•••• Selamat Membaca ••••
Waktu berlalu begitu cepat, tanpa memedulikan masih cukup banyak tanda tanya dalam benak seorang Ahwa yang belum menemukan kejelasan dan tanda titik. Tidak ada kabar perihal laki-laki yang hampir selalu memenuhi pikirannya. Ingin rasanya dia melupakan, meskipun nyatanya usaha itu selalu berujung sia-sia.
Kelas 12 bagi Ahwa bukanlah lagi di depan mata, melainkan telah berada dalam alurnya. Memikirkan berbagai tugas yang seakan sangat berat, tak lantas menjadikannya tidak memiliki waktu dan ruang pikiran untuk memikirkan lelaki itu.
Tidak perlu disebutkan namanya pun mungkin sebagian orang telah tahu, karena tidak ada yang benar-benar telah usai tentang segalanya di masa itu. Ahwa seakan hanya mengakhiri perjumpaan saja, tidak dengan melapasnya dari ruang pikiran.
Kenaikan Ahwa ke kelas 12 juga menghantarkan Ning Nadia lepas dari MA As-Syuhada. Setelah dinyatakan lulus, kabar keberangkatannya ke universitas di Turki berembus begitu cepat ke segala penjuru sekolah.
Hari ini, sehari sebelum keberangkatannya ke Turki, Ning Nadia pergi ke sekolah. Bukan untuk mengenang kembali masa putih abu-abu yang telah berlalu, melainkan untuk menemui seseorang.
"Hasbi!"
Langkahnya terayun sedikit lebih cepat dari sebelumnya, mencoba menyejajarkan langkah laki-laki yang tampak tengah terburu-buru di depan sana. Untunglah pemilik nama yang dipanggilnya menghentikan langkah.
"Ning Nadia, di sini?" tanyanya merasa heran.
"Iya. Masih istirahat, 'kan?" Pertanyaan Ning Nadia dibalas anggukan oleh Hasbi.
"Boleh minta waktunya sebentar?"
Kalimat pertanyaan itu membawa keduanya telah duduk berseberangan di sini, kantin sekolah. Seakan ada kecanggungan di antara keduanya, tetapi baik Ning Nadia ataupun Hasbi mencoba bersikap biasa saja.
"Njenengan mau ke Turki, bener?" Hasbi bertanya memastikan. Meskipun kabar keberangkatan Ning Nadia telah tersebar luas, dirinya tetap tidak percaya jika bukan kabar langsung dari yang bersangkutan.
"Bener. Besok saya berangkat."
Jawaban yang terlontar dari mulut Ning Nadia sempat membuat Hasbi terkejut. Secepat itukah jadwal keberangkatannya? Jauh lebih cepat dari cara berpikirnya yang masih tetap sibuk mengartikan segalanya yang telah dan sedang terjadi.
"Ning Nadia ke sini mau menemui saya?" Bukannya terlalu percaya diri, tetapi semua terjadi seolah memang seperti itu adanya. Itu yang Hasbi rasakan kini.
Ning Nadia terkekeh sebelum akhirnya kembali angkat bicara. "Kamu emang percaya diri banget, ya, orangnya. Tapi bener, sih."
"Ada apa, Ning?" Siapapun jangan menertawakan Hasbi. Saat ini pikirannya seakan sedang dipenuhi oleh berbagai tanda tanya.
"Nanti malam saya ngadain acara perpisahan sekaligus syukuran di asrama santriwati. Sederhana aja, kayak liwetan. Kalau kamu mau, boleh banget nanti malam datang," jelas Ning Nadia.
Meninggalkan Indonesia sudah pasti menjadi hal berat bagi Ning Nadia. Berpisah dengan banyaknya santriwati yang telah dianggapnya sebagai keluarga dan teman bukanlah hal yang mudah.
Setelah merasa cukup sibuk dengan berbagai kegiatan kelas 12 yang telah berlalu, tidak ada salahnya mengadakan acara makan bersama seperti ini. Anggap saja mengukir kenangan indah sebelum nantinya akan jarang sekali atau mungkin tidak bertemu sama sekali selama kurun waktu yang lama.
Tentu tanpa melupakan temannya di MA, Ning Nadia pun ingin mengajak teman MA-nya untuk ikut serta bergabung jika mau. Salah satunya Hasbi, temannya. Itu salah satu tujuannya datang ke sini.
"Saya, kan, cowok, Ning."
"Nanti ada ikhwan juga di sana. Itu kalau kamu mau. Saya enggak maksa." Ning Nadia menganggap teman, tetapi jika Hasbi tidak, mau bagaimana lagi.
"Mau, kok. InsyaAllah, nanti malam saya datang," Ning Nadia tersenyum sebagai balasan atas ucapan Hasbi barusan.
Hening. Keduanya sejenak saling diam. Hingga tangan Ning Nadia terulur meletakkan sebuah amplop merah muda di atas meja pun keduanya masih sama-sama terdiam. Hasbi benar-benar bingung dengan ini semua.
"Kamu bisa buka amplop ini kalau saya udah pergi dari negeri ini."
Kedua tangan Hasbi terulur pelan mencoba mengambil amplop yang masih berada di atas meja tersebut. "Harus saat njenengan udah pergi?"
Ning Nadia mengangguk. "Itu aja yang mau saya bicarakan. Saya pamit, ya. Kalau mau dan bisa, nanti malam datang."
Saat Ning Nadia beranjak, tanpa sengaja bersamaan dengan kehadiran Ahwa di samping keduanya. Ahwa datang dengan raut muka yang tidak bisa berbohong akan rasa keterkejutannya.
"Nah, ada Ahwa juga. Nanti malam datang, ya. Liwetan, di asrama santriwati." Ning Nadia berucap dengan mencoba akrab. Rasanya masih berbeda semenjak hari semuanya terungkap itu.
"Nanti malam, Ning?" Ahwa bertanya memastikan pendengarannya tidak salah menangkap suara.
"Iya. Semoga kamu mau, ya."***
Semua masih terasa membingungkan bagi Hasbi. Sepulang sekolah, dirinya termenung di depan cermin sembari menyiapkan diri untuk membuka amplop tersebut yang mungkin tak lain berisi surat.
Ini masih sore memang, dan Ning Nadia pun masih berpijak di negeri yang sama dengannya. Seharusnya belum saatnya Hasbi membuka amplop tersebut, sesuai pesan Ning Nadia saat mengulurkan benda yang tengah berada di tangannya saat ini.
Namun, rasa penasaran terlalu menghantuinya saat ini. Daripada pikirannya hanya tertuju pada amplop ini, lebih baik Hasbi segera mengetahui isinya. Walaupun tak ada yang menjamin setelahnya Hasbi benar-benar tenang dan tidak memikirkan isi amplop ini lagi.
Saat hendak membuka, panggilan dari orang tuanya membuat tangannya tercekat hanya sekadar sampai memegang amplop itu saja, belum sempat membuka. Mungkin karena belum waktunya juga. Hasbi pun beranjak memenuhi panggilan orang tuanya.•••• Bersambung ••••
Terima kasih udah baca sampai sejauh ini. Monggo kritik dan saran jika berkenan.
10 September 2022
@najwawafzh_
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
Fiksi RemajaIzinkan saya mengagumimu, Gus. Boleh? Meskipun nanti tidak akan pernah menjadi satu. Langkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah dari relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa...