Sisa hari kamis, mood-ku benar-benar rusak.
Masakanku agak kacau—itu menurutku—tapi syukurlah Chef Will tidak banyak protes apalagi sampai harus menendangku keluar dari Kitchen. Sudah hampir satu minggu ini, aku kesulitan mengendalikan pikiran dan suasana hatiku. Benar-benar berantakan sampai membuat kepalaku pusing. Mulai dari masalah di rumah, pekerjaan, sampai... Pak Laksamana.
Aku tidak bilang bahwa Pak Laksamana adalah sebuah permasalahan menyebalkan. Hanya, bagaimana menjelaskannya?.
Aduh, intinya, dari sekian banyak beban pikiranku satu minggu ini, ingatan mengenai Pak Laksamana, bagaimana tatapannya saat terakhir kali kami bertemu, nyempil secara tidak sopan di antara pikiran-pikiran penting lainnya.
"Ada yang mengganggu kamu, Agni?"
Aku tersentak, hampir terjungkal dari kursi plastik saat melihat Chef Will tiba-tiba sudah berdiri di samping lokerku dan bersedekap.
Ruangan Legang. Chef Will masih dengan baju Chef-nya, menatapku dengan serius. Aku menelan ludah, menutup buku diary dan duduk tegap.
"Tidak, Chef."
"Kamu jelas berbohong." Jawab Chef Will, cepat.
Eh? aku menggaruk dahi, merasa bingung kemana arah tujuan pembicaraan Chef William. Ini aneh sekali. Biasanya, Chef Will tidak akan meluangkan waktu istirahat seperti ini hanya untuk mengobrol. Dia lebih suka asyik di ruangannya yang ber-Ac dan kembali jika waktunya bekerja. Tapi, melihatnya bersedekap di samping lokerku dan wajahnya serius, mendadak perasaanku tidak enak.
Ini pasti masalah masakanku yang kacau.
"Saya minta maaf, Chef," Aku menghela nafas, sebelum Chef Will memarahiku, aku akan mengakui kesalahan. "Saya me—"
"Menyembunyikan hal penting dariku. Kamu di lamar Pak Bre, kan? "
Eh?
Aku mendongak, cepat. Sungguhan, aku tidak menyangka bahwa Chef Will justru membahas lamaran Pak Laksamana.
"Anda... Tahu, Chef?"
"Tentu saja! Tidak ada alasan untuk aku tidak tahu!" tukasnya, jengkel. "Dan aku kecewa sekali karena justru, aku mendengar hal itu dari seseorang, bukan dari mulutmu, anak didikku sendiri."
"Saya minta maaf, Chef."
"Ck, tidak perlu meminta maaf. Aku terlanjur tahu."
Aku mengangguk, benar juga. "Ngomong-ngomong, siapa yang memberi tahu anda, Chef?"
Chef Will menolot. Dalam seperkian detik, wajahnya berubah semakin galak.
"Pak Bre, kamu pikir siapa lagi?"
"Pak La--Mkasud saya, Pak Bre memberi tahu Anda?" Tanyaku, hampir tidak percaya.
"Benar, Pak Bre. Dan, satu minggu ini aku perhatikan kamu seperti tidak fokus, Agni. Syukurlah masakanmu tidak kacau. Kamu profesional. Bisa bahaya kalau kamu melakukan kesalahan. Meskipun pak Bre melamarmu, aku tidak akan sungkan untuk menendangmu keluar dari Kitchen kalau kamu tidak disiplin dan melanggar aturan."
"Saya minta maaf, Chef."
"Dan kamu minta maaf lagi!" dengus Chef Will, jengkel. Wajahnya melunak. Dia duduk di kursi plastik sebelahku. Terlihat lebih rileks. "Baiklah, kita buat ini lebih santai. Apakah kamu tahu kalau Bre sudah lama menyukaimu?"
Aku menggeleng.
"Ck, anak itu memang pintar menyembunyikan perasaannya sedari dulu. Sebenarnya, sudah lama sekali Bre memperhatikan kamu, Agni. Aku pikir, itu karena kamu salah satu juru masak yang mengagumkan dan berbakat. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku agak di buat terkejut karena dia mulai terlihat tertarik padamu. Mungkin, puncaknya satu tahun yang lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUK-MU LAKSAMANA [UP SETIAP JUM'AT]
General Fiction[UPDATE SETIAP JUM'AT❗❗❗] Menjadi dewasa bagi Kumari terlalu banyak hal terasa menyebalkan. Salah satunya adalah rasa ketidak percayaan dirinya. Apalagi, di tengah-tengah polemik hutang yang terasa mencekik nafasnya, Percintaan justru hadir sebagai...