RASANYA mengherankan melihat bagaimana Hannah tampak bersemangat padahal dia hanya akan melakukan bersih-bersih. Menjadi budak bukanlah hal yang Quinn inginkan sehingga dia merasa miris sendiri. Jadi dengan sangat terpaksa dia mengikuti langkah Hannah, dan Grace yang sedang berjalan tanpa mengeluarkan suara serta menunduk. Kedua tangannya memegang masing-masing dua ember berisi kain lap basah maupun lap kering. Tak lama mereka berhenti di depan sebuah pintu ganda besar. Hannah mulai membukanya lalu mereka melangkah memasukinya.
Quinn memandangi sekeliling ruang makan yang berkelas dan mewah ini dengan takjub. Meja makannya berada tepat di tengah-tengah ruangan beserta lengkap dengan kursinya yang megah layaknya kursi raja. Ruangan ini memiliki lantai kayu yang mengkilap, dindingnya berwarna putih gading, kemudian ada chandelier besar yang berkilau karena kristalnya.
“Hi, Teman-teman.” sapa seorang pemuda yang bertubuh jangkung dan berwajah manis. Di sebelahnya ada pemuda lain yang tersenyum canggung sembari menggaruk kepalanya yang memiliki potongan rambut ala militer.
Hannah tersenyum girang. Dia memperkenalkan pada Quinn bahwa kedua pemuda itu yang bernama Bryson—yang menyapa—dan Barry. Dia tak lupa mengatakan bahwa Quinn menjadi pekerja baru hari ini.
Tiba-tiba terdengar suara tawa mengejek sehingga semua mata langsung tertuju pada kehadirannya yang memasuki ruang makan. “Pekerja?” Sosok tersebut adalah Clara yang entah darimana ia karena tadi ia pergi begitu saja saat Quinn dan Hannah ke dapur. “Dia bukan pekerja melainkan seorang budak di sini ... sama seperti aku dan kalian semuanya.” Ia bergerak ke arah Grace lalu menyambar kain lap basah dan mulai mengelap lantai dengan wajah masam. Posisinya sengaja berjauhan dari mereka semua.
“Lantas kenapa? Apa salahnya menjadi budak? Mengapa kau jadi terlihat kecewa begitu?” Hannah bertanya dengan agak kesal.
“Dia sempat bertanya pada Pangeran Claude bahwa dia ingin mengunjungi sebentar ke dunia manusia.” bisik Bryson merasa prihatin. “Dia melihat jika Timofey bisa keluar masuk dunia manusia seenaknya maka dia juga mau melakukannya.” Ia mendadak tampak lelah karena mungkin terlalu banyak mengerjakan sesuatu sampai lupa beristirahat. “Tapi jawaban Pangeran tetap saja tidak.”
“Oh, begitu.” sahut Hannah dengan wajah sedih. “Aku jadi kasihan padanya.”
“Sudahlah, mari kita bersihkan ruang makan ini.” Barry yang sebenarnya juga sudah lelah tetap memaksa dirinya untuk bekerja daripada mendapatkan hukuman.
Quinn bingung sendiri harus melakukan apa. Mereka semua di sini tidak ada yang bahagia dan sangat terpaksa melakukan semua pekerjaan ini. Dia bisa dengan jelas melihat bagaimana wajah-wajah mereka. Lagipula ruang makan ini masih lumayan bersih. Kenapa mereka dipaksa untuk melakukan hal tidak berguna seperti ini? Kenapa? Ini benar-benar tidak adil. Ini adalah kerja paksa.
“Hey, mainan baru Pangeran Claude! Apa kau hanya diam saja di sana? Lap sana meja makan dan kursi itu. Kau harus tetap hati-hati dan jangan sampai rusak.” Clara dengan ketus berujar. “Sebab nanti yang dimarahi bukan hanya kau, tapi kami semua.”
Hannah yang tak ingin ada pertengkaran langsung menyerahkan kain lap kering pada Quinn yang dengan sangat amat terpaksa menerimanya. Hannah dengan baik hati menemani Quinn untuk membersihkan meja. Sembari menahan tangisannya, Quinn terpaksa melakukan pekerjaan yang tak pernah diinginkannya. Lebih baik dia hidup dengan orang-orang brengsek seperti Jonah daripada Claude. Dia benar-benar tak tahan. Dia ingin segera melarikan diri secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Night Blood
VampirosQuinn Carson-Link merasa berhutang budi dengan sosok misteriusーsepertinya dia belum pernah melihatnyaーkarena telah menyelamatkannya. Suatu hari sosok misterius itu mendatanginya kembali dan meminta Quinn membalas budinya, namun yang ada Quinn malah...