•••• Selamat Membaca ••••
Istirahat para murid di MA As-Syuhada terjadi ketika akan adzan zuhur, oleh karena itu biasanya murid laki-laki dan beberapa murid perempuan sebelum ke kantin mereka menyambangi mushola kecil yang ada di sana. Secara kebetulan pada saat siang itu, Hasbi bertemu Gus Zain yang lebih dahulu keluar mushola dan tengah memakai sepatunya. Hasbi segera menghampiri.
"Gus Zain," sapa Hasbi dengan penuh keakraban.
Gus Zain menoleh, "ucapkan salam, Hasbi," tegurnya.
Hasbi menampilkan deretan gigi putihnya, lalu memberikan salam pada Gus Zain. Semenjak kegiatan lomba minggu lalu, membuat keduanya menjalin pertemanan yang dekat. Meski Gus Zain adalah senior untuk Hasbi, akan tetapi tidak ada perbedaan pada ketika keduanya mengobrol bersama.
"Mau langsung ke kantin, Gus?" tanya Hasbi ketika usai memakai sepatunya, begitu pun dengan Gus Zain.
"Iya. Mau bareng ke kantin?" Gus Zain bertanya balik.
Hasbi langsung setuju dan mereka pun berjalan beriringan menuju kantin. Tempat yang menjadi tujuan utama dikala lapar menyerang para murid itu seperti biasa terlihat ramai. Hasbi dan Gus Zain terlebih dahulu membeli makanan dan minuman di salah satu kedai, lalu menentukan akan duduk di mana.
Untung saja mereka masih mendapatkan meja di kala ramai seperti ini, kalau tidak terpaksa untuk makan di kelas atau kursi dekat lapangan.
"Kamu tidak mengajak teman sekelasmu itu?" Gus Zain berbasa-basi seraya meletakkan makanannya dan duduk.
"Ahwa dan Kirana maksudmu?"
Gus Zain mengangguk, tangannya mengaduk bakso yang akan disantapnya. Hasbi pun terlihat mengembuskan nafas pelan. "Kalau tidak ke kantin, ya ke mana lagi jika bukan perpustakaan," katanya.
Pria yang ada di hadapan Hasbi itu hanya ber 'oh' ria saja. Ia mulai menikmati makanannya begitu pun dengan Hasbi. Ketenteraman di antara keduanya tak berlangsung lama, sebab Hasbi mulai membuka obrolan baru.
"Sekolah tidak mengikuti lomba lagi, 'kah? Bosan sekali saya, belajar monoton di kelas. Gak ada tantangan yang buat otak saya berpacu," ungkap Hasbi di sela-sela makannya.
"Kamu ini di sekolah niatnya belajar apa ikut lomba, sih." Gus Zain dengan sosok Hasbi ini, sangat ambisius dalam perlombaan.
Hasbi merasa tersentil oleh perkataan Gus Zain. "Ya, tidak seperti itu juga. 'Kan saya ingin terus membanggakan nama sekolah."
Gus Zain hanya menggeleng-geleng heran. "Saya punya ide buat mengisi kebosananmu itu," ujarnya.
"Apa, toh?"
Terlihat Gus Zain menghentikan kegiatan makannya dan mulai berbicara serius. "Bagaimana kalau kita mendirikan organisasi baru di sekolahan ini? Sebenarnya sejak kelas sebelas saya udah merencanakannya, namun saya tidak yakin bisa mendirikannya seorang diri."
"Organisasi apa? Di sekolah ini sudah lengkap organisasinya." Hasbi berpikir seperti itu seusai kenyataan.
Madrasah As-Syuhada yang didirikan oleh Kiai Abdullah-Ayahnya Ning Nadia-ini sudah dikatakan lengkap akan fasilitas dan kegiatan di luar jam sekolah yang bisa mengasah kemampuannya. Sehingga mampu menghadirkan para siswa dan siswi yang berbakat. Adapun pondok pesantren satu yayasan dengan MA As-Syuhada yang menjadi pilihan para murid untuk sekolah sekaligus mondok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
JugendliteraturIzinkan saya mengagumimu, Gus. Boleh? Meskipun nanti tidak akan pernah menjadi satu. Langkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah dari relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa...
