Author P.O.V
"Kemaren HRV, sekarang Mobilio." Celetuk ineu sambil bersender di dinding dekat pintu kamarnya saat mendapati Dinda yang baru saja menutup pintu gerbang.
"Ohhh, gue baru tau sekarang ada lambe turah di kosan kita." Dinda duduk di kursi tamu.
"Elo mah ah ga asik." Ineu ikut bergabung dengan Dinda duduk di kursi tamu.
"Ga asik gimana sih?"
"Jadinya mau pilih yang mana? Yang HRV apa Mobilio?"
"Siapa juga yang suruh milih?"
"Lah gue barusan!"
"Gak dua-duanya, karena yang satu masa lalu, dan yang satu lagi bukan siapa-siapa gue."
"Hah masa lalu? Yang mana?" Tanya Ineu sedikit terkejut.
"Mobilio."
"Maksud lo Dio?"
"Siapa lagi?"
"Lo gak niat buat balikan kan?"
"Enggak lah, enak aja gue, gini-gini juga gue masih punya Iman dan taat agama ya, kalaupun dia yang mau sama gue ya konsekuensinya dia kudu pindah satu keyakinan sama gue."
"Lo udah bilang?"
"Gue ga akan pernah bilang, apalagi minta. Gue gak mau maksa dia buat pindah keyakinan sama kaya gue. Itu sama aja gue ngelewatin batas. Lagipula ini bahasan kayanya udah basi banget deh neu, udah lama juga dua tahun yang lalu."
"Ya siapa tau aja gitu. Apalagi dia tau lo masih sendiri."
"Dia udah tunangan."
Flashback on
"Kakak ke Bandung sengaja?" Dio hanya mengangguk sambil tersenyum simpul.
"Sebenernya aku kesini nganterin tunangan aku ketemu temen-temen kampusnya dulu. Gak mau ngeganggu, jadi aku jalan-jalan aja sendirian ke palasari. Kangen juga udah lama gak kesana."
"Woaahh, kakak udah tunangan?" Dan hanya dijawab dengan anggukan dan senyuman. Senyuman yang dulu sempat berarti dalam hidup Dinda.
"Congratulation, Iam glad to hear that." Senyum Dio semakin merekah.
"Thanks ya Din."
"Buat apa?"
"Kamu udah ngajarin aku arti berkorban." Dinda mengerutkan keningnya.
"Berkorban mengenyampingkan keegoisan kita, untuk terus bersama yang sampai kapanpun akhirnya kita bakal tetep sama-sama saling menyakiti. Kita sama-sama selalu berharap siapa yang akan menyerah dengan keyakinannya dan memilih untuk bersama. Dan itu semua adalah suatu kemustahilan bagi kita berdua." Dinda hanya tersenyum menanggapinya. Tak ada perasaan sakit, ataupun kecewa, karena memang menurutnya itu adalah pilihan yang tepat.
"Aku ga tau harus ngomong apa kak, speechless banget. Tapi yang jelas aku ikut seneng kakak udah nemu the one nya kakak." Dio hanya mengangguk.
"Kamu sendiri?"
"Aku sih masih betah sendiri kak. Tapi jangan kira aku belum bisa move on loh. Emang belum nemu the one nya aja."
"Mas-mas yang tadi itu?"
"Itu mah kang Wastu, guru pembimbing di sekolah tempat aku praktek."
"Tapi kok aku liatnya beda ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Journey
Romansaperjalanan untuk mendapatkan seseorang yang tepat dalam hidup. Sequel my love my miracle