viii - Musik yang Didengar

181 54 3
                                    

Dari seluruh tempat yang ada di desa ini, Nala paling suka bukit ladang bunga matahari (setelah rumah Nenek, tentunya! Rumah Nenek paling nyaman sedunia, makan gratis, tidur gratis, kasih sayang gratis). Di tempat seindah itu, entah bagaimana tidak banyak orang berkunjung, atau bahkan sekedar lewat. Kalau Nala bawa kawan Jakartanya kemari, mereka pasti sibuk berswafoto untuk diunggah di media sosial. Sayang sekali, sekaligus puji syukur tempat ini sepi.

Cuacanya baik, udaranya baik, kondisi hatinya juga sangat baik. Nala rebah dengan lengan sebagai bantalan. Ketika matanya terpejam, ia seolah dapat dijemput ke alam mimpi sekarang juga. Semilir angin yang menyapu wajah tambah membuatnya mengantuk. Atau mungkin Nala memang mengantuk tiap hari, tiap saat. Apalagi setelah berbaring di atas rumput tebal yang empuk.

Suara langkah kaki membuat Nala penasaran dan menoleh untuk memastikan. Beruntung sekali, kali ini tidak perlu banyak paragraf untuk dapat bertemu dengan Kaira kembali. Lihatlah, cewek itu tengah berjalan kemari sambil menggendong seekor kelinci di tangan kanan dan buku catatannya di tangan kiri. Buku itu, yah, buku legendaris kalau kata Nala. Kaira betulan bisa menghabiskan waktu satu jam hanya untuk menulis di sana. Nala merasakan sendiri, bengong menemani Kaira yang kebanjiran ide di kepala.

"Kai, sini!" panggil Nala sambil mengangkat sebelah tangannya.

Kaira yang sibuk bicara dengan kelinci langsung mengangkat kepala. Wajah bingungnya langsung berganti dengan senyum lebar. Gadis itu melambai dengan kedua tangan, total lupa bahwa sebelumnya tengah membawa kelinci dan buku. Buku yang terselip pena di dalamnya terjatuh. Makhluk bertelinga panjang langsung melompat ke sana kemari. Kai memekik memanggil si kelinci agar kembali padanya.

Bosan memperhatikan dari jauh, Nala menghampiri setelah menghilangkan sisa tawanya. Bagaimanapun ia harus terlihat cool, keren, kece badai.

Nala mengangkat kelinci yang kini terdiam dengan kedua tangan. Terlihat begitu mudah dan tanpa perlawanan. Dengan penuh kehati-hatian, ia serahkan seonggok makhluk berbulu pada uluran tangan Kaira. Gadis itu tersenyum pada si makhluk berbulu, bahkan diciumi pipi dan puncak kepalanya.

"Ini kelinci yang kemarin-kemarin aku ceritain," Kaira menyodorkan kelinci ke depan wajah Nala, "aku pikir dia kelinci peliharaan yang hilang, deh, bukan kelinci liar."

"A-ah, iya ...," sahutnya gugup. Binatang dengan telinga panjang yang ujung hidungnya (tidak yakin itu hidung atau mulut) terus bergerak tengah menatapnya dengan tak acuh. Sebelumnya Nala adalah orang takut kucing, ternyata ia takut pada seluruh hewan berbulu.

"Nala, bulu dia halus banget, lho! Coba elus bulunya, deh," kata Kaira disertai senyum. Lihatlah matanya yang berbinar-binar itu. Mata yang membuat Nala susah menolak.

"Aku boleh pegang?" tanyanya berusaha mengulur waktu.

Kaira mengangguk antusias.

Dengan gerak patah-patah tangannya mulai terangkat. Ayo, Nala! Tadi 'kan bisa mengangkat si Bulu Kuping Panjang, sekedar mengelus bukanlah apa-apa! Dengan begitu Nala meneguhkan hati. Tangannya mendarat, kemudian memberi elusan ringan.

"Wah, iya, halus." Ia tersenyum bodoh. Ternyata tidak semenggelikan bayangannya—

"Nala, tapi itu tanganku."

***

"Hari ini Kai mau nulis apa?"

Kaira menoleh dengan senyuman. Di pangkuannya sudah siap sebuah buku dengan halaman kosong terbuka dan pena. "Rahasia," jawabnya.

Iya, mereka berpura-pura seolah adegan salah memegang bulu kelinci itu tidak pernah terjadi. Karena Nala malu sekali. Karena Kaira tahu Nala malu sekali. Sangat pengertian, bukan? Bukan.

Kalau kalian tanya bagaimana keadaan kelinci yang diberi nama "Kelinci" itu, Kaira baru saja melepasnya. Melepas dalam maksud, membiarkan dia berada di atas bumi pertiwi ini tanpa ada yang memegangi. Kelinci langsung melompat ke sana kemari. Nala khawatir dan bertanya apakah Kelinci tidak akan hilang. Kaira lantas tersenyum lebar dan berkata bahwa Kelinci akan kembali dengan sendirinya. Hubungan antar hewan peliharaan dan majikan yang luar biasa. Yang utama itu rasa percaya.

