•••• Selamat Membaca ••••
Setelah pertemuan edisi tasyakuran kejuaraan Hasbi di kantin saat itu, terbentuklah sebuah grup obrolan yang hanya dihuni oleh lima manusia saja dari sekian banyak manusia di muka bumi ini. Siapa lagi jika bukan Gus Zain, Hasbi, Ning Nadia, Ahwa, dan Kirana.
Bukan grup kumpulan anak pintar ataupun julukan-julukan baik lainnya, melainkan grup yang terkadang bermanfaat dan keseringan tidak jelasnya. Tempat Gus Zain menemani Hasbi mendebatkan hal penting hingga yang tidak penting sekalipun, Ning Nadia yang hanya sesekali bergabung, Kirana yang heboh, serta Ahwa yang selalu menyimak dan akan memunculkan diri saat namanya disebut saja dalam hal yang sangat penting.
Seperti malam ini. Ketidakjelasan Hasbi tengah berlangsung. Tiba-tiba saja dia mengirimkan foto dirinya yang terlihat sedang bersama Gus Zain. Kirana yang heboh pun bertanya kenapa tidak mengajak. Akan tetapi, tak ada jawaban. Dasar, Hasbi. Dia yang memulai, dia juga yang mengabaikan.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu mengalihkan atensi Ahwa yang tengah menyimak obrolan tidak jelas antara Hasbi dan Kirana. Tanpa berlama-lama, dirinya bergegas beranjak membukakan pintu karena kini dirinya hanya sendirian di rumah. Keluarganya sedang pergi atas dasar urusan keluarga, tetapi tak melibatkan dirinya.
"Siapa, sih, malem-malem bertamu," gumam Ahwa lirih.
Pintu terus diketuk semakin kencang. Menambah tingkat kemalasan Ahwa menerima tamu saat sedang sendirian di rumah. "Iya, sebentar!"
Pintu dibuka, menampakkan sosok wanita berbaju putih yang tengah tersenyum menampakkan deretan gigi rapinya. Bukan siapa-siapa. Hanya Kirana rupanya. Ahwa pun mempersilakan masuk meskipun sedikit bingung kenapa sahabatnya ini tiba-tiba sudah berada di depan rumah, padahal baru beberapa menit yang lalu membalas pesan Hasbi di grup obrolan.
"Sepi, Wa," ucap Kirana berbasa-basi.
"Habis ini juga rame. Ada kamu soalnya." Ahwa tak salah. Suara Kirana memang menipu. Terdengar sangat ramai, padahal bersumber dari satu suara.
"Hahaha. Cocok banget, sih, kita. Pendiem dan berisik." Definis ucapan menjadi kenyataan. Baru saja Ahwa berucap, gelak tawa Kirana sudah menggema.
"Nyebut, yuk!" Ahwa berjalan memasuki kamar dan diikuti Kirana.
"Halah! Kamu kalau sama aku doang juga banyak omong. Aku itu sampai kayak nggak terima. Kok bisa orang-orang ngomong kamu pendiem banget. Padahal aslinya aku harus ngelakuin penelitian panjang buat nemuin letak pendiemnya kamu di mana." Panjang lebar Kirana berbicara.
"Lebay! Ngapain ke sini?"
"Bosen di rumah. Jadi ya udah, nemenin Ahwa aja di sini yang sendirian." Kirana merebahkan tubuhnya di kasur empuk Ahwa.
"Anak rumahan malah seneng kali ditinggal sendirian di rumah," sahut Ahwa seraya membuka sebuah buku.
Perlahan, tangannya yang menggenggam pulpen bergerak dengan tenang. Menyuarakan apa yang hatinya rasakan dengan menuliskan rangkaian kata yang membentuk barisan-barisan. Tertulis rapi seraya menata hati.
"Kenapa suka banget nulis?" Kirana yang seringkali dijadikan pembaca pertama tulisan Ahwa terkadang heran. Kenapa tak habis-habisnya kalimat puitis itu muncul.
"Suka aja. Kayak jadi lega kalau udah menuangkan apa yang aku rasain lewat tulisan." Berhenti sejenak, Ahwa tengah berpikir diksi apa yang tepat.
"Nggak semua tulisan itu tentang perasaan sepihak tanpa ngelibatin orang lain, 'kan?" Ahwa mengangguk. "Pasti ada yang ditujukan buat seseorang atau menggambarkan seseorang." Lagi, Ahwa mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
Ficção AdolescenteIzinkan saya mengagumimu, Gus. Boleh? Meskipun nanti tidak akan pernah menjadi satu. Langkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah dari relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa...