Chapter 17 - We call it destiny

5.4K 254 10
                                    

Alinea memperhatikan bagaimana Ales dengan tenang menyantap makanannya. Tidak sekalipun pandangan mereka bertemu, meski Alinea tidak putus memandangnya. Sempurna. Ales tidak kurang dari kata sempurna. Garis rahangnya, hidungnya, bibirnya, semua bagai pahatan tuhan yang dirancang dengan pemikiran yang sangat matang.

Alinea memperhatikan bekas luka di sekitaran lengan Ales, sebuah tanda yang membuatnya seperti manusia. Karena selebihnya, lelaki itu lebih mirip malaikat. Alinea sadar, seharusnya ia tidak menatap lebih lama. Karena makin ia mempelajari detail dari seorang Ales, makin dalam perasaan itu tercipta. Perasaan yang hanya Alinea sendiri yang tahu karena tak pernah terucap.

"Flight selanjutnya kemana, Al?". Tanya Ales.

Alinea bahkan butuh waktu beberapa detik untuk memproses perkataan Ales. "Eh.. Balik ke Jakarta, Capt".

"Oh. 3 hari lagi juga?". Tanya Ales lagi.

"Iya, Capt. Saya crew Capt. Ales nanti penerbangan ke Jakarta". Ucap Alinea.

Ales mengangguk sebelum meneguk air mineralnya. "Kamu kalo diluar gak usah panggil saya Capt, Al. Dari dulu masih aja".

Mata Alinea mengerjap berulang kali, mulutnya bahkan terbuka karena terkejut. Benarkah ini Ales yang selama ini ia tahu?

"Eh, udah kebiasa soalnya, Capt". Jawab Alinea.

"Iya, tapi jadi formal banget. Panggil Ales aja". Ceplos Ales.

Jantung Alinea berdegup tak karuan mendengar permintaan Ales, tak mau berkoordinasi dengan baik. Empat tahun bekerja di maskapai yang sama, beberapa kali saling bertemu, baru kali ini rasanya Alinea mengenal sosok Ales sampai sedekat ini. Pipi gadis itu panas rasanya, sama sekali tidak mengantisipasi hal tersebut.

"Oke, Capt". Balas Alinea reflek.

"Ales". Koreksi Ales.

"Iya, Ales". Jawab Alinea lagi.

Di saat bersamaan, segerombolan orang berbaju hitam memasuki cafe, membuat beberapa orang didalam yang sedang bercengkrama mengalihkan perhatiannya. Tidak lama dari itu, seorang gadis dengan penampilan yang elegan masuk kedalam cafe, gadis itu memiliki aura yang sangat memikat. Beberapa pasang mata tak lepas menatap kearahnya.

Dengan balutan dress hitam sebatas paha dan riasan seadanya, ia terlihat berkilau. Beberapa pengunjung cafe tak henti memandang kearahnya, memutar lehernya hingga tak lagi mengenal malu. Dengan didampingi beberapa orang lagi di sekitarnya, gadis itu duduk di salah satu sudut yang memang sudah terisi. Desas-desus pengunjung langsung ramai membisikkan namanya ;

Oceana.

———

Sean dan El duduk di salah satu bangku yang memang sudah direservasi sebelumnya oleh pihak client. Meeting mendadak ini terjadi karena keinginan salah satu brand high end memiliki Sean sebagai Brand Ambassadornya. Perlu waktu yang cukup lama bagi El untuk membujuk sang gadis yang moodnya sedang kurang baik itu. Bahkan, El sampai harus memberinya libur tambahan di jadwal demi menyeretnya keluar dari kamar hotel.

Matanya yang lumayan bengkak itu sengaja ditutupi dengan riasan mata gelap, membuatnya tertutup. Siapapun yang melihat Sean sekarang pasti merasakan aura intimidasi itu darinya. Beberapa orang sengaja memotret Sean dari mejanya, membuat kumpulan bodyguard Sean harus bekerja keras menjaga privasi artisnya.

"We have a really high expectation that you can consider us". Ucap salah seorang dari sisi client Sean.

Mood sang gadis benar-benar sedang buruk, ia bahkan tak menjaga ekspresinya sama sekali. Sebagian besar meeting kali ini ia serahkan pada El.

"I want soup". Tiba-tiba Sean berkata.

Semua yang tengah mengobrol serius di meja tersebut langsung menoleh kearahnya, terutama El yang langsung memelototinya.

Salah seorang bodyguard mendekat pada Sean dan menanyakan pesanannya untuk segera disampaikan pada pelayan kafe.

"Just get me any kind of soup. Cepetan". Perintah Sean.

Sang bodyguard langsung bergegas menuju ke salah seorang pelayan yang sedang bersiaga di ujung ruangan.

"Can you get us soup? Corn soup or mushroom soup is fine and get it to table 86, make sure to get it ready fast cause Ms. Oceana doesn't like to wait". Ucap sang bodyguard.

Mendengar hal itu Pelayan cafe langsung mengangguk dan melesat ke dalam dapur.

———

...Ms. Oceana doesn't like to wait".

Ales yang tengah menikmati makanannya langsung terhenti. Lelaki itu tidak mungkin salah dengar.

Ales menoleh, menemukan seorang dengan pakaian jas dan serba rapi berjalan kembali menuju meja yang letaknya tak jauh darinya. Dan disanalah ia.

Pupil Ales langsung membesar, seakan tak percaya dengan apa yang ditemuinya. Oceana tengah duduk disana, dengan penampilan yang bukan main memukaunya. Entah kebetulan jenis apa ini, karena mata Ales bahkan tak mampu bergerak dari sana.

Gadis itu melipat tangannya di dadanya, wajahnya sama sekali tidak bersahabat. Untunglah sang gadis nampaknya tidak menyadari kehadiran Ales disana.

"Kenapa, Ales?". Suara Alinea pada akhirnya menyadarkan Ales.

Lelaki itu kembali berfokus pada makanannya. "Enggak. Itu rame-rame kirain ada apaan".

"Oh, kayaknya ada artis tadi. Kalo gak salah Oceana ya". Sahut Alinea.

Ales hanya mengangguk menanggapinya.

"Dia aslinya memang cantik sekali ya, saya sempet lihat wajahnya dari deket waktu flight kemarin". Ucap Alinea tiba-tiba.

Ales mengalihkan pandangannya pada Alinea. "Penumpang first class ya?".

"Iya. Saya hampir aja membahayakan dia, Les. Saya beneran gak tau kalo Oceana alergi strawberry". Tambah Alinea lagi.

"Bukan salahmu, memang dianya aja yang pengen mengintimidasi. Lagipula kan bisa disingkirin yang dia gak mau makan". Balas Ales.

Alinea menggeleng. "Saya tetep ngerasa bersalah, karena hampir membahayakan nyawa penumpang".

Ingin rasanya Ales menyuarakan betapa drama queen-nya seorang Sean, agar Alinea tidak perlu lagi merasa bersalah. Namun urung, tidak ada yang perlu tau kalau Ales mengenal Sean secara 'intim'.

Ales kemudian menyudahi agenda makannya. Ia kemudian mengangkat tangannya untuk memanggil salah seorang pelayan agar membawakan bill.

Di sisi lain, hal itu menarik perhatian Sean, ia sepertinya mengenal lengan dan arloji itu. Saat sang pemilik lengan menoleh karena tak kunjung ada pelayan yang menghampirinya, pada akhirnya tatapan mereka bertemu. Netra mereka saling lekat menatap, seakan tidak mempercayai yang namanya takdir kembali mempertemukan mereka di tempat yang tidak seharusnya.

"Gimana Sean?". Tanya El, namun mata itu tak mau berhenti saling menatap seakan keduanya terhisap magnet yang berbeda kubu.

"Whatever, putusin aja". Jawab Sean sekenanya.

Hal yang selanjutnya membuat Sean tidak bisa memfokuskan pikirannya adalah ketika seorang pelayan menghampiri Ales dan menyodorkan bill kepadanya. Karena lelaki itu langsung menggulung lengan kemejanya lebih tinggi, dan menyerahkan sebuah kartu berwarna hitam.

Sialan. Ilmu hitam apa yang lelaki itu gunakan? Sean sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya dari figur itu. Hal terakhir yang membuat Sean terpana ialah ketika lelaki itu memandangnya lekat sekali lagi, dengan intensitas yang sama, dan menjilat bibirnya sendiri.

He will be the death of anyone, and that anyone is including Oceana.

——

ARRIVAL DATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang