•••• Selamat membaca ••••
"Apakah kamu masih mengagumi saya?"
Sempontan tatapan Ahwa yang tadinya menatap jemari kini melirik Gus Zain, lalu beristigfar dalam hatinya dan tertunduk kembali. Sejujurnya Ahwa kaget dan belum siap menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa, kenapa Gus Zain mengungkit hal itu sedangkan niat Ahwa hanya ingin menyelesaikan apa yang memang seharusnya selesai.
Ahwa mengelum bibirnya yang kering dan berusaha tenang. "Boleh saya minta alamat email njenengan?" Dia mengalihkan pembicaraan, ini merupakan cara terbaik.
"Saya bertanya padamu Ahwa, kamu masih mengagumi saya?" Namun, Gus Zain tetap teguh mempertanyakan hal tersebut.
Alhasil Ahwa menanggapi dengan santai agar tidak terlalu terlihat sakit di dalam hatinya. Gadis itu tertawa kecil dan menggeleng. "Enggaklah, Gus. Udah bertahun-tahun berlalu. Saya gak sejahat itu sama diri saya sendiri."
"Apa saya yang jahat, ya?" Gus menatap lurus dengan tatapan berpikir.
"Tentu bukan. Yang mengagumi njenengan itu banyak, jadi gak mungkin njenengan membalas semuanya," tutur Ahwa, yang memang ada benarnya. Sebelum Gus Zain menyahut lagi, Ahwa terlebih dahulu menyela lagi. "Boleh saya meminta alamat email njenengan?"
Gus Zain menoleh dan mengangguk. Ia mengucapkan alamat emailnya, sementara Ahwa langsung menulisnya di ponsel dan lantas mengirim file naskah tersebut. Sambil menunggu file terkirim, mereka berdua hanya berdiam diri. Ada sedikit canggu karena percakapan singkat tadi. Ingin rasanya Ahwa segera pergi dari sana.
Tapi tiba-tiba Gus Zain berbicara. "Walaupun bukan salah saya, tapi saya tetap minta maaf. Ahwa, maaf."
Bukannya menanggapi permintaan maaf tersebut, Ahwa malah segera pamit karena file sudah terkirim. "Selesai, Gus. Saya pamit, ya. Makasih untuk pengalamannya. Maaf banget kalau saya enggak sopan. Assalamuaikum."
***
Layar ponsel yang sendari tadi ditatap olehnya kini teralih pada pemandangan di luar kaca mobil yang tengah berjalan. Perjalanan pulang Gus Zain dipenuhi hati yang berkecamuk.
Entah disebut apa perasaan ini, hingga membuat Gus Zain resah sendiri. Perasaan yang tak bisa diungkapkan dan hanya dirinya yang merasakan.
Tulisan-tulisan yang ada ponselnya hasil dari ketikan seorang gadis membuat hatinya semakin riuh oleh banyak pertanyaan. Saking riuhnya, tanpa sadar Gus Zain melontarkannya pada sang sopir yang kini mengantarnya pulang.
"Pak, apakah mereka selalu berakhir bahagia?"
Sang sopir tak memahami maksud pertanyaan yang tiba-tiba tersebut. "Maksude njenengan gus?"
Tatapan Gus Zain masih terarah pada jendela mobil. "Kula gak normal, ya, kalau hati kula menentang perjodohan ini?"
"Mbotenlah, Gus. Pilihan orang tua kata mereka baik, tapi kadang ada seseorang yang menurut hati kita terbaik. Duh, ngapunten niki, Gus."
“Pak, kalau kula …," ucapan Gus Zain terjeda.
“Pripun, Gus?”
"Mboten, pak. Hehe." Pria itu tidak jadi mengungkapkan segalanya. Ia harus menahannya agar tidak terjadi perdebatan. Terlebih sang sopir tidak tahu apa-apa, dan tak enak bila membebani beliau dengan permasalahan Gus Zain saat ini.
***
Malam harinya seperti biasa rutin diadakan ngaji malam bersama para santri lainnya. Kegiatan berjalan dengan khidmat dan penuh berkah, insyaallah. Hingga pada akhirnya kegiatan, dan hanya menyisakan Gus Zain dan abahnya yaitu Kiayi Khairil di sana.
Terlihat gerak tubuh Gus Zain yang kebingungan untuk berbicara atau tidak dengan abahnya. Kebingungan itu terlihat pula oleh abahnya dan lantas ditanya. "Pripun toh, Le? Sampean, kok, kaya wong kebingungan."
Gus Zain hanya tersenyum. "Mboten, Bah. Zain di sini dulu, nggih."
Kiayi Khairil mengangguk kecil. "Besok bantu abah nyemak setoran hapalan, nggih?"
"Nggih, Bah."
Setelah itu tinggallah Gus Zain di sana sendirian, terdiam dengan pikiran yang berisik. Bingung dengan apa yang diperdebatkan hatinya. Ia harus apa?
•••• Bersambung ••••
Terima kasih udah baca sampai sejauh ini. Monggo kritik dan saran jika berkenan.
17 November 2022
@najwawafzh_
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
Подростковая литератураIzinkan saya mengagumimu, Gus. Boleh? Meskipun nanti tidak akan pernah menjadi satu. Langkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah dari relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa...
