•••• Selamat Membaca ••••
Sepasang netra terpejam memperlihatkan bulu mata lentik yang menawan, hidung mancungnya seolah menjadi pemecah pada terpaan angin yang kini berembus, dan sebuah lengkungan tipis dari bibir yang memiliki tahi lalat di atasnya. Wajah rupawan yang idam-idamkan banyak wanita itu sekarang tengah menghadap jendela kelas yang terbuka, dan angin di luar memberikan sedikit kesejukan pada kulit wajah.
Tepat di hitungan dua puluh detik netra yang terpejam tadi perlahan menampilkan bola mata hitam legam yang indah. Memandangi lapangan sekolah yang terlihat gersang karena cuaca panas hari ini. Di balik cuaca panas yang melanda, Allah begitu baik menghadirkan angin untuk menyejukkan hambanya.
"Ahh, sepertinya pulang sekolah akan hujan," gumam pria itu pelan. Mengingat setiap cuaca panas melanda siang hari, maka sore hari akan turun hujan. Entah prediksi dari siapa, tapi hal itu tidak pernah meleset.
Pria yang acap kali dikenal dengan sebutan Gus Zain itu mengembuskan nafas pelan, seraya merubah posisi yang awalnya menyamping ke arah jendela kelas, kini berubah lurus kembali dengan pandangan melihat suasana kelas. Tampak sedikit ramai, karena di jam pelajaran ke dua guru tidak bisa menghadiri kelas dan hanya memberikan tugas membaca buku materi.
Gus Zain telah menuntaskan bacaannya satu menit yang lalu, dan mungkin teman-teman satu kelasnya pun sudah menyelesaikan juga oleh sebab itu mereka mengisi kekosongan jam dengan mengobrol.
"Wah, ini perempuan udah berani ngasih petunjuk!"
"Pantang menyerah sebelum sakit hati namanya ini."
Gus Zain memiliki telinga yang bisa menangkap obrolan-obrolan mereka saat ini. Tangan Gus Zain pun mengeluarkan sebuah ponsel dan melihat sesuatu yang sedang hangat dibicarakan kini.
Kedua kalinya, pesan rahasia kembali ditunjukkan pada Gus Zain dan dikirim oleh orang yang sama. Gus Zain hanya bisa menanggapinya dengan embusan nafas sabar. Pesan kedua ini sangat mengganggu, bukan karena Gus Zain benci pada perempuan itu tapi pesan yang orang itu tulis sangat merugikan satu pihak yaitu Ning Nadia.
Ya, para murid Madrasah mulai menyudutkan dan memberi kesimpulan sendiri bahwa Ning Nadia lah si pengirim tersebut. Sebab, ada petunjuk di pesan kedua bahwa, perempuan itu mempunyai kedekatan dengan Gus Zain. Kedekatan yang dicurigai kuat adalah antara Gus Zain dan Ning Nadia.
Gus Zain takut bilamana bukan Ning Nadia pengirimnya, maka tuduhan ini akan membuat Ning Nadia merasa risih. Gus Zain hanya bisa berharap, kehebohan ini bisa segera berlalu.
Beberapa menit kemudian, jam pelajaran kedua telah usai dan berganti dengan jam ketiga. Setelah itu maka akan ada istirahat pertama untuk para murid dan guru.
Istirahat kedua selalu Gus Zain gunakan untuk sholat duha, setidaknya di mushola ia tak akan mendengar desas-desus para penggosip mengenai pesan rahasia. Melihat kejadian ini, mungkin kalian bisa tahu seberapa terkenalnya sosok Gus Zain di Madrasah hingga membuat satu kabar saja menghebohkan seantero sekolah sampai luar sekolah.
Usai sholat duha, Gus Zain mengajak Hasbi yang tadi sholat duha juga untuk duduk-duduk di pelantaran mushola.
"Di kelas terlalu panas, ya, buat telinga Njenengan?" Hasbi mengatakan dengan nada bercanda.
Gus Zain melirik sekilas pada Hasbi, lalu melihat aktivitas para siswa siswi yang berlalu-lalang di jam istirahat. "Jadi sangat menghebohkan gini, ya. Perempuan itu cuma mengungkapkan kekaguman saja, tapi orang berlomba-lomba mengungkitnya."
"Namanya juga popularitas, Gus. Njenengan itu sudah dikenal dan dikagumi banyak orang. Ketika ada saja satu orang yang menunjukkan diri ingin dikenal oleh njenengan, maka orang-orang yang ada di sekitar akan beralih atau terpancing dengan 'orang berani' itu," jelas Hasbi yang mudah dimengerti oleh Gus Zain.
"Sampean masih yakin kalau yang ngirim itu Ning Nadia?" tanya Gus Zain kini menoleh pada Hasbi.
"Masih. Toh, di pesan kedua dia ngasih petunjuk kalau dia dekat dengan njenengan. Dan perempuan yang dekat dengan njenengan cuma Ning Nadia."
Gus Zain menggeleng pelan seolah membantah perkataan Hasbi. "Tapi engga mungkin juga, karena yang saya kenal Ning Nadia itu orangnya sangat tidak suka bertele-tele apa lagi untuk mengirim pesan seperti itu."
Hasbi merubah posisi duduknya menjadi menghadap Gus Zain, karena ia merasa tertarik dengan obrolan ini. "Gus, setiap perempuan memiliki rasa malu, terutama pada perasaannya. Katakanlah itu sebuah gengsi. Gak ada perempuan yang mengungkapkan perasaannya secara langsung di hadapan pria."
"Tapi Hasbi, gak semua perempuan di era modern ini ingin mengikuti jejak Fatimah dan Ali." Gus Zain membalas tidak ingin kalah. "Ah, sudahlah. Kita pikir secara sederhana aja, Ning Nadia gak akan melakukan sesuatu yang menghebohkan sehingga mampu mencoreng nama baiknya sebagai anak pendiri pondok dan madrasah."
Hasbi berdecak pada keyakinan teguh Gus Zain saat ini. Pria itu hanya bisa menanggapi dengan gelengan kepala. Perdebatan antara dua kubu ini akan terselesaikan bila identitas pengirim menfess itu terungkap.
***
Prediksi cuaca tadi ternyata benar, hujan telah turun di sore hari dengan begitu deras. Perubahan yang sangat ekstrem. Pada sore hari seluruh jam pelajaran telah usai, karena hari tepat saat hujan turun para murid menunggu jemputan masing-masing di koridor sekolah. Pak satpam membuka gerbang sekolah dengan lebar, dan mempersilahkan para mobil dan motor jemputan memasuki lapangan sekolah untuk menjemput siswa.
Namun, ada juga beberapa murid yang memilih menerobos hujan dengan riang gembira seolah mengulang masa kecil. Mereka tak memedulikan seragam basah ataupun buku yang ada di dalam tas.
"Apa mereka tidak takut sakit?" Seorang perempuan bergumam pada dirinya sendiri. Ia tetap teguh menunggu jemputannya meski seorang diri, sebab para murid sudah dijemput beberapa menit yang lalu.
Perempuan itu memeluk buku-bukunya seolah mencari kehangatan, karena cuaca dingin karena hujan mulai menyergapnya. Ia yang mulanya duduk di kursi depan kelas, lantas berdiri dan melangkah ke depan. Lalu mengulurkan tangan kanannya pada kucuran air hujan dari atas genting koridor sekolah. Jari-jarinya ia biarkan basah. Sebuah lengkungan bibir terukir, menyiratkan kegembiraan hati karena bermain air hujan seperti ini tanpa risiko sakit juga.
Di sisi lain seorang pria yang selalu keluar terakhir dari kelasnya, dia adalah Hasbi, tiba-tiba menghentikan langkah ketika matanya menangkap sosok perempuan di koridor depan kelasnya yang tengah memainkan air hujan dengan jemari. Hasbi segera menghampiri, namun baru satu langkah, sebuah motor yang dikendarai pria paruh baya datang dan membuat perempuan tadi pergi menghampiri.
Hasbi menatap perempuan itu menggunakan jas hujan dan lalu pergi menaiki motor tadi. Hasbi pun mengubah arah untuk melangkah ke kursi depan kelas dan duduk di sana. Akan tetapi baru saja duduk, matanya tak sengaja melihat sebuah buku diari coklat tergeletak tepat saat perempuan tadi berdiri.
"Kenapa dia sangat ceroboh." Hasbi beranjak dari duduknya dan mengambil buku diari tersebut. Segera Hasbi menerobos hujan ke depan gerbang sekolah, ingin melihat perempuan itu sudah benar-benar pergi atau tidak.
Tapi ternyata dia sudah pergi, Hasbi pun memilih meneduh di halte depan gerbang sekolah karena sudah terlanjur ada di sana. "Saya kembalikan besok saja, deh." Buku itu kemudian dimasukkannya ke dalam tas.
•••• Bersambung ••••
Terima kasih udah baca sampai sejauh ini. Kritik dan saran jika berkenan. Btw, percaya kalau yang ngirim Ning Nadia?
• collaboration with aniaputrisyahrani •
24 Juni 2022
@najwawafzh_
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
Teen FictionIzinkan saya mengagumimu, Gus. Boleh? Meskipun nanti tidak akan pernah menjadi satu. Langkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah dari relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa...
