Adel.
Sudah sore, dan gue lagi di depan gedung tempat Muthe kerja. Iya, Muthe jadi modeling di tempat ini. Kadang lucu jika di ingat dulu orang-orang mempertanyakan kenapa Muthe mau sama gue yang kegiatannya cuma main badminton, gue cuma menghembuskan nafas mengingat waktu Sma dulu.
Pacaran sama Muthe selama tiga tahun lamanya semasa Sma gak mudah buat gue, karena Muthe selalu maksa gue buat jadi yang ia mau.
Dan salah satunya, kak Ara.
Kak Ara gak terlalu suka sama Muthe, ia selalu berpikiran kalau gue gak pernah bahagia sedikitpun sama Muthe. Mungkin itu juga alasan kenapa ia sangat senang waktu gue jadian sama Ashel.
"Kamu bawa motor? aku udah berapa kali bilang sih, del." Itu kata pertama yang keluar dari mulut Muthe waktu nyamperin gue, "Aku tau kamu suka banget sama motor kamu, tapi kamu pikirin aku juga lah."
"Gue gak mau berantem, mau ikut atau gak?" Muka Muthe berubah kecut, ia kemudian mau atau gak tetep mengambil Helm yang gue tawarin.
Ia naik di motor gue, dan seperti biasa. Muthe memeluk gue dengan erat, hati gue menghangat dan merasa sedikit Dejavu.
Lima belas menit akhirnya sampai di pingir pantai, sunset hari ini membuat perasaan gue gak tenang.
"Del? kamu ada disini karena sadarkan? kalau kamu gak bisa ninggalin aku?"
Benar, gue bodoh.
"Del, aku tau kalau kamu udah ada cewe baru," Muthe memegang tangan gue buat gue menoleh ke arah dia. "Tapi kenapa aku yakin banget, kalau kamu gak suka sama Ashel."
Kenapa lo bisa nyimpulin begitu, sementara gue sendiri aja gak tau gimana perasaan gue.
"Tau dari mana lo soal, Ashel?" Tanya gue kali ini.
"Del, bisa gak sih? kamu ngomongnya halus sama aku?" Tanya Muthe lagi buat gue menghembuskan nafas berat.
"Jawab dulu pertanyaan gue, tau Ashel dari mana?" Kali ini gue bertanya dengan menekan semua kalimat gue.
"Kenapa sih kamu begini banget!? Aku tau kamu gak pernah sayang sama dia!"
"Muthe!"
"Yang sayang sama kamu itu aku, Adel." Air mata Muthe mengalir, "Bukan Ashel."
Lagi.
Setiap apapun pasti Muthe akan menangis.
Dari dulu gak pernah berubah, dan yang buat gue gak pernah nolak apapun permintaan Muthe juga ini, nangis.
Menangis di depan gue dan berakhir gue gak bisa apa-apa, dan ini juga alasan kenapa waktu putus gue gak pernah sekalipun mau bertemu dengan Muthe, alasannya ini.
Gue memeluk Muthe, soalnya ini satu-satunya cara buat Muthe gak menangis lagi.
"Gue sayang sama Ashel, jadi berapa kalipun lo nolak." Gue mengelus punggung Muthe, "Gue tetep sayang sama Ashel."
Muthe semakin menangis, ia bergumam dengan banyak hal yang membuat kepala gue penuh dengan pertanyaan.
Kenapa hari ini gue berpikiran ketemu sama Muthe?
Waktu tau Ashel nginep di rumah Azizi yang lagi mabuk, otak gue gak bisa berhenti memikirkan itu. Gue udah kenal Azizi dari lama, gue tau Azizi gimana jika ia mabuk. Perasaan kesal dan marah ini sepertinya yang membawa gue ingin bertemu dengan Muthe, karena gue gak suka pertemanan Azizi dan Ashel.
Azizi.
Baru aja gue masuk ke apartemen gue, ternyata di dalam sangat bersih. Gak seperti apartemen gue yang biasa sangat berantakan, mungkin karena ada Acel disini.
Acel sedang duduk di depan Tv sambil menonton serial korea yang gue gak tau judulnya apa, gue langsung datang dan duduk di samping dia sambil senderan.
Acel ya Acel, ia akan sangat pasrah sama gue karena ia gak ingin membuang energinya untuk ngeladenin gue.
"Kesayangan gue habis bersih-bersih ya? apa kita sekalian nika–" Omongan gue kepotong.
"Diem." Acel memasukkan keripik ke dalam mulut gue sebelum melanjutkan ucapan gue tadi.
"Kamu mah gitu, Cel."
"Kenapa Azizi Asadel?" Gue terkekeh akibat respon yang di kasih sama Acel.
"Ayo kita cari makan di luar, gue udah bilangkan tadi pagi?" Gue mendusel pelan di badannya dan sesekali mencium aroma sabun dari badan Acel, gue tau dia baru banget beres mandi karena Acel memakai baju gue.
Seperti biasa Acel cuma nurut aja sama gue, dan kita siap-siap buat pergi makan malam. Setelah berdebat di mobil beberapa lama, kita memutuskan buat makan McD. Kita mengambil meja bagian dekat jendela, sambil menatap mobil dan motor yang sibuk dengan sendirinya.
"Aku berasa beruntung temenan sama kamu, Zee." Ucapnya buat gue menoleh ke arah dia yang masih memakan mcflurry milik gue.
"Kenapa?"
"Lo mesen burger ayam tapi kulitnya, lo kasih ke gue." Ia mengomel sambil memisahkan daging ayam dan kulit ayam itu, "Aneh banget." Gue terkekeh.
Ia mengomel tapi tetep ngelakuin hal itu, karena Acel tau persis kalau gue gak akan pernah makan ayam kalau masih ada kulitnyanya.
Sepuluh menit kita sibuk dengan pikiran masing-masing dan makanan yang kita beli. Akhirnya, Acel membuka suara duluan.
"Gue harus ke makam Mama, minggu depan." Ucap Acel sambil mengalihkan pandangan ke jalan.
Gue gak langsung menjawab, karena gue tau. Acel jika sudah membahas keluarga, ia hanya ingin di dengar karena jarang sekali ia bercerita soal keluarganya.
"Kadang gue kangen sama Papa, tapi gue gak akan pernah mau ikut kesana." Ia terkekeh pelan, "karena gue tau alasan mama meninggal apa." Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman.
"Mau gue temenin nanti?" Respon gue buat pertama kali dan di balas gelengan sama Acel.
"Gak usah, Papa Pucco pasti akan datang kali ini."
Lagi.
"Lo pasti capek denger gue ngomong begitu terus setiap bulan." Ia terkekeh akibat ucapanya sendiri, "padahal gue tau Papa gak akan pernah datang."
"Berharap seperti itu gak salah, apa lagi kita sebagai anaknya mereka." Ucap gue kerespon ucapan Acel, ia tersenyum.
Acel tetap Acel yang akan kelihatan kuat gimanapun masalah keluarganya, ia gak akan pernah menangis akibat keluarganya ini.
"Papa disana udah punya keluarga baru, dan anak baru disana." Acel meletakkan makannya di meja, kemudian sender di bangku. "Bahkan saat Cellie masih kecil dia udah mencari keluarga baru."
Tatapan serius dari Acel terpantul dari kaca, tatapan yang gue tau adalah tatapan sedih. Gue mengenduskan nafas, karena gue tau kalau keluarga gue masih lengkap.
Gue harusnya sedikit bersyukur, tapi entahlah. Rasanya seperti mirip dengan Acel.
Sama-sama gak tinggal sama keluarga akibat keegoisan yang di sebut rumah.
"Gue hari ini jadian." Kali ini topic gue berubah, karena sangat hening tapi di kepala sangat berisik.
"Lagi?" Tanyanya sambil menggelengkan kepala.
"Biasa kalau orang keren emang gitu." Acel terkekeh geli mendengar ucapan gue.
"By the way, Makasih ya?" Ucap Acel kali ini buat gue menatap matanya.
"Buat?"
"Karena ngebuat gue seneng."
Hati gue menghangat mendengarnya.
"Itu kerjanya sebagai temankan?" Ujar gue buat ia tersenyum lebar.
Teman?
Mengeluarkan kata-kata itu aja buat hati gue sakit, Cel.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZeeShel ; Love Zone [End]
FanfictionLove and Zone. Dimana setiap karakter mempunyai keputusan masing-masing. 𝗗𝗜𝗦𝗖𝗟𝗔𝗜𝗠𝗘𝗥 ! GxG ! 100% fiksi ! indo & english