• Part 10 : Jangan Bilang

73 9 0
                                    

•••• Selamat Membaca ••••

Malam telah bergilir menjadi pagi, sejak subuh orang-orang sudah memulai aktivitasnya setelah beristirahat semalaman. Beberapa orang ada yang menguatkan tubuh dengan sarapan sebelum beraktivitas, namun berbeda dengan Hasbi yang pagi itu memilih langsung ke sekolah tanpa sarapan.

Sebenarnya waktu kedatangan Hasbi di sekolah tidak tentu, kadang pagi-pagi sekali ataupun tepat waktu. Hasbi hari ini datang pagi-pagi karena alasan ingin menyimpan buku diari ke tempat si pemiliknya. Sudah cukup buku itu membuat Hasbi bergulat dalam pembatinan. Isi pada buku telah menjelaskan segalanya pada Hasbi, dan itu sangat ia sesali.

Suara langkah sepatu bergesek dengan ubin lorong yang masih sepi membuatnya bergema. Hasbi mempercepat langkahnya menuju suatu kelas, karena sudah terdengar suara-suara kendaraan di parkiran menandakan beberapa murid rajin berdatangan.

Sampai di kelas yang dituju, segera Hasbi mengeluarkan buku diari itu. Sekejap ia memandangi buku bersampul biru tersebut dan memberikan senyuman tipis. Kemudian ia pun meletakannya di laci meja si pemilik buku.

Setelah tujuannya beres, Hasbi berniat untuk ke UKS, mendamaikan kepalanya yang terasa berdenyut karena kurang tidur. Namun, sebelum itu ia meletakkan tasnya di kelas. Dugaan Hasbi benar, sudah ada beberapa murid yang datang meski masih pagi, kadang ia bertanya apakah murid di madrasah ini tak ada anak yang tidak disiplin? Ah, pertanyaan bodoh itu terbesit kembali saat ini di benak Hasbi.

"Hasbi!"

Kaki Hasbi seketika terhenti oleh panggilan itu, baru saja ia satu langkah lagi memasuki UKS. Hasbi membalikkan badannya dan berdecak karena melihat Kirana lah yang memanggil. Gadis si penyuka debat dengannya berlari kecil menghampiri dari lobi sekolah.

Kirana melirik papan nama ruangan bertuliskan UKS itu, lalu melihat kembali pada Hasbi. "Kenapa ke UKS?"

"Sakit," jawab Hasbi sekenanya.

"Sakit apa?"

Hasbi memutar bola matanya, malas. "Sakit hati." Lalu ia melenggang masuk ke dalam UKS tanpa melihat ekspresi terkejut Kirana.

Mulut Kirana sedikit terbuka, ia bengong sesaat dan masih berdiri di depan UKS. "Ya Allah, selama ini Hasbi menyembunyikan sakit levernya. Benar kata orang, bila ada seseorang yang tampak ceria pasti dia mempunyai masalah yang berat." Kirana bermonolog.

Ia memandangi pintu UKS yang sudah tertutup oleh Hasbi. "Hasbi si banyak omong, si lawak, dan si debat, sungguh malang nasibmu." Ekspresi Kirana sungguh terlihat mengasihani.

Sekitar beberapa menit kemudian bel sekolah berbunyi. Mau tidak mau Hasbi harus segera ke kelas sebelum guru datang. Ia pun mengusaikan istirahatnya di UKS dan melenggang pergi.

"Hasbi, udahan sakitnya?" Kirana langsung menyodorkan pertanyaan ketika ia melihat Hasbi baru masuk kelas dan duduk di kursi kelas.

Hasbi belum menjawab, karena tiba-tiba Ahwa ikut penasaran kenapa Kirana memberikan pertanyaan seperti itu pada Hasbi. "Sakit apa?" Ahwa bertanya langsung juga pada Hasbi.

"Enggak apa-apa, kok," jawabnya pada Ahwa.

Ahwa pun mengangguk kecil pertanda ia paham, karena yang Ahwa tahu Hasbi tidak akan berbohong. Gadis itu kembali ke mejanya. Sementara Kirana menatap Hasbi dengan penuh kasihan seperti di depan UKS tadi.

"Aku tahu kamu berbohong demi kebaikan. Yang rajin minum obat, biar gak sakit lagi," kata Kirana, lalu kembali ke Ahwa yang tengah sibuk mencari sesuatu. Hasbi hanya menanggapi ucapan Kirana dengan gelengan kepala, merasa aneh.

"Ahwa gimana?" Kirana menghampiri ke meja mereka.

Ahwa tersenyum. "Kirain ilang, Kir."

"Ada?"

"Ada, alhamdulillah."

***

Pada hari ini waktu terasa begitu cepat bagi Ahwa. Karena mata pelajaran yang diajarkan sangatlah menarik, sehingga ia melewati waktu tanpa sadar hingga seluruh pelajaran berakhir. Para siswa siswi mulai berhamburan keluar kelas dan memadati parkiran serta tempat tunggu jemputan di depan gerbang. Ahwa baru saja keluar dari kelasnya karena tadi harus menutup semua jendela kelas terlebih dahulu bersama Kirana.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju depan gerbang sekolah. Akan tetapi di lorong, tepat di depan kelas Ning Nadia, Ahwa melihat seseorang yang sangat ia kenali yaitu Gus Zain. Ahwa langsung beranggapan bahwa Gus Zain tengah menunggu Ning Nadia.

"Hasbi hari ini terlihat beda, loh. Apa perasaan aku doang kali, ya?"

Perkataan Kirana membuat netra Ahwa yang tadinya melihat ke arah Gus Zain seketika teralihkan pada Kirana. "Aku juga merasa gitu."

"Ada apa, ya?" tanya Kirana balik.

Ahwa mengangkat bahu. "Entah."

Ahwa dan Kirana terus berjalan, hingga tepat melewati depan kelas Ning Nadia, Gus Zain terlihat memasuki kelas Ning Nadia sehingga tidak mengetahui kehadiran Ahwa. Langkah Ahwa yang lambat ketika mengobrol bersama Kirana, membuat ia mendengar obrolan di dalam kelas yang ia lewati.

"Ning, njenengan kebiasaan banget kalau buru-buru suka ninggalin buku di laci!" Sebuah teriakan dari Jihan membuat Ning Nadia yang ingin menanyakan maksud kehadiran Gus Zain lantas terhenti. Gadis itu tampak tersenyum seraya memasukkan buku yang tertinggal di laci dan berterima kasih pada Jihan karena telah mengingatkannya.

Selain itu Ahwa pun mendengar percakapan Ning Nadia dan Gus Zain yang bertanya sesuatu yang membuat Ahwa suuzan.

"Bukan njenengan, 'kan? Jangan bilang njenengan?"

"Gus, maaf ...."

•••• Bersambung ••••

Terima kasih udah baca sampai sejauh ini. Silakan kritik dan saran jika berkenan. Yaaa, Kirana nggak salah, sih. Hasbi aja yang nggak jelas yagesya, hehe.

• collaboration with aniaputrisyahrani

26 Juni 2022
@najwawafzh_

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang