G -3

81 11 3
                                    

"tutup mulut lo atau gue tutup usia lo?"

—Salwa

♡♡♡

"Salwa!"

Sebuah panggilan membuat Salwa menghentikan langkah kakinya di tengah koridor lantai 1. Dia memutar badan, mencari suara siapa yang baru saja meneriakkan namanya.

"Bintang?" sapa Salwa dengan heran. Tidak seperti biasanya laki-laki yang selama ini terkenal beku tiba-tiba memanggilnya.

Laki-laki itu sedikit berlari, lalu memberikan sebuah paper bag pada Salwa.

"Ini apa?" tanya Salwa sambil menerima paper bag itu.

"Yolla."

Kening Salwa berkerut. Mana mungkin adiknya bisa masuk ke dalam paper bag kecil itu. Tangannya beringsut membuka, melihat apa isi dari paper bag berwarna merah muda itu.

"Baju Yolla?" gumam Salwa ketika melihat isinya, matanya langsung menatap Bintang nyalang. "Kok bisa ada di lo? Lo apain adik gue? Lo macem-macem sama adik gue? Lo mau gue patahin lehernya?" cecar Salwa dengan menggebu-gebu.

"Dia yang nyimpen di tas gue," ujar Bintang tanpa ekspresi, setelah itu dia pergi begitu saja dari hadapan Salwa.

Salwa menepuk keningnya sendiri. Jadi ternyata Yolla menyimpan bajunya dalam paper bag, lalu menaruhnya dengan sengaja di tas Bintang dengan maksud agar Bintang bisa menemuinya dan memberikan baju itu seolah-olah memang Bintang yang memberikan hadiah pada Yolla?

Apa benar begitu maksudnya?

"Awas aja ya Yol, gue tabok pala lo biar otaknya lurus dikit," gerutu Salwa lalu melanjutkan langkah kakinya meskipun masih dengan rasa malu dan rasa dongkol yang bercampur menjadi satu.

Baru saja gadis itu sampai di lantai dua, seseorang kembali memanggil namanya membuat dia dengan terpaksa kembali menghentikan langkah kakinya.

"Ada apa?" tanya Salwa to the point pada Sandi yang baru saja memanggil namanya dan kini sudah berdiri tepat di depan Salwa.

"Mau nganterin bidadari ke kelas," jawab Sandi. Laki-laki itu dengan percaya dirinya meraih tangan Salwa. "Ayo," ajaknya.

"Idih, lo apaan si bambang? Masih pagi ko udah koslet," kesal Salwa sambil melepaskan genggaman tangan Sandi.

"Gandengan dong, biar soswit."

"Kelapa kali soswit," ketus Salwa.

"Itu mah sawit cantik," kata Sandi membenarkan. "Masih pagi udah ngelawak aja, euh makin gatahan buat ngelamar."

"Apaan si lo? Gajelas," sewotnya lalu berjalan duluan menuju kelasnya.

Sandi cekikikan sendiri. Ternyata dia kalo marah makin lucu, pikir Sandi.

Ketika hendak berjalan untuk mengejar langkah kaki Salwa, matanya justru melihat seseorang yang sedang usil memainkan piala di lemari kaca yang sengaja dipajang dekat Lapang.

"Woy!" teriak Sandi membuat seseorang yang memainkan piala itu menoleh kearahnya.

"Jangan sentuh piala gue!" lanjut Sandi membuat orang itu mengerutkan keningnya.

Tapi ucapan Sandi ia anggap angin lalu. Laki-laki itu kembali memegangi beberapa piala dan membaca tulisan yang ada di bawah piala itu tanpa menghiraukan Sandi yang masih berteriak dari lantai dua.

"Lecet dikit, dia harus bayar 20 juta per piala," ujar Sandi dengan kaki yang bergerak cepat menuju tempat di mana piala dipamerkan.

Apa orang itu tak tau jika Sandi adalah pemilik dari setengahnya piala yang dipajang di Sana? Dan sepertinya orang itu juga tidak tau kalau piala Sandi adalah barang mutlak yang tidak boleh disentuh oleh siapapun tanpa seizinnya.

Gengsi {completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang