[72] Aku, Kita, dan Nantinya

74 14 9
                                    

Kadang Sungjun bingung ーsebagai anak tunggal yang selalu berusaha sebaik mungkin untuk membuat dirinya terlihat menonjol dan memiliki citra yang baikー alih-alih mendapatkan pujian atas kerja kerasnya, hanyalah omelan tidak puas yang selalu terlontar dari keluarganya.

Padahal deretan medali, piagam, piala, hingga sertifikat juara dipajang memenuhi satu lemari besar. Jangan lupakan lencana yang pernah ia dapatkan sebagai ketua OSIS, ketua ekskul, ketua regu, hingga ketua kelas selama ia berada di bangku sekolah.

Lee Sungjun adalah image seorang fictional prince versi nyata. Terlahir kaya dan banyak potensi namun memiliki segudang masalah dalam dirinya.

Sulit baginya merasa 'diakui' untuk setiap hal yang ia raih. Selain itu, juga sulit baginya merasa diapresiasi untuk apa yang telah ia lakukan selama ini. Padahal apa sulitnya dua hal itu diucap dengan tulus bahkan jika hanya sekali seumur hidup?

Puas menatap pencapaian prestasinya selama lebih dari dua belas tahun terakhir, Sungjun memilih untuk duduk di ruang belajarnya. Ia menatap tiga tumpuk buku persiapan UTBK, tes kedinasan, dan ujian mandiri yang siap menanti di tahun depan. Melihat bagaimana grafik nilainya selama dua tahun di SMK tidak begitu bagus dan konsisten meski diisi dengan nilai delapan dan sembilan, ia cemas.

Tangannya menggaruk rambut hitam itu dengan kasar, merasa frustasi harus bagaimana jika dirinya tidak masuk dalam kategori eligible nanti.

"Akh!"

Sungjun merintih. Pelan-pelan mengangkat tangannya yang habis menggaruk itu dengan helaan nafas lesu. Terjadi lagi, untuk kesekian kalinya.

Beberapa helai rambut miliknya rontok. Ini terjadi sejak dua tahun terakhir namun makin hari sepertinya makin banyak yang rontok. Tentu saja setelah ini Sungjun akan membuangnya ke tempat sampah yang ada di bawah meja belajar. Ia tidak terlalu peduli dan memilih mengerjakan beberapa bank soal untuk melatih kecerdasannya. Liburan tahun lalu sudah diisi dengan canda tawa penuh santai, dan tahun ini ia tidak diberi kelonggaran mengingat detik-detik menuju kelulusan sudah dekat.

Satu jam berlalu...

Dua jam...

Tiga jam...



Tes

"Hng?"

Sungjun mengerutkan dahi melihat kertas coretan miliknya memiliki bercak merah yang membulat. Jari telunjuknya mengusap kecil pada bagian lubang hidungnya yang terasa basah. Sudah bisa ditebak, lagi dan lagi.

Kali ini sama, ia tidak begitu peduli meskipun kepalanya terasa berputar sekarang. Mimisan adalah hal wajar baginya selama setahun terakhir.

Tok.. tok..

"Punten, Mas Jun? Akang cariin di kamar malah kosong ternyata disini, toh. Itu ada temennya dateng, kamu yang samperin ke depan apa suruh pulang aja?" Tanya salah satu asisten rumah tangga keluarga Lee, Akang Mun.

Tanpa menoleh, Sungjun hanya mengangguk. "Suruh kesini aja, Kang," jawabnya singkat sambil berusaha menarik nafas perlahan dengan hidung yang tersumbat tisu. Bukannya belagu, Sungjun hanya tak ingin Akang Mun tahu kalau dia mimisan. Tidak enak, nanti tambah merepotkan dan berujung ia kena omelan selama seminggu kedepan.

"Wokeh, siap!"

Sungjun baru menoleh saat dirasanya Akang Mun sudah pergi. Ia menarik tisu yang menempel di hidungnya lalu membuang ke tempat sampah, bersebelahan dengan rambut rontoknya tadi. Tumben Akang Mun bilang "teman" alih-alih "cs" atau "genk" seperti biasanya tujuh sekawan saat main ke rumah.

[ RELAY  2003 ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang