BAB 9 - UNTUKMU LAKSAMANA

48 2 0
                                    

Backsound: Komang - Raim Laode

*   *   *

Sejak kecil, aku memahami bahwa kemarahan adalah satu-satunya hal yang harus aku hindari lebih dari apapun. Maka dari itu, seiring berjalannya waktu, aku terbiasa memendam semua emosi tanpa aku sadari. Seperti kata Alberto, aku terlalu tenang. Aku cenderung tidak pernah menunjukkan ekspresi berlebihan dan menyembunyikan perasaanku dengan sangat baik. Tapi sehebat apapun, manusia mempunyai sebuah batasan.

“Apa yang kamu sesalkan?”

“Hm?”

“Saya bertanya, apa yang kamu sesalkan, Kumari?”

Aku diam sejenak, berpikir. Bagaimana Pak Laksamana tahu aku menyesal?

“Sangat terlihat dari sorot mata kamu.” Jawab Pak Laksamana, menjelaskan sebelum aku bertanya.

Kepalaku mengangguk. “Saya juga bertanya-tanya, kira-kira apa yang saya sesalkan sebenarnya?”

“Kamu menyesal sudah memukul kakak kamu?”

“Tidak. Dia pantas mendapatkannya. Saya tidak menyesal walau sedikit pun. Orang seperti mas Wahyu seharusnya mendapat hukuman sejak awal.”

“Lalu kenapa kamu menahannya selama ini?”

“Karena Saya tidak bisa membuat kebahagiaan untuk kedua orang tua saya. Jadi setidaknya, saya tidak boleh memberikan kesedihan. Bagaimanapun, bagi Bapak dan Ibu mas Wahyu adalah segalanya. ”

“Bukan begitu cara melakukan sebuah pengorbanan, Kumari. Sesuatu yang salah, tidak seharusnya di benarkan.”

“Saya tahu. Tapi ada kalanya memang harus berjalan seperti ini terlebih dahulu untuk mengetahui keadilan tertinggi milik Gusti Maha Kuasa.”

Ada sebuah jeda cukup panjang. Mata coklat karamel Pak Laksamana berpendar indah di bawah penerangan lampu temaram.

“Kemarahan, selalu membuat manusia menjadi hilang akal dan juga bersikap gegabah. Pada satu titik tertinggi, kemarahan akan merusak hati dan pikiran seseorang dengan sangat keji. Akibatnya, dia akan di serang oleh sebuah penyakit mematikan, seumur hidup. Yaitu, penyesalan.” Mataku menatap wajah Pak Laksamana. “Melalui kejadian ini, saya mendapatkan jawaban dari keadilan yang saya sangat tunggu-tunggu. Yaitu, jika saya pergi setelah ini, saya tidak akan membawa penyesalan, karena saya sudah melakukan tugas saya dalam berbakti kepada orang tua.”

“Lalu kenapa masih ada pancaran penyesalan di mata kamu, Kumari? Ini membuat saya cemas sekali.”

Ada jeda cukup panjang. Aku ragu untuk mengatakannya.

“Itulah yang saya cari. Apa yang sebenarnya saya sesalkan? Situasi ini, atau...”

“Atau?”

“Pertemuan saya dan Pak Laksamana.”

Aku menatap Pak Laksamana. Kami duduk bersebelahan, di dalam mobil. Usai mampir di apotek dua puluh empat jam untuk membeli obat pereda nyeri dan salep, kami hendak mampir La Pasta & Bar—tadinya. Tapi kami berdua melewatkan fakta bahwa kami sama-sama tidak membawa kunci. Aku bukan orang terakhir yang menutup resto. Tas dan perlengkapanku bahkan masih tertahan di dalam loker—mengingat tadi aku pergi begitu saja. Hanya ada uang tujuh puluh ribu di dalam saku kembalian dari membeli kopi.

“Kenapa pertemuan kita harus seperti ini? Kenapa harus Pak Laksamana? Dan kenapa harus di saat yang seperti ini?”

Suaraku bergetar, nyaris sesak nafas. Satu air mataku lolos, meluncur cepat di atas pipi kiri.

UNTUK-MU LAKSAMANA [UP SETIAP JUM'AT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang