Jangan Rubah Takdirku

9 0 0
                                    

"Tu, sabtu besok bisa pulang ke Ciamis?" Lagi Wastu menghela nafas.

Sudah hampir 5 bulan Wastu tidak pulang ke rumah orang tuanya. Alasannya? Malas dipaksa cepet-cepet menikah, bahkan sampai dijodoh-jodohkan dengan anak teman ibunya.

Emang gue sedesperate itu ya? Ga bisa cari calon istri sendiri. Padahal umur masih 28 buat cowok tuh wajar kan kalo belum nikah.

"Ga ada alasan!" Baru juga Wastu akan menjawab, sudah terpotong oleh ucapan ibunya.

"Iya mah." Jawabnya pasrah.

"Gimana kamu sama si Sri? Dia bilang tiap dia wa kamu, kamu jarang bales. sekali aja atuh kamu nurut omongan mama? pilihan orang tua itu ga pernah salah. Naon salahna sih coba deket sama si Sri?" Mulai lagi dengan khutbahnya.

Wastu hanya bisa mendesah perlahan. Yang namanya urusan hati kan gak bisa dipaksakan ya? Sekarang Wastu itu udah nganggap Sri sebagai adik, ga ada perasaan apapun yang lebih dari itu.

"Wastu udah punya perempuan pilihan Wastu sendiri mah." Jawabnya.

"Yakin kamu sama yang ini berhasil? Sama yang kemaren juga ga berhasil kan? Pilihan kamu sendiri loh itu." Sindirnya.

"InshaaAllah yang ini jodoh Wastu."

"Kamu udah bilang ke dia syarat buat jadi istri kamu?"

"Mah!"

"Kamu anak mama satu-satunya Wastu, yang nerusin bisnis perkebunan rempah di sini siapa lagi kalau bukan kamu?"

"Biar diurus mang Dadang aja lah mah." Ucapnya santai menyebutkan nama adik dari ayahnya.

"Maenya kebon nu urang diurus ku batur? Kumaha lamun teu bener ngurusna? Nu aya lain untung, kalah beak." (Masa kebun sendiri dikelola orang lain? Gimana kalau ngurusnya ga bener? Bukannya untung malah abis.)

"Nya sing percaya we atuh mah, da mang Dadang teh lain batur, adi si bapa. Salila ieu ge mang Dadang lain nu sok mantuan ngurus kebon urang? Barudakna ge mantuan. Wastu mah minatna ge ngajar, jadi guru. Lain bisnis." (Ya harusnya percaya dong mah, kan mang Dadang bukan orang lain, adiknya bapak. Selama ini juga mang Dadang yang suka bantuin kelola kebun kan? Anak-anaknya juga ikut bantuin kita. Wastu itu minatnya ngajar, jadi guru, bukan bisnis.

"Sabaraha sih Tu gaji guru?  Jeung kiriman ti mama tiap bulan ge gedean kiriman ti mama." (Berapa sih Tu gaji jadi guru? Sama uang kiriman mama juga masih gedean urang kiriman mama)

Kembali Wastu menghela nafas berat. Mamanya masih belum mengerti, kalau dia mengajar itu bukan perkara uang, tapi panggilan jiwa, Wastu merasa dirinya hidup dan memberi manfaaat ketika dia membagiakan ilmunya pada murid-murid di sekolah dan di kampusnya. Sudah berkali-kali Wastu menceritakan itu semua, tapi orangtuanya tetap tidak mengerti, menurut mereka orientasi kesuksesan itu bersumber pada uang yang dihasilkan, bukan manfaat apa yang diberikan untuk sesama.

Dan untuk kesekian kalinya dia malas untuk menjelaskan pemikirannya lagi dan lagi, karena sampai kapanpun orangtuanya tidak akan pernah mengerti.

"Wastu sabtu pulang."

"Nya kudu!" (Ya harus!) Pungkasnya sambil memutus sambungan telfon. Seperti itulah jika mamanya menelfon, tidak jauh dari jodoh pilihan emak.

****

"Tumben-tumbenan lo ngajak ngumpul, biasanya gue yang selalu ngajak duluan." Ucap Firman santai sambil menyeruput kopinya.

Our JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang