•••• Selamat membaca ••••
Langkah seorang pemuda tampak terayun gugup. Padahal koridor sekolah belum terlalu ramai dengan lalu-lalang para pelajar menengah atas. Masih terlalu pagi. Perasaan tak enaknya yang membawanya keluar dari pondok tepat setelah kegiatan pagi di pondok usai. Barangkali sejuknya udara pagi mampu menenangkan perasaannya yang kalut.
Usai meletakkan tas di kelas, dirinya terduduk di depan kelas, bersandar pada pilar. Udara sejuk menerpa wajahnya tanpa henti. Seiring mulut yang terus melafalkan zikir dan tangan yang tak hentinya menggulirkan butiran tasbih.
Puluhan menit berlalu, tetapi dirinya tetap tak beranjak. Padahal riuh suara pelajar lainnya telah menggema memenuhi setiap sudut sekolah. Jika saja suara wanita tak memanggil namanya, mungkin hanya bel masuk yang bisa membuatnya beranjak.
"Gus Zain!"
Ya, namanya Zain. Zainadhy Arrayan. Pemuda kelahiran kota Patria itu lantas menoleh ke arah sumber suara. Terlihatlah seorang wanita yang tampak basah matanya. Perasaan kalutnya lantas kembali singgah.
Gus Zain lantas beranjak dan bertanya, "Kenapa, Ning?"
"Saya bingung ngomongnya gimana." Wanita tersebut hendak terisak. Menambah kebingungan Gus Zain.
Tanpa mereka sadari, tak jauh dari tempat mereka berdua berdiri pun ada seseorang yang tengah bingung pula. Bingung terhadap reaksi perasaannya saat melihat kedekatan keduanya. Seakan tak terima, tetapi tak berani bertindak akan rasa tak terimanya.
"Ngomong aja, Ning. Nggak apa-apa. Saya jadi ikutan bingung juga kalau njenengan kayak begini." Bibirnya masih dipaksakan tertawa meskipun wanita di hadapannya kini telah terisak. Menarik netra di sekitar untuk ikut memandang.
"Umi, Gus."
***
Dengan cepat Gus Zain melangkahkan kaki hendak menuju halaman depan. Bahkan wanita di belakangnya kesulitan menyeimbangkan langkahnya. Mata merahnya yang menahan tangis turut mengundang atensi sekitar.
"Kapan, Ning?" tanyanya setelah memperpendek jarak antara keduanya.
"Tadi pagi, Gus. Tadi yang lain udah duluan ke sana." Hening. Tak ada lagi kata yang terlontar hingga sampailah mereka memasuki mobil yang akan menghantarkan keduanya ke rumah Gus Zain.
Kurang lebih satu jam perjalanan bukanlah waktu yang singkat. Bahkan terlampau lama untuk diri yang ingin segera bertemu dan netra yang ingin lekas memandang. Meskipun entah nanti kaki akan mampu menopang diri yang runtuh atau justru tak kuat lantas memilih menyendiri. Sama seperti yang ada di benak Gus Zain saat ini. Apakah kini dirinya sendiri?
Perjalanan diselimuti keheningan. Sekuat tenaga Gus Zain menahan air mata agar tak terjun bebas membasahi pipi. Menjadi lelaki harus kuat bukan? Namun, jujur saja, kini dirinya seakan kehilangan arah. Akan ke mana setelah ini dirinya menumpahkan segala keluh kesah tanpa dilontarkannya sebuah kalimat menjadi laki-laki haruslah kuat.
"Kalau njenengan mau menangis, nggak apa-apa, Gus. Laki-laki juga boleh menangis." Wanita yang duduk di kursi belakang berucap mempersilakan.
Gus Zain lantas menoleh. Dia hanya tersenyum seraya menggelengkan kepala. Akan tetapi, mata tak bisa berdusta. Tatapan kosongnya, matanya yang memerah membendung air mata.
"Menjadi kuat bukan berarti harus tanpa air mata, Gus." Ucapan Ning Nadia kali ini menghancurkan pertahanan Gus Zain. Kepalanya tertunduk dengan bahu yang terguncang.
Ning Nadia Aqsa Mubasyir lengkapnya. Putri pengasuh pondok pesantren tempat Gus Zain tinggal menimba ilmu. Mereka berdua saudara sepupu. Bisa dikatakan cukup dekat dan baru kali ini Ning Nadia melihat Gus Zain tertunduk menangis.
***
Satu jam berlalu. Kini mereka telah sampai di tempat Gus Zain dibesarkan dengan kasih sayang. Tempatnya pulang. Akan tetapi, kini tempat peraduannya telah pulang satu. Berhenti mendengar segala keluhnya, menatap dengan kasih, dan segala tentang wanita hebatnya itu kini telah hilang.
Pelataran rumah Gus Zain dipenuhi lautan manusia. Dirinya dan Ning Nadia berjalan memecah kerumunan. Seketika lautan manusia menepi memberikan jalan. Semerbak kamper dan bunga menyeruak indra penciuman.
Gus Zain seolah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya seketika lemas, benaknya masih mencerna apa yang telah terjadi saat ini. Kenapa harus secepat ini? Dihampirinya sang abah yang tengah duduk bersama Kiai Abdullah, abi Ning Nadia.
"Abah kenapa nggak ngomong sama Zain? Seenggaknya Zain bisa pulang nemenin umi," ucap Gus Zain sembari terisak. Baru kali ini dirinya serapuh ini.
Bukan jawab yang didapat, melainkan dekapan erat seorang ayah yang juga tengah rapuh, tetapi menjadi tersenyum berdiri tegak di hadapan sang anak. Gus Zain menumpahkan semua tangisnya di bahu sang abah.
"Tangisi secukupnya, jangan berlarut. Kamu nangis juga nggak bakal ngubah takdirnya Gusti Allah. Ikhlaskan, doakan umimu, nggih? Dunia ini tempatnya singgah, bukan menetap. Sudah ada waktunya kita untuk pulang." Abahnya menasihati sembari menepuk pundak Gus Zain yang terus berguncang.
Gus Zain melepas pelukan, menghapus air matanya seraya mengangguk menjawab segala ucapan abahnya. Dia lantas pamit menemui uminya. Wanita hebat yang kini telah terbujur kaku, tertutup kain putih. Gus Zain mendekat, terduduk lemas di samping uminya.
"Umi ... njenengan kok nggak pamit sama kula? Kenapa tiba-tiba, Mi? Kula belum membahagiakan njenengan. Zain minta maaf, Mi. Zain minta maaf belum bisa sepenuhnya berbakti sama umi abah. Kita ketemu lagi di Surganya Gusti Allah nggih, Mi."
Gus Zain semakin kuat terisak. Sedangkan tak jauh dari tempatnya duduk, ada Ning Nadia yang hanya bisa melihat. Ini benar-benar kali pertama dirinya melihat Gus Zain menangis. Padahal sejak kecil mereka sering bersama.
Para pelayat semakin ramai berdatangan. Tak hanya dari kalangan priayi dan para warga, teman Gus Zain pun banyak yang berdatangan mengucapkan ikut berbelasungkawa. Usai dimandikan dan disalatkan, Gus Zain memilih menepi dan berkumpul bersama teman serta saudaranya. Melihat uminya yang kini hanya terbaring terdiam hanya membuat hatinya semakin sakit. Dia takut akan tak terima atas kehendak Rab-nya.
Gus Zain terus mencoba mengobrol dan tertawa. Mengalihkan dunianya yang tengah berduka. Meskipun sebenarnya dirinya merasa tak nyaman karena saat seperti ini masih ada kamera-kamera yang menyorotnya entah secara diam-diam ataupun terang-terangan.
"Gus, umi mau dimakamkan."
***
Video dan foto seputar Gus Zain yang tengah berduka tersebar dengan cepat di media sosial. Banyak yang berkomentar turut berdukacita serta mendoakan, tak sedikit pula yang justru membicarakan ketampanan Gus Zain. Dengan mata yang sembab, laki-laki berhidung mancung itu memang tetap menarik atensi para kaum hawa.
Seorang wanita yang kini tengah terduduk di ruang gelap favoritnya salah satunya. Menepi dari segala hiruk pikuk di luar sana. Memantau laki-laki yang dia kagumi secara diam-diam. Laki-laki harapannya akan istilah masa depan yang indah.
Namun, harapannya terkekang realita yang tak henti menampar segala ekspektasi. Dekat, tetapi tak tergapai. Hanya mampu berdoa kepada Tuhannya, agar hamba-Nya yang satu itu bisa menemani hari-harinya kelak, meskipun ketidak mungkinan ramai menyadarkan.
Ketukan pintu ikut menyadarkan segala harapnya. "Ayo, keluar! Udah ditungguin."
•••• Bersambung ••••
Assalamualaikum. Hai, Najwa datang dengan cerita kolaborasi bersama Kak aniaputrisyahrani
Tegal, 15 Juni 2022
@najwawafzh_
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
Teen FictionIzinkan saya mengagumimu, Gus. Boleh? Meskipun nanti tidak akan pernah menjadi satu. Langkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah dari relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa...