Ku tatap bosan sekeliling paviliun Ye yang membosankan itu. Para pelayanku, Shishi dan Yingying berdiri layaknya patung dikedua sudut ruangan. Ku topang daguku diatas meja kayu sebal dengan keadaanku sekarang. Aku tak suka menunggu, menunggu itu membosankan. Aku juga pernah trauma gara-gara menunggu seseorang. Ya, saat itu musim panas, dengan bodohnya ku tunggu seorang lelaki yang baru menyatakan perasaannya padaku di lapangan sekolah. Panas sekali saat itu, dianya tak datang-datang yang ada aku masuk rumah sakit selama sebulan penuh lantaran panas tinggi.
Dan apa yang kudapat? Lelaki itu berpacaran dengan sepupuku! Dan itulah alasanku begitu membenci menunggu. Kau bertanya siapa yang ku tunggu? Tentu saja teman baruku Xu Hui. Setelah aku menolongnya, kami menjadi akrab. Kami saling membantu dalam pelajaran etika saling memperdalam ilmu masing-masing, apalagi kami juga memiliki kesukaan yang sama pada ilmu perang dan kudapati ia mengetahui banyak ilmu perang yang tak ku tahu.
"Meiniang!" Suara lembut Xu Hui membuatku tersenyum padanya. "Kakak Xu, kau sudah datang?"
"Iya, ku bawakan kau banyak buku perang" Xu Hui meletakkan gulungan-gulungan buku perang itu ke atas meja.
"Terima kasih kakak Xu" ku ambil salah satu gulungan diatas meja menatapnya penuh minat. Gulungan itu berisi taktik perang Xiang Yu. Kulemparkan tatapanku pada beberapa bait selanjutnya.
"Meiniang" Xu Hui memanggilku lembut.
Kuangkat wajahku menatap lurus pada manik matanya, "ya?"
"Hari ini adalah tanggal tujuh bulan tujuh"
Ku tatap bingun perkataannya memangnya ada apa dengan hari ini? Apa ada yang aneh dengan itu? Ini semakin membuat aku kebingunan. "Kenapa dengan hari ini?" Tanyaku polos padanya.
Xu Hui menggeleng pelan, seutas senyum tersungging di wajahnya. "Hari ini Qiqiao"
Aku ber'oh' ria. Baru ku sadari hari apa itu. Xu Hui tersenyum lagi padaku, "apa kau memiliko janji hari ini?" Ku gelengkan kepalaku padanya membuat Xu Hui lagi-lagi tersenyum senang.
"Bagus, kalau begitu nanti malam datanglah ke taman bunga. "Aku akan menunggumu"
"Baik, tapi mau apa kakak Xu?"
"Pokoknya datang saja . . ."
Aku mengangguk mengiyakan ajakannya. Pandanganku berada di gulungan tersebut tapi pikiranku masih memikirkan kemauan Xu Hui itu.
#
Kuangkat lampion yang ku pegang sendari tadi. Remang-remang lampu lampion membuat jalan setapak taman bunga ini menjadi semakin menyeramkan. Kuarahkan lampion itu menuju arah pepohonan beringin berada. Menyeramkan, hanya dengan melihat angin meniup daun-daun pohon itu saja bulu kundukku merinding.
Kutelan air liurku kembali menatap jalan setapak itu. Ku fokuskan seluruh penglihatanku pada jalan setapak itu menghiraukan suara-suara aneh disekeliling.
Aku menemukan sebuah paviliun dengan nyala lilin yang menerangi seluruh paviliun itu. Tanpa berpikir pa jang aku berlari menuju paviliun itu. Kulihat diatas meja telah tersedia air teh dan beberapa makanan kecil. Kuraih teko teh itu, tanpa pikir panjang ku ayunkan teko tersebut ke mulutku yang telah terbuka lebar.
"Mei . . .Niang . . ." Suara lambat dari kejauhan membuat ku berhenti. "Mei . . .Niang" kali ink bulu kundukku meremang, kakiku tak henti-hentinya bergetar.
Disaat-saat seperti ini sepertinya tak menjawab adalah solusi satu-satunya. Kutahu itu dari siaran radio kejadian-kejadian aneh di Kuwo. Katanya ketika malam tiba dan namamu tiba-tiba dipanggil di tempat sepi kau sebaiknya tak menjawab dan bersikap tenang.
Kuletakkan teko dari keramik itu. Ku beranikan diriku duduk di kursi batu itu.
"Siapa pun dirimu, aku tak takut!" Ku rasakan sentuhan tangan di pundakku, dingin. Aku semakin ketakutan.
"Mei . . .Niang . . . Ini aku . . ." Bolak balik kubacakan beberapa mantra buddha. "Ini aku . . . "Aku berbalik mengacungkan kalung giok berukir patung buddha. "Makhluk jahat menjauhlah!" Ku tutup mataku tak berniat melihat wajah hantu itu.
Beberapa saat telah berlalu, sebuah suara tawa keras membuatku membuka mata kiriku pelan-pelan. Aku dapati kakak Xu sedang menertawai kekonyolanku. Ku pukul pelan lengannya berniat menghentikan tawanya.
"Kakak Xu, kau keterlaluan! Kenapa berbicara seperti hantu!"
"Aku . . . Hahaha . . . Hanya kedinginan sehingga . . . Hahaha . . . Terdengar seperti itu" ku pukul lagi lengannya. "Dasar! Kakak Xu jahat"
Susah payah ia hentikan tawanya. "Gara-gara kau juga aku begini. Aku sudah menunggumu disini selama waktu setengah dupa kenapa kau baru tiba sekarang?" Tanya kakak Xu sambil menahan tawanya.
"Tempat ini terlalu menakutkan sehingga aku harus waspada berjalan di taman ini jadi aku berjalan lambat-lambat kesini" aku kembali duduk di kursi batu. "Jadi kenapa kau mengajakku kesini?"
Xu Hui dudul berhadapan denganku. "Tidakkah kau berpikir ini adalah hari yang bagus untuk mengucapkan sumpah?"
Ku tuang teh kedalam dua cangkir kemudian aku meneguknya segelas. "Sumpah? Sumpah apa?" Tanyaku kebingunan.
Xu Hui menoel keningku membuatku menjerit sakit.
"Tidakkah kau berpikir bahwa hari ini merupakan hari terbaik untuk membuat sumpah menjadi kakak-adik?"
Tanganku berhenti mengelus dahiku, apakah maksudnya kami akan mengucapkan sumpah menjadi keluarga seperti dalam film bersetting zaman dulu? Aku tak menyangka akan mengalaminya sendiri. Tentu saja aku senang.
"Jadi, maukah kau bersumpah denganku?" Tanya Xu Hui meraih kedua tanganku.
"Tentu! Pasti aku mau kan?" Aku tersenyum padanya.
Ingin sekali aku menyaksikan demgan mata kepalaku sendiri kejadian pengikatan persaudaraan ini. Xu Hui mengajakku menuju altar sementara di depan halaman tak jauh dari paviliun. Diatas altar itu sudah tersedia dupa tiga batang, sesajian berupa jeruk, buah-buahan tersedia juga bunga-bungaan. Xu Hui berlutut dan aku mengikutinya berlutut di samping.
"Anu . . . Kakak Xu aku tak tahu sumpah-sumpahnya" kataku apa adanya.
"Tak apa. Kau ikuti saja apa kataku" katanya merapatkan kedua telapak tangannya.
Ku ikuti gerak-geriknya. "Aku Xu Hui" katanya menatap lurus pada langit.
"Dan aku, Wu Meiniang"
"Hari ini bersumpah. Menjadi saudara. Meskipun tak bisa lahir di hari, bulan dan tahun yang sama, namun kami berjanji mati pada hari, bulan dan tahun yang sama. Tak peduli siapapun yang berjaya duluan kamk pasti akan saling tolong-menolong. "Aku membeo dibelakangnya.
Xu Hui berdiri, aku juga mengikutinya. "Mulai sekarang kita sudah menjadi saudara. Gelang giok ini ku berikan padamu"
"Kakak Xu, itu terlalu berharga aku tak bisa menerimanya"
"Tidak. Lihatlah, aku juga memiliki gelang yang sama" Xu Hui menarik lengan bajunya memperlihatkan gelang giok bewarna merah darah.
Kuterima gelang giok.merah itu dan memakainya. "Ayo kita rayakan"
Kuanggukkan kepalaku. Di bimbingnya aku menuju paviliun tadi menghabiskan banyak makanan-makanan kecil yang tersedia di atas meja. Kakak Xu berbincang-bincang ceria padaku dan aku akan membalasnya dengan kebahagiaan yang sama. Malam bulan purnama itu, kuhabiskan dengan penuh kegembiraan. Hingga pagi menjelang kami baru pulang ke peristirahatan masing-masing.
To Be Continue . . .
Hello! Maaf telat posting. Btw silakan dinikmati cerita ini. Kalau berkenan juga boleh tinggalkan jejak kalian berupa vote atau komen ya ^^
See you next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower of the Harem
Ficção Históricaaku bukan siapa-siapa hanya seorang mahasiswi jurusan politik semester tiga. suatu peristiwa mengerikan terjadi begitu saja pada diriku. aku ditikam! saat mataku terbuka. aku sudah berada di tempat asing. semua orang begitu aneh! mereka memanggilku...