•••• Selamat membaca ••••
Baru beberapa menit lalu bel istirahat berbunyi, kini kantin telah penuh dengan para pelajar MA As-Syuhada. Di salah satu kursi panjang, tampak dua siswi duduk. Bukannya mengisi perut yang mungkin penghuni di dalamnya sudah demo, meja keduanya justru kosong tak ada makanan. Sedangkan salah satu dari keduanya terlihat sesekali menoleh ke segala arah seakan tengah menunggu seseorang.
Tak lama, siswi yang sedari tadi tak tenang dengan duduknya beranjak, menghampiri dua siswa yang baru saja datang. "Hasbi!" tegurnya seraya mendaratkan buku yang telah tergulung ke lengan salah satu siswa tersebut. Ya, Hasbi.
Gus Zain yang melihat aksi siswi bernama Kirana tersebut tampak terkejut. Untung saja dirinya bukan tipe kakak kelas yang memiliki hobi melabrak adik kelas atas perlakuan tidak mengenakkan.
"Kalem dong, Mbak." Hasbi tak marah. Dia terkadang memang hobi ngegas.
"Hehe. Maaf, ya, Gus."
"Loh, yang dipukul siapa, minta maafnya ke siapa."
Perjalanan ketiganya menghampiri seorang siswi yang setia dengan duduknya diiringi obrolan tak jelas antara Hasbi dan Kirana. Gus Zain sendiri hanya tersenyum dan sesekali berbicara seperlunya.
"Monggo, Gus, duduk," ucap Kirana mempersilakan.
"Oh iya, Gus. Perkenalkan saya Kirana. Ini temen saya. Kita bertiga satu kelas." Kirana beralih pada teman di sampingnya. "Ayo, Wa. Kenalan. Kayak pas MPLS."
"Ahwa ... nama saya Ahwa, Gus."
"Zain." Giliran Gus Zain memperkenalkan diri. Meskipun padahal sebenarnya tak perlu memberitahukan siapa namanya pun orang-orang sudah tahu siapa nama pemilik wajah yang satu ini.
"Ekhem!" Merasa tak dianggap kehadirannya, Hasbi berdeham cukup keras.
"Oh iya, lupa. Hasbiii, selamat woiii! Traktir makan dong! Iya nggak, Wa? Juara kok nggak syukuran." Jangan heran. Kirana memang seperti itu. Kalau dia kalem, tandanya dunia sedang tidak baik-baik saja.
"Bilang aja mau malak." Jeda sepersekian detik. "Gus, hukumnya malak apa, ya?"
Belum sempat Gus Zain menjawab, Kirana mencuri start untuk angkat bicara. "Inget 'kan hadis yang tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?""Kenapa nggak kamu yang jadi tangan di atas?" Senjata makan nona.
"Mau pahala nggak? Keburu masuk, nih."
Dunia milik Hasbi dan Kirana berdua? Pasalnya suara Ahwa dan Gus Zain seolah menghilang ditelan kecanggungan. Rasa canggung menyelimuti mereka berdua. Terlebih Ahwa yang sedari tadi hanya mencoba fokus dengan tasbih digitalnya.
Setelah perdebatan yang tak lama karena Hasbi memilih mempersingkatnya dengan bergegas memesan bakso, gorengan, dan minuman sesuai kesepakatan, saat ini mereka telah cukup sibuk dengan makanan masing-masing.
Namun, jangan percaya jika Kirana benar-benar tenang dengan makanannya. Sedari tadi dia asyik memesan lagi dan lagi. Mengingat Hasbi yang bukan anak pondok membuatnya tega-tega saja memesan banyak.
"Mbak Ahwa siswi pindahan, ya?" Tiba-tiba Gus Zain bersuara, memecah keheningan antara mereka berempat.
"Enggak kok, Gus. Mungkin karena saya lebih sering di kelas, jadi nggak pernah kelihatan. Ehm, panggil Ahwa aja." Senyuman tipis menutup penjelasan Ahwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
Fiksi RemajaIzinkan saya mengagumimu, Gus. Boleh? Meskipun nanti tidak akan pernah menjadi satu. Langkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah dari relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa...