Cukup Sampai di Sini

7 0 0
                                    

"Kamu siap kan?" Tanya Kang Wastu padaku saat mobilnya sudah terparkir tepat di depan rumahnya.

Perjalanan selama 5 jam dari Bandung ke Ciamis tidak serta merta membawaku dalam kesiapan bertemu dengan kedua orang tuanya. Kembali teringat kisah Kang Wastu dengan masa lalunya, nyaliku kembali menciut untuk menghadapi keadaan seperti ini. Keadaan yang memang harus kuhadapi cepat atau lambat.

Aku mengangguk ragu, kemudian membuka seatbelt ku perlahan, mencoba mengulur waktu yang kuharapkan bisa meloncat sampai sehari besok saat aku sudah kembali ke Bandung, andai saja bisa.

Kang Wastu meraih satu tanganku ke dalam genggamannya, seolah memberikanku kekuatan bahwa semuanya akan baik-baik saja, sambil melangkah menuju pintu masuk yang akan mempertemukanku dengan orangtuanya, terkhusus ibunya.

"Eh, anak mamah tau jalan pulang ternyata." Sarkasnya sebelum kami sempat mengucapkan salam.

"Assalamualaikum." Salam Kang Wastu.

"Waalaikumsalam." Wajahnya terlihat biasa saja, tidak memperlihatkan raut ketidaksukaan terhadapku.

"Mah, ini Dinda, pacar Wastu." Aku menyalaminya dengan hormat.

"Sehat tante?" Tanyaku sopan.

"Seperti kelihatannya saja." Yah, kurasa dengan kalimatnya itu, ibu Kang Wastu mulai memberi jarak, bahwa aku tidak akan bisa lebih mendekat.

"Ini tante, sedikit oleh-oleh."

"Terimakasih." Aku hanya bisa tersenyum getir mendengar jawaban datarnya. Sebegitu tidak sukanya kah beliau padaku? padahal kan kami baru bertemu, setidaknya aku diberi kesempatan kan untuk mendekat? ah tante ini mungkin tidak tau pribahasa tak kenal maka tak sayang.

Aku tidak bisa menyalahkan Kang Wastu atas perlakuan ibunya ini, toh kita tidak bisa juga kan memaksa semua orang untuk menyukai kita? Kang Wastu pun sama sekali tidak memberikan perlawanan apapun saat melihat tingkah ibunya kepadaku. Aku menyadari karena dia masih harus menghormati beliau sebagai ibunya, hanya genggamannya saja di tanganku yang kembali mengerat serta usapan ibu jarinyanya di punggung tanganku. Cukup, bagiku untuk saat ini, perlakuannya sudah cukup, aku tidak akan menuntut apapun karena aku sadar saat ini aku bukan siapa-siapanya yang bisa menuntut ini dan itu.

Jadi setelah 2 minggu kami menjalin hubungan, kang Wastu menceritakan kalau nanti dia menikah, orangtuanya berharap dia pindah ke sini memboyong istrinya. Aku sih gak akan masalah, mau tinggal di manapun, tapi setelah aku mengalami sendiri saat-saat seperti ini, aku menjadi ragu, sangat ragu. Apa nanti aku akan sanggup menghadapi perlakuan ibunya yang seperti ini setiap hari? Sementara di rumah aku terbiasa dengan curahan kasih sayang, meskipun tak jarang ibu mengomel kepadaku.

Aku menghela nafas berat, dan kang Wastu menyadari semua itu.

"Maafin mama ya Din." Ucapnya perlahan setelah ibunya melengos begitu saja ke dalam dan hanya dijawab anggukan olehku.

"Ehh... Budak bapak geus balik gening?" (Eh anak bapak udah pulang?) Suara dari belakang memecahkan fikiran kami berdua, bapak Wastu yang menghampiri.

"Pak...!" Sapa Kang Wastu berbalik sambil menyalami tangannya kemudian memeluknya.

"Cageur maneh jang?" (Sehat kamu nak 'untuk anak laki-laki'?)

"Alhamdulillah pak, bapak sehat?"

"Nya kieu weh, sering encok." (Ya gini aja, sering encok.)

"Eh ari si nyai ieu saha jang?" (Eh kalo anak perempuan ini siapa nak?)

Aku tersenyum kemudian menyalami tangannya yang sudah berkeriput di mana-mana.

Our JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang