Soundtrack : Sofia Carson - Comeback home
* * *
"Aku bersyukur sekali mempunyai teman seperti kamu, Agni."
Aku mendengus. Di sebelahku, di meja makan, Alberto sibuk sekali menatap nasi goreng buatanku seolah itu adalah karya seni yang patut di abadikan sepanjang waktu.
"Itu bahkan hanya nasi goreng, Alberto. Plis deh, jangan lebay."
"Hei, justru karena ini nasi goreng sampai membuatku terharu!" Serunya, semakin di lebih-lebihkan. "Lihat, telur mata sapi yang begitu elok di atas nasi goreng buatan kamu. Aduh, serius ini seperti masakan ala Gordon Ramsay!"
Aku memutar bola mata, semakin kesal karena sikap hiperbola Alberto. Sebenarnya, ini pagi yang menyenangkan. Aku bisa memasak makanan lezat dan menikmati kopi hitam paling harum buatan Alberto.
Usai insiden pelukan dengan Pak Laksamana dan penolakanku untuk kesekian kali, aku buru-buru pergi meninggalkan Pak Laksamana tanpa belas kasih. Tidak peduli bahwa bossku itu memintaku untuk tetap menemaninya melalui tatapan trakhir kami. Syukurlah Alberto mau menampungku pagi ini dan membuka pintu rumahnya lebar-lebar.
Yeah, siapa yang mau menolak kalau aku membalasnya dengan masakan lezat sudah terhidang pukul setengah tujuh pagi?. Pria kesepian seperti Alberto pasti dengan murah hati menerima koki berbakat sepertiku.
"Aku penasaran, deh. Ini murni aku tanyakan sebagai sahabat kamu," Alberto duduk tegap, melupakan nasi goreng telur mata sapi yang belum dia sentuh. "Kamu ada masalah lagi di rumah?"
Aku mengangguk.
"Mau bercerita?" Alberto berbaik hati bertanya, seolah tahu jika aku sedang kesulitan memikirkan permasalahanku seorang diri.
"Aku bertengkar dengan Bapak dan Ibu, seperti biasa. Lalu, aku pergi dari rumah." Aku menggenggam sendok lebih erat. Kilas balik tamparan Ibu masih sangat terasa, bahkan sampai detik ini.
"Mas Wahyu berulah lagi?"
"Aku tidak tahu, Al. Yang jelas, semua terjadi sangat cepat. Saat itu aku baru pulang siaran radio. Kami-Aku, Ibu dan Bapak-bertengkar hebat dan tanpa pikir panjang, aku pergi, kemanapun asalkan tidak di rumah."
Alberto meletakkan sendok dan garpu kembali di samping piring, menatapku lebih serius.
"Itu berarti, kejadiannya hampir lima jam yang lalu. Kamu kemana aja selama itu?"
Mengobati Pak Laksamana, terlibat pembicaraan aneh dengan Pak Laksamana, Sarapan yang terlalu pagi dengan Pak Laksamana, kemudian... berpelukan. Tidak, Pak Laksamana yang memelukku. Di sini, harus di tegaskan bahwa aku adalah korban. Pihak yang di rugikan. Yeah, seharusnya begitu.
"Oke, Agni... katakan sesuatu. Diam-nya kamu itu agak bikin cemas tahu, gak?"
Aku menghela nafas. Sepertinya, aku harus menceritakan hal ini juga pada Alberto.
"Tolong jangan salah paham dan memotong penjelasanku setelah ini, mengerti?" dengan patuh, Alberto mengangguk. "Saat aku pergi dari rumah, aku bertemu dengan Pak Laksamana."
Alberto melotot, siap dengan mulut hampir bertanya, sebelum aku mempelototinya, memperingati. Ini akan menjadi cerita yang berbeda kalau di potong.
"Aku menemukan Pak Laksamana yang berdiri tidak jauh dari depan rumahku, penuh luka dan mobilnya sudah rusak cukup parah, Al. Dia seperti meminta pertolongan melalui sorot matanya. Karena aku tidak punya pilihan lain dan aku lumayan panik, aku membawanya ke La Pasta & Bar, mengobatinya seperti pertemuan kami yang pertama."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUK-MU LAKSAMANA [UP SETIAP JUM'AT]
General Fiction[UPDATE SETIAP JUM'AT❗❗❗] Menjadi dewasa bagi Kumari terlalu banyak hal terasa menyebalkan. Salah satunya adalah rasa ketidak percayaan dirinya. Apalagi, di tengah-tengah polemik hutang yang terasa mencekik nafasnya, Percintaan justru hadir sebagai...