Kalau kalian bertanya siapa yang memberi nama Kelinci pada kelinci, jawabannya adalah Kaira. Jangan tanya kenapa, ia hanya malas berpikir.

Ini adalah kegiatan biasa yang biasa mereka lakukan. Berada di atas rerumputan. Kaira dengan pena dan bukunya sibuk sendiri, sementara Nala hanya berbaring tak jauh darinya. Namun bukannya Nala jadi satu-satunya pengangguran yang sangat nganggur di sini. Nala bekerja juga, kok. Kerjanya memandang langit, menghitung awan-awan yang bergerak. Kadang kalau ada awan berbentuk lucu, Nala memberitahunya pada Kaira. Jangan salah, katanya Kaira banyak mendapat inspirasi dari awan-awan. Intinya, Nala ini juga cukup sibuk.

Namun hari ini, Nala tidak hanya memandang langit dan menghitung awan. Ia membawa ponsel pintarnya beserta earphone. Sebelah kepala earphone disangkutkan pada telinga kanannya. Nala bergeser mendekati Kaira. Gadis itu menaruh pena, sekejap berhenti menulis dan berganti memandang Nala di sampingnya.

"Kenapa?" Kaira terkekeh melihat Nala dari jarak sedekat ini. Maksud dekat di sini bukan seperti engkau bisa merasakan napas lawanmu. Maksud dekat di sini adalah lebih dekat dari sebagaimana situasi yang pernah mereka lewati berdua. Walau baginya ini "dekat", tapi mustahil untuk berpelukan dengan nyaman dari jarak ini. Kaira mohon, jangan salah paham. Tapi, mereka memang dekat, tapi tidak sedekat itu. Maksudnya, jarak mereka dekat—

"Mau dengar lagu bareng?" Nala menawarkan, lantas tangannya terulur untuk memasangkan sebelah earphone pada telinga Kaira.

Tangan yang lebih kecil dari milik Nala mencegahnya. Nala mengernyit, menatap Kaira dengan bingung dan sedikit terluka. Dia enggan mendengar musik bersamanya? Atau takut selera Nala payah sehingga ia tidak suka? Atau Kaira tidak ingin berbagi earphone dengan Nala—

"Kamu tau, gak? Kalau musik itu bisa membangkitkan memori. Kalau kamu dengar lagu bareng orang lain, kamu bakal ingat sama orang itu waktu dengar lagu yang sama lagi. Kenangan bersamaku mungkin bakal terlintas lagi di kepala kamu kalau kamu dengar lagi lagu-lagu yang sama," Kaira tersenyum teduh, "aku gak tau di masa depan nanti, aku bakal jadi kenangan baik atau buruk buat kamu."

Di luar dugaan, respon yang Nala berikan adalah sebuah tawa. Dia tertawa begitu renyahnya hingga mata menyipit. Gerakan selanjutnya adalah Nala yang memasangkan earphone ke sebelah telinga Kaira tanpa ragu. Gadis itu terkejut hingga kedua matanya membulat.

Seketika alunan musik pembuka dari lagu milik Dan + Shay dan Justin Bieber berjudul 10.000 Hours memasuki indra pendengarnya.

"Kamu bakal jadi kenangan indah, pasti," kata Nala, menatap hamparan bunga matahari di depan sana.

Kaira terperangah. Ia terjatuh, lagi dan lagi. Jatuh seharusnya menyakitkan, dan jatuh cinta memang menyakitkan. Namun ia biarkan dirinya jatuh berkali-kali dalam pesona Nala yang luar biasa. Berkali-kali ia dibuat berdebar gila olehnya. Berkali-kali ia dibuat begitu nyaman saat berada bersamanya. Jatuh seorang diri tidaklah menyenangkan. Namun ia tidak ingin tahu, apakah Nala turut jatuh bersamanya. Apakah Nala pernah berdebar saat bersamanya sebagaimana ia. Bila jawabannya iya, maka akan sangat menyenangkan. Bila jawabannya tidak, maka itulah kenapa Kaira tidak ingin tahu. Jatuh suka seorang diri kadang tidak terlalu buruk.

"Kalau lihat hal-hal indah, aku pengen cepat-cepat pegang pena dan menulis puisiku," Kaira berkata pelan, "kalau lihat kamu, aku pengen menulis puisi tiap waktu." Ia tak mengalihkan wajahnya dari hamparan bunga matahari di depan sana, enggan menatap Nala dengan pipi yang merah padam.

I'd spend 10.000 hours, and 10.000 more

Oh, if that's what it takes to learn that sweet heart of yoursAnd I might never get there, but I'm gonna tryIf it's 10.000 hours or the rest of my lifeI'm gonna love you

Sepuluh ribu jam, mungkin adalah waktu yang panjang. Namun Nala merasa dapat melewatinya dengan singkat, apabila Kaira ada di dalamnya. Karena hari-hari yang dilewatkan bersamanya terasa menyenangkan. Karena tiap jam terasa secepat detik berjalan. Karena saat bersamanya, dunia seolah ingin mereka cepat berpisah karena begitu cepat langit berubah gelap.

Ah, mendengar musik tidak pernah semenyenangkan ini.

Bersambung ...

Kunjungan Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang