28 - Penyesalan

10 2 0
                                    

Jangan lupa vote and komennya
💌

------------------------------

Tiga hari telah berlalu, dan sudah tiga hari pula Sam dan Ransa tak saling menyapa. Tiga hari ujian berlangsung dengan lancar namun gadis bernama Evelyn tak pernah hadir dari awal ujian berlangsung.

Rasa penasaran menghantui Samudra, namun cowok itu tetap gengsi untuk bertanya pada Ransa. Ransa juga selalu menatapnya tajam seakan Sam melakukan kesalahan fatal yang membuatnya marah.

Ransa tak pernah fokus dalam ujian karna terus teringat gadis serumahnya yang sudah tak ada lagi. Begitu juga Samudra yang juga tak bisa fokus ujian karna terus teringat dengan mendiang ibunya.

Disepanjang jam berjalan, keduanya sama-sama bermenung menatap kertas ujian yang masih kosong. Dihari ketiga ini, Samudra mengunjungi kelas sebelah untuk bertemu Rey saat jam istirahat.

Di kantin, keduanya berbincang membahas soal ujian yang baru saja usai. Samudra memberanikan diri untuk bertanya.

"Udah tiga hari Elin gak masuk, kira-kira dia kenapa ya.." gumam Sam membuat Rey mengerutkan keningnya. Rey menatapnya aneh lalu menjawab. "Elin siapa?"

Samudra sedikit panik namun masih mencoba berpikir positif. "Ya Elin, Evelyn. Murid baru dikelas aku" desaknya.

"Mimpi ya? Gak ada yang namanya Elin di sekolah ini" tutur Rey dengan wajah serius. Samudra langsung panik bukan main.

Kembali teringat dibenaknya tiga hari yang lalu saat Elin mengatakan padanya bahwa ia berulang tahun. Bergegas Sam berlari ke kelas.

Dikelas tak ada siapapun saat jam istirahat ini. Dia membuka laci meja guru dan mengambil buku absen. Dengan tergesa-gesa dan nafas yang tak stabil Samudra melihat nomor absen paling akhir.

Matanya melotot mendapati tak ada lagi nama Evelyn di daftar itu. Rasa panik sudah memenuhi benaknya, dia masih tak menerima bahwa pertemuannya dengan Evelyn di markas itu adalah untuk yang terakhir kalinya.

"Gak mungkin, ini pasti daftar absen lama. Dia mungkin di atap, iya... Pasti di atap!" Serunya lanjut berlari menaiki tangga menuju atap. Pikiran sudah benar-benar kacau dan cemas.

Setelah membuka pintu atap, yang ada disana hanya Ransa seorang. "Ransa!! Elin mana?! Dia udah absen tiga hari!!" Ujarnya mencoba mendekat.

Ransa berbalik dengan wajah heran menatap Sam. Ekspresinya seperti terkejut dan terheran. "Kamu... Ingat dia?"

"Gimana mau lupa?! Dia udah tiga hari gak masuk!!" Desaknya semakin cemas. Ransa berjalan mendekat pada Sam dengan tatapan kesal.

"Kalo memang ingat kenapa baru sekarang nyarinya?!!" Bentak Ransa mengepal tangannya.

"Maksudnya apa? Aku cuma perlu tau Elin dimana!!" Bentak balik Samudra dengan urat leher yang menonjol. Wajah keduanya hampir bertemu dengan sorot mata tajam yang mengintimidasi.

"Elin udah gak ada!!" Teriak Ransa mendorong keras tubuh Sam menjauh darinya. Matanya kembali berkaca-kaca setelah menyampaikannya.

Samudra berdiri diam dan membisu. Matanya berkeliling perlahan meneteskan air mata penyesalan. Setelahnya bel masuk kembali berbunyi untuk ujian berikutnya.

Ransa berjalan melewati Sam menyenggol bahu Sam cukup keras dan sengaja.

Dikelas, Samudra benar-benar tak mampu mengangkat pulpennya lagi. Kertas jawaban miliknya kosong, bahkan untuk menulis nama saja dia tak bisa. Sepanjang waktu kepalanya tertunduk kebawah.



Samudra sampai di rumah dengan kondisi yang sama. Badan lesu tak bertenaga dan pikiran yang kacau balau.

Langkah lunglainya berhenti dimeja belajar di kamarnya. Dia mengambil polaroid fotonya bersama Elin di taman. Foto itu berubah....

Hanya ada dia seorang di dalamnya tanpa gadis itu. Itu seperti foto selfi biasa yang dimiliki orang-orang saat bersantai di taman sendirian.

"Dia benar-benar udah gak ada...." Gumamnya terduduk dilantai, polaroid di tangannya juga terjatuh ke lantai.

"Kenapa kamu ninggalin aku elin?..." Perlahan cowok itu menangis lagi. Kepalanya tertunduk kebawah, satu persatu air mata membasahi polaroid itu membuat foto itu rusak dan memudar.

"Aku bener-bener gak ada niatan buat kata-katain kamu waktu itu. Aku- aku cuma emosi, aku gak mau kamu pergi..." Desisnya terus menangis tersedu-sedu.



Pintu kastil terbuka mengejutkan semua penjaga dan pelayan disana. Semua bergegas menuju pintu depan untuk menyambut kembalinya Trivia dan Eric.

Namun semua tercengang saat melihat Ransa berdiri disana dan mulai berjalan menaiki lantai atas. "Ransa!! Masih berani kesini?!! Setelah membantu nyonya Evelyn kabur!!" Semua menatapnya marah.

Perlahan Ransa memutar badan menghadap penjaga itu yang berdiri dibawah. Ia tak memberikan respon apapun selain wajah datarnya.

Diujung lorong lantai dua, terdapat sebuah bingkai lukisan Alenda yang terpampang sangat besar di dinding. Ransa memandangnya bahkan mendongakkan kepalanya karna saking besarnya lukisan itu.

"Maaf nyonya... Aku gak bisa jaga Elin... Aku juga gagal melindungi Trivia" lututnya ditekuk kala menunduk sebagai rasa hormat dan permintaan maaf.

Salah seorang penjaga sedikit kesal atas perlakuan Ransa dan mengikutinya keatas. Dia mencurigai Ransa dan berniat mengusirnya.

Ransa berdiri lagi dan memandang lukisan itu "kalian punya nasib yang sama ya... Kalian meninggal di dunia manusia, penyebabnya juga sama-sama karna mustika. Bahkan nyonya dan trivia dibunuh orang yang sama" ungkap Ransa pada lukisan itu.

Semuanya didengar oleh penjaga dibelakang Ransa tadi. Matanya melotot mendengar itu dan langsung berlari kebawah.

"R-ransa bilang... Nyonya Trivia dan nyonya Evelyn... Meninggal" semua histeris mendengar kabar itu. Semua menaruh rasa percaya pada kata-kata itu.

Semua semakin percaya saat Trivia yang meminta izin pergi satu hari dan tak pernah kembali setelah berminggu-minggu.

Saat semua masih terdiam tak percaya. Ransa kembali turun dari tangga dan berjalan dengan wajah datar kearah pintu. Ditengah langkahnya, seseorang berteriak membuatnya berhenti melangkah. "Kami gak akan percaya kalau nyonya Trivia dan nyonya Evelyn meninggal!! Sebelum kami mendengarnya dari Eric!"

Ransa berbalik dengan wajah melas dan kesal. "Eric kabur... Agar gak ikut terbunuh" ujarnya lebih mengejutkan lagi bagi para penjaga dan pembantu disana.

Bahkan sapu ditangan mereka terlepas karna badan yang bergetar akibat shock berat.

Ransa lanjut berjalan keluar dari bangunan itu. Setelah menutup kembali pagar, dia membalik badan dan memandang cukup lama kastil itu.

Ia teringat kembali masa-masa ia bermain di tempat ini yang cukup lama. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar, beribu kenangan juga terukir di bangunan tua itu.

------------------------------

To be continued...

She AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang