menjadi wajah gadis manis berponi rata itu.

Lewat sepuluh hari kehidupan Nala di rumah Nenek tanpa menemui Kaira. Mungkin ia bukan lagi pencari yang andal. Mungkin kemampuan bermain petak umpet Nala sudah menumpul. Atau Kaira terlalu ahli bersembunyi.

Di hari kesepuluh ini juga, Nala menerima pesan dari Bunda.

Bunda Elis: La, gimana di kampung sana? Lusa Bunda sama Ayah jemput, ya. Kalau ada oleh-oleh yang mau dibeli, mending dibeli sekarang, mumpung hari Minggu. Bunda nitip daster tiga buah, ya, La.

Oh, masa liburan sudah hampir usai ternyata.

Nala memberitahu Nenek perihal isi pesan dari Bunda Elis. Kemudian di sore hari mereka pergi ke pasar bersama untuk membeli titipan Bunda tentunya. Tepat ketika Nala memasuki pintu pasar, pesan beruntun dari Hana masuk.

Hana: Abaaaaanggggggg.
Hana: Aku juga mau nitip oleh-oleh, hehe.
Hana: Uangnya nanti aku ganti, setengah.
Hana: List-nya setelah pesan berikut ini.

Lalu masuk lagi satu buah bubble chat yang lebih panjang dari sebelumnya. Nala membaca daftar oleh-oleh yang diinginkan Hana dengan saksama. Mulutnya ternganga, terlalu kaget karena Hana yang banyak mau.

Nala: Kalo uangnya cukup, ya. List oleh-oleh udah kayak belanja bulanan.

Hampir tiga minggu mereka tidak bertemu. Mungkin sekarang bisa merasa rindu, tapi saat bertatap muka, yakin seribu persen argumen tak berguna akan kembali diperdebatkan.

Nala menyimpan kembali ponselnya ke dalam kantong celana dan menyusul Nenek yang sudah berjalan lebih dulu.

***

H-1 pulang. H+11 bertemu Kaira. Pertemuan terakhir mereka adalah sebelas hari lalu, Nala mengantar gadis itu pulang ke depan gerbang rumahnya. Rumah paling modern dari yang pernah Nala lihat di desa itu. Satu hari sebelum Nala kembali ke rumah. Satu harapnya, agar ia bisa berpamitan sebelum benar-benar meninggalkan desa ini.

Terkadang ia kesal dengan Kaira yang tidak pernah mengajaknya bertukar ID Line. Kesal juga dengan Nala yang selalu lupa meminta nomor telepon gadis itu tiap tengah bersamanya.

Di hari kesebelas tanpa Kaira, satu hari sebelum ia kembali ke Jakarta, Nala putuskan untuk pergi ke rumahnya. Dengan sengaja ia melewati ladang bunga matahari, masih dengan harapan sama untuk bertemu dengan Kaira secara ajaib di sana. Sayang Nala harus mendesah kecewa kembali karena ia adalah satu-satunya manusia di sana yang melintas.

Sampai di depan pintu gerbang yang tak terlalu tinggi, Nala menekan bel. Bel pertama, tak ada yang menyahut. Ia tunggu beberapa saat sebelum kemudian membunyikannya lagi. Sampai tiga kali bel dibunyikan, hasilnya tetap sama. Ingat pesan Bunda Elis tentang mengetuk pintu tetangga sebanyak tiga kali, dan pergi setelahnya ketika tidak mendapat jawaban. Jatah menekan bel Nala sudah habis. Karena tak ada jawaban berarti, ia putuskan untuk kembali.

Minggu terakhir bulan Juni yang seharusnya menjadi pembuka bagi musim kemarau, kini kembali diisi oleh air hujan. Cuaca tak menentu, mungkin akibat dunia yang sudah semakin tua dan lelah. Nala berjalan dengan gegas. Ia basah kuyup sesampainya di rumah Nenek. Wanita di usia senja itu kaget bukan main, kemudian berlari mengambil handuk. Nala diperintahkan untuk mandi air hangat sebelum akhirnya disuguhi teh panas. Cowok itu bersin-bersin dengan kepala berputar. Flu menjemputnya. Atau Nala yang menjemput flu.

Nala tertidur setelah menghabiskan segelas teh panas. Masih ada hari esok untuk berpamitan. Ia harus pulih dengan cepat.

Bersambung ...

A/N: liburan Nala udah mau selesai, begitu juga dengan tulisan ini hehe

Kunjungan Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang