Sebuah rasa yang seringkali pertumbuhannya tidak bisa di kendalikan manusia,Masih dari peranakan hawa nafsu.
Jika di biarkan terlalu lama, maka itu akan mematikan hatimu.
-Kumari-
Hari Senin.
Aku menghela nafas panjang, menutup buku catatan harian sebelum memasukkannya kembali kedalam loker. Akhirnya, setelah lebih dari satu setengah jam menghabiskan waktu di dapur untuk membuat pesanan makan siang, aku bisa bersitirahat-lebih tepatnya bersembunyi di ruang ganti-untuk menulis beberapa hal yang mengangguku akhir-akhir ini.
Sebenarnya, ini hari ulang tahunku.
Tapi jangankan untuk merayakan. Jika aku tidak membuka buku harianku barusan, seratus persen aku akan melupakannya.
Tidak heran sebenarnya. Setelah menjadi dewasa dan di sibukkan oleh pekerjaan, hal remeh seperti ulang tahun sering kali terlupakan begitu saja. Apalagi, akhir-akhir ini, Resto tempatku bekerja lebih ramai dari minggu-minggu sebelumnya. Hampir sepuluh jamku di habiskan di Kitchen selama dua minggu penuh tanpa hari libur. Benar-benar membuatku merasa hampir sinting karena terlalu lelah.
"Oi Agni, Kamu mau soto?"
Aku terkesiap, hampir saja terjungkal dari kursi tempatku duduk saat mendengar suara dari balik pintu. Alberto nyengir, memperhatikan gigi runcingnya di bagian kiri-yang menurutnya mirip edward cullen-sebelum dengan santainya menghampiriku yang sedang menahan kesal.
"Apa gunanya Assalamualaikum Alberto kalau kamu masuk tanpa ketuk pintu?!" Aku bersungut, kesal. Jangtungku masih berdegup kencang sekali.
"Aku Katolik kalau kamu lupa, Agni."
Alberto mendengus, memasukkan kedua lengannya ke dalam apron kulit yang dia pakai.
Aku terdiam. Benar juga.
"Maaf kalau begitu."
"Santai. Terkadang kita juga perlu toleransi" jawab Alberto, kelewat santai. "Ngomong-ngomong, kamu mau soto?"
Aku bangkit berdiri, menjajari Alberto usai menepuk kotoran yang menempel di apron. "Tidak, terima kasih. Persedian isi dompetku menipis. Aku harus hemat agar bisa membayar uang sekolah adikku."
Alberto menyirit, "Lho, siapa bilang harus beli? Mas Bagus bilang, tadi ada bahan makanan sisa yang bisa di olah. Ayam juga ada."
"Jadi dengan kata lain aku yang harus memasak?"
"Iya dong! Masakan kamu kan paling enak, Agni. Ntar kita barter deh. Aku buatin dua gelas Latte kesukaan kamu"
Mendengus kesal, aku berlalu lebih dulu melewati Alberto untuk menuju Kitchen. Meskipun lelah, aku tidak bisa mengabaikan perut keronconganku yang meminta di isi juga. Apalagi di tanggal tua seperti ini, aku benar-benar harus berhemat.
Butuh waktu lima belas menit untuk mengolah sisa daging dan beberapa sayur menjadi menu makan siang semua karyawan yang bertugas shift pagi. Tidak terlalu banyak, mungkin sekitar sepuluh orang. Kami makan dalam diam dan tidak ada satupun yang berani protes kalau menu makan siang ini bukan soto, melainkan sapi Lada hitam.
Yeah, faktor utama adalah karena kami semua terlalu lapar bahkan untuk mengomentari kalau makanan ini tidak sesuai perjanjian awal.
"Ngomong-ngomong, kemaren Mas Yodha menelpon." Alberto menelan kunyahannya lebih dulu, kemudian kembali melanjutkan cerita, "Dia tanya kabar kamu. Katanya, akhir-akhir ini kamu susah buat di hubungi."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUK-MU LAKSAMANA [UP SETIAP JUM'AT]
General Fiction[UPDATE SETIAP JUM'AT❗❗❗] Menjadi dewasa bagi Kumari terlalu banyak hal terasa menyebalkan. Salah satunya adalah rasa ketidak percayaan dirinya. Apalagi, di tengah-tengah polemik hutang yang terasa mencekik nafasnya, Percintaan justru hadir sebagai...