Seminggu, iya udah seminggu dia gak mucul di depan aku seperti yang dia janjikan saat terakhir kita ketemu, dia menjanjikan waktu sehari untuk membereskan semuanya, macam Sangkuriang saja rupanya minta waktu sampai matahari terbit sama Dayang Sumbi, tapi tidak bisa menepati janjinya pula.
dan aku tahu akhir dari ini semua, udah ketebak kan? hubungan kita tuh emang udah gak ada masa depannya, doi masih terlibat sama cinta masa lalunya yang belum selesai, pun juga dengan orang tuanya yang sama sekali tidak memberikan restu bagi kami.
untungnya udah terlatih buat patah hati sih, jadi gak ngenes-ngenes banget, udah biasa dijanjiin manis sama laki-laki tapi akhirnya kandas juga. waktu masih tetap berputar, bumi masih tetap mengelilingi matahari, tidak ada waktu untuk meratapi nasib, hidup harus tetap terus berjalan, no galau-galau club.
"Nyebelin banget sih laki lo, kudu gue apain sih ini?" gerutu hani sambil menatap handphonenya dengan sebal.
"laki siapa, lo marah-marah ke gue." ucapku santai sambil menyeruput es jeruk dari gelasnya.
"sampe sekarang belum hubungin lo?" tanyanya lagi.
aku menggeleng, ini bocah kenapa sih malah alihin topik urusan tugas negara ke masalah pribadiku.
"Buat apa juga dia hubungin gue. udah ga ada hubungan kali."
"Seenggaknya kasih penjelasan gitu."
"heh, kalau dia niat hubungin gue, gak nunggu seminggu juga keles buat ngasih penjelasan." udahlah jadi badmood kan kalo udah bahas dia lagi.
Hani menangkap perubahan raut wajahku, yang tadinya secerah mentari kini kembali redup terkena awan mendung.
"iya-iya maaf deh, nih saking sebelnya gue sama dia, seminggu ini pusing ngasih tugas, yang harusnya kerjaan dia jadi gue semua yang pegang, lo gak mau bantu lagi, kan sebel gue jadinya."
"bukan kerjaan gue juga."
"tapi kalo anak-anak gak dikasih tugas, tetep bakal kita yang kena tegur. daripada kena tegur sama ibu kurikulum udahlah mending gue yang babak belur ngasih tugas ke anak-anak."
Sekredibel itu seorang Hani, sampai-sampai hal yang bukan menjadi tanggung jawabnya dia ambil alih demi agar dia tidak kena tegur karena dia mahasiswa yang lagi dibimbing sama si...., siapalah itu males banget nyebut namanya. Hani pula yang cari alasan buat gak bikin namanya si yang gak mau aku sebutin namanya tetap bisa bolos ngajar. aku sih ga ikutan ya, bodo amat dosa dia yang nanggung sendiri.
Saat malam itu aku pulang dari Ciamis, semua teman-temanku keheranan, apalagi melihat keadaanku yang jauh dari kata baik. Namun malam itu semuanya bungkam, mereka memahami kalau aku butuh waktu untuk menenangkan waktu.
terimakasih untuk teman-temanku yang keesokan harinya mengerubungi kamarku untuk mencari tahu apa yang terjadi saat aku berada di Ciamis.
"Oh my God lo badass banget cuy!" Respon Nina.
"Gelo maneh mah, bener-bener gelo." Respon Ineu.
"Asli, gak nyangka lo bisa hadepin semuanya dengan kuat dan tegar bagai karang yang diterpa sang ombak." Respon Hani dengan perasaan yang entahlah, lebai emosi, shock, gak nyangka atau setengah gak waras.
****
DrrrrtttttKulirik ponsel di samping laptopku, panggilan dari nomor yang sama. Kuangkat? Tidak. Semuanya sudah selesai. Tidak ada kata berbalik lagi.
Sudah puluhan kali nomor yang sama menghubungiku yang sedang fokus mengerjakan revisi skripsi ini hingga berkali-kali fokusku hilang karena teralihkan oleh panggilan masuk tersebut.
Tok tok
"Din, ada kang Wastu di bawah." Ucap Hani yang langsung membuka pintu kamarku."Suruh pulang aja. Gue udah ga mau ketemu lagi." Ucapku.
"Kalo lo ngehindar terus, kapan beresnya urusan lo? Sebentar lagi kita udah mau perpisahan PPL, seenggaknya ada closure lah. Lo milih putus atau terus? Kata Judika sih gitu." Bisa-bisanya bercanda ni bocah.
"Oke fine, gue nemuin dia. Puas lo!" Ucapku sambil beranjak dari meja belajarku.
"Kamu sehat?"
"Seperti kelihatannya, sangat sangat sehat." Ucapku ketus.
"Maaf."
"Untuk?"
"Semuanya, semua yang udah kamu alamin, baru bisa ngabarin dan nemuin kamu juga sekarang."
"Its oke, gak masalah, dan udah aku maafin kok, tapi mungkin akan sulit dilupakan." Jawabku lagi.
"Oo.. O.. Ke." Ucapnya terbata.
"Udah kan?"
"Hah?"
"Yaudah itu aja kan? Kalau ga ada yang mau diobrolin lagi aku mau ke kamar lagi."
"No.. No.." Ucapnya sambil meraih tanganku. "Ada yang mau aku tanyain."
"Silakan."
"Sekarang kita gimana?"
"Ya gak gimana-gimana. Semua udah selesai kan? Ga ada lagi yang bisa diperjuangin dari hubungan kita kang. Nama aku udah jelek di mata keluarga kamu. Ibu kamu gak suka sama aku. Kalau kita paksain hubungan kita, yang ada kamu bakal selalu ada di dua persimpangan antara aku dan ibu kamu."
"Seriously? Kamu gak mau kita berjuang lagi?"
"Aku sudah berjuang, dari awal aku sudah berjuang. Tapi harga diriku dari awal sudah dianggap tidak berharga di mata ibu kamu. Aku rasa ini tuh gak adil buat aku. Saat kamu datang ke rumahku, kedua orangtuaku menyambut dengan baik, dengan tangan terbuka, tapi saat aku datang ke keluarga kamu aku tuh apa? Aku ingin keluarga laki-laki yang mau sama aku juga memperlakukan aku dengan baik. Kamu mau aku tapi tidak dengan keluargamu buat apa?" Air mata yang sedari tadi aku tahan sekarang mulai mengalir tak terbendung.
"Din..." Ucapnya sendu.
"Aku harap akang selalu bahagia dengan siapapun." Ucapku yang langsung meninggalkannya.
****
"Its oke Dinda, putus cinta itu kan udah biasa buat lo. Besokan juga lo udah biasa lagi." Ucap Hani sahabat biadabku."Serah lo dah." Ucapku sambil menelungkupkan kembali kepalaku di bawah bantal.
"Terus kado perpisahan yang udah lo beli mau dikasiin apa dibakar aja?"
"Gue bakar." Ucapku lagi sambil terus sesenggukan.
"Nyokap dia belum kenal sama lo aja, kalo kenal pasti suka. Kalo masih cinta lo harusnya berjuang dong."
"Ogah gue. Belum-belum aja nyokapnya udah jahat banget sama gue. Ya seenggaknya lah, lamar cewe pilihan dia ga usah bawa-bawa gue. Atau kalo nggak jangan dulu lamar selama gue ada di sana lah gitu. Ini masalahnya buka like or dislike tapi saling menghargai sesama perempuan aja gitu. Empati aja gitu, mikirin gimana kalo dia ada di posisi gue? Ini mah kan nggak."
"Gue juga gak mau jadi cewek egois ya Han, yang maksain Wastu suruh pilih gue dibanding ibunya. Sementara bakti pertama cowok tuh yang sama ibunya."
"Calon istri solehah." Ucapnya lagi yang membuatku menggerutu di sela-sela tangisanku.
Sudah puluhan pesan yang Wastu kirimkan tapi tidak ada satupun yang aku buka. Aku tidak mau goyah, apalagi Berubah fikiran. Wastu hanyalah bagian dari kepingan masa lalu yamg harus ku simpan rapat-rapat tanpa harus ku tengok lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Journey
Romanceperjalanan untuk mendapatkan seseorang yang tepat dalam hidup. Sequel my love my miracle