Hampir semalaman ia tak bisa tidur. Suara cicak yang berdecak-decak berisik terdengar seperti alunan mantra pemanggil makhluk halus. Tikus mencicit dari arah luar. Tiap suara yang ada membuat Nala terjaga lagi dan lagi. Satu-satunya suara yang membuatnya tenang hanya 'lah kokokan ayam. Begitu Nenek mengetuk pintu, Nala pura-pura tertidur dalam balutan selimut.
Nala, sedikit sembrono dan manja (tanpa sadar). Main game adalah hobi. Semua jenis permainan sudah ia jejaki. Bahkan permainan hantu sekalipun. Nala anak kota dengan pemikiran modern, tidak percaya dengan hal tak logis seperti hantu. Semalam adalah kali pertama ia melihat sosok bergaun putih dan langsung parno setelahnya. Cih, dasar penakut.
Nenek tidak memasak untuk sarapan. Nala diajak pergi ke pasar untuk membeli sarapan dan kue-kue. Sebenarnya ia malas. Jangankan Nenek, Bunda Elis yang mengajak saja sering ditolak. Namun kali ini Nala turut ikut demi mengalihkan pikiran dari gadis (entah manusia atau bukan) yang dilihatnya tadi malam. Kasihan si tampan itu, handuk putih yang tengah dijemur saja membuatnya berjengit. Setidaknya begitu 'lah cara Nala mengasihani diri. Ia narsis dan penakut di satu waktu.
Pasar bukan tempat yang menyenangkan bagi Nala yang benci ramai. Karena itu, setelah mendapat sarapan dan kue basah yang diinginkan, ia buru-buru mengajak Nenek pulang.
"Kamu pulang duluan aja, Nenek masih mau hunting sayuran," ucap Nenek lembut disertai senyum. Gawat, tutur bicara Nenek sudah terkena dampak westernisasi. Apakah rambut putihnya bukan uban melainkan disemir.
Mengesampingkan Nenek yang terkena dampak westernisasi, Nala menuruti perkataan Nenek dengan dalih tidak ingin jadi cucu durhaka. Kembali dari pasar dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan, satu per satu kue basah mulai berkurang jumlahnya. Nala punya dua tangan, yang satu untuk membawa plastik belanja, yang satu lagi untuk membawa kue-kue ke dalam mulut.
Nala melewati pepohonan lebat di samping rumah. Area yang semalam membuatnya menggelinjang ketakutan. Malam hari yang gelap membuatnya tampak menyeramkan, padahal tampak begitu menyenangkan di siang hari. Nala tertawa kecil melihat semak-semak tempat sosok bergaun putih itu muncul semalam. Bukankah kemarin ia begitu penakut? Semua karena kegelapan yang menyelimuti, Nala itu cukup pemberani, lho!
Lalu ia terjatuh ke belakang begitu sosok bergaun putih muncul kembali dari balik semak-semak. Nala yang barusan mengaku pemberani, kini tengah menutupi wajah dengan kue lapis warna-warni yang sudah digigit ujungnya.
"Maaf, maaf, janji gak ganggu, maafin ...," ujarnya dengan suara bergetar.
Hantu yang muncul di pagi hari pasti adalah sosok hantu terkuat yang menjadi penguasa alam gaib. Setidaknya begitulah yang Nala pikirkan. Ia tambah ketakutan karena pikirannya sendiri.
Si Hantu melangkah mendekat. Nala memang memejamkan mata, tapi ia dapat merasa. Daripada kabur, dirinya malah terduduk dengan begitu tak berdaya, seakan menunggu sang Hantu untuk melahapnya. Tunggu, apakah Nala betulan bisa dilahap hantu?
"MAAF! Gue gak ngapa-ngapain, sumpah. Maafin," ujarnya setengah menjerit karena dirasa si Hantu semakin dekat dengannya.
Wajah si Hantu sepertinya tepat di depan wajahnya. Nala tidak berani untuk sekedar membuka mata. Kalau betulan akan dibawa ke alam gaib, izinkan Nala membuat salam perpisahan. Yang pertama untuk Bunda Elis, Nala ingin meminta maaf karena telah gagal masuk perguruan tinggi negeri seperti yang Bunda Elis idam-idamkan. Walau Bunda Elis gemar berteriak saat di rumah, teriakan Bunda Elis adalah yang termerdu di dunia, serius.
Tanpa sadar bibirnya yang bergetar terbuka, mengeluarkan sepatah kata, "Bunda ...."
Mulut Nala kembali terkatup rapat ketika sesuatu menyentuh tangannya. Terlalu bodoh untuk menyebutnya 'sesuatu', sedangkan ia tahu bahwa itu adalah sebuah tangan. Tangan yang lebih kurus dari miliknya. Dia menggenggam tangan Nala, membawanya turun menjauhi wajah. Nala membuka mata. Wajah si Hantu tepat di depannya. Wajahnya tidak lagi disembunyikan gelap. Nala dapat melihat jelas sepasang mata bulatnya yang sedikit sayu, bibir dengan warna natural, dan pipi merona akibat kepanasan. Poninya tidak sepanjang yang semalam Nala lihat. Dan lagi, dia menyentuhnya. Hantu itu menyentuhnya. Bukankah hantu seharusnya tidak bisa menyentuh manusia? Berarti si Hantu bukan 'lah hantu!
Nala tersenyum lega. Ia tidak perlu was-was lagi apabila malam menyapa. Sebenarnya sejak awal ia tidak perlu merasa waspada. Pemikiran liarnya membawa ia pada jurang ketakutan yang tak berdasar. Ck ck.
Omong-omong, si Hantu (maksudnya adalah gadis yang ia juluki 'hantu') ini usia berapa, ya? Di mana ia tinggal, dan siapa namanya? Mereka berdua bertatapan cukup lama seperti di film-film romantis sebelum adegan ciuman manis dimulai. Tapi karena ini adalah Indonesia, Nala tidak bisa main nyosor seenaknya.
"Nala, Kakek bawa mangga dari kebun, kamu mau ta?" kakeknya yang bersuara lembut itu memanggil entah dari arah mana. Nala sih biasa saja, tapi si Hantu di depannya tampak begitu panik. Dia buru-buru menarik tangan yang semula menggenggam tangan Nala. Gadis dengan gaun putih itu berlari secepat cahaya, tiba-tiba sudah menghilang saja dari jangkauan Nala.
"Ngapain kamu di situ, La?" tegur Nenek yang baru saja kembali dari pasar.
Nala menggeleng, ia tersenyum kecil seraya buru-buru berdiri.
"Ayo masuk, Nala."
Dengan senang hati ia melangkah ke dalam rumah Nenek. Ini betulan dengan senang hati. Hatinya betulan sedang senang. Bagai pujangga yang dimabuk cinta, daun pintu pun tampak tersenyum pada Nala seolah turut bersuka cita. Apakah karena si Hantu yang ternyata adalah gadis manis? Nala tidak bisa mengelak, sih. Eits, Nala memang pencinta wanita, namun Nala bukan buaya.
Banyak sekali cewek cantik di sekitarnya. Sekolah tempat ia menimba ilmu cukup terkenal karena entah bagaimana diisi oleh manusia-manusia dengan rupa indah. Banyak wajah rupawan yang terkadang membuatnya ternganga. Nala juga cukup populer dan mengherankan karena tidak pernah punya pacar. Si Hantu bukan 'lah gadis tercantik yang pernah Nala temui, namun wajahnya menyenangkan untuk dilihat. Banyak wanita cantik di sekitarnya, tapi tidak semua wajah cantik itu menyenangkan bagi Nala. Si Hantu memiliki wajah yang menyenangkan, artinya Nala baru saja menemukan gadis yang memenuhi tipe idealnya—dari segi wajah.
Love at first sight, kalau kata novel yang terpajang di rak tertinggi pada kamar Hana. Dari mata turun ke hati. Nala terkikik geli sampai membuat Nenek berhenti mengupas mangga dan menoleh.
Semoga ia dapat bertemu dengan si 'Hantu' lagi. Bukankah yang barusan terdengar pemberani sekali?
Bersambung ...
A/N:
tmi sih, aku hampir kebalik antara Nala sama Justin dari tulisan sebelah T.T

KAMU SEDANG MEMBACA
Kunjungan Bulan Juni
FanficDi antara mekarnya bunga matahari, matanya hanya tertuju pada sesuatu di puncak sana. Bunga paling cantik di antara para bunga. Bunga yang membuatnya percaya akan cinta pandangan pertama. • • • Karena galau akibat ditolak dua kali oleh pergurua...