***
Rei memandang Elvina lekat. Kedua matanya berkaca-kaca mendengar ucapan dari Elvina yang benar-benar membuatnya merasa lega. Ia lega karena ternyata Elvina benar-benar peduli terhadapnya.
"Terima kasih karena kau mau percaya padaku."
"Kita ini sepupu, dan sudah seharusnya kita saling percaya satu sama lain."
Rei mengangguk pelan, setuju dengan ucapannya. "Baiklah, lebih baik kau pulang. Ini sudah sangat sore. Kalau kau pulang terlambat, nanti Tante Isyana marah. Apalagi kau tidak menghubunginya sama sekali, 'kan?"
"Iya. Kalau begitu aku akan pulang." Rei beranjak bangun. Ia meraih tas sekolahnya.
Elvina ikut bangun, hendak mengantarkannya hingga ke pintu depan. Baru saja Rei dan Elvina melangkah beberapa langkah, William turun menemui mereka berdua.
"Kau akan pulang sekarang?" tanya William begitu tiba dihadapan mereka lelaki itu sudah tampak lebih fresh setelah mandi dan mengganti bajunya.
"Iya, aku harus pulang. Ini sudah sore."
"Hati-hati di jalan."
"Ya, kalau begitu aku pamit."
"Terima kasih karena sudah membantu kami hari ini," kata Elvina.
Rei hanya mengangguk pelan. Mereka kemudian pergi menuju pintu depan dan berpisah di sana.
Rei mengendarai motornya pergi dari rumah Elvina. Pulang ke rumahnya.
*
Hari berganti. Sudah hampir satu Minggu lamanya semenjak kejadian itu.
Elvina dan William terus menjadi sasaran dari Joe yang terus berusaha menangkap mereka dan membawanya kembali ke laboratorium, dan setiap kali mereka dalam bahaya, Rei selalu ada untuk membantu mereka.
Di sisi itu, Melinda tiba-tiba saja tidak menjalankan tugasnya seperti sebelumnya. Wanita itu menyusun rencana lain agar ia bisa lebih fokus pada pekerjaan yang diberikan oleh profesor.
Melinda tak lagi menampakkan wajahnya baik pada Elvina maupun William. Ia menghilang begitu saja tanpa jejak. Sebagai gantinya, mereka malah harus terus berhadapan dengan Joe.
Sementara itu, kehidupan Rei di sekolah terbilang tak juga terlalu tenang.
Rei selalu saja terjebak dengan Lusia. Entah memiliki masalah apa, gadis itu begitu sensitif saat berhadapan dengannya. Ia sangat pemarah, sering kali berbicara dengan suara lantang, dan ketus. Terutama dengan dirinya.
Rei penasaran dengannya. Karena reaksi gadis itu selalu berlebihan saat bersama dengannya.
Bukan hanya dengan Lusia, Rei juga harus terus bertemu dengan sekelompok orang-orang yang sempat ia temui di kafetaria.
Orang-orang itu juga lagi-lagi membicarakan hal yang sama sekali tidak bisa dicerna oleh otaknya. Itu membuat Rei heran sekaligus penasaran dengan maksud dari setiap kata yang terlontar dari mulut mereka. Bahkan mereka sering kali tertawa setelah berbicara dengannya, setelahnya emosinya jadi tidak stabil.
Siang ini. Rei duduk di mejanya yang terletak di dekat pintu keluar. Sementara guru bahasa Inggrisnya sedang menerangkan pelajaran di depan kelas, beda halnya dengan Rei yang kini termenung di tempatnya.
Rei tidak bisa fokus sama sekali pada pelajaran hari itu. Pandangannya berulang kali tertuju pada jendela di sampingnya. Menatap ke arah beberapa orang siswa yang sedang berolahraga di lapangan.
Rei menghela napasnya pelan. Lagi-lagi pikirannya di penuhi berbagai pertanyaan mengenai setiap masalah yang sedang dihadapinya.
Apa yang sebenarnya terjadi denganku sampai-sampai membuatku tidak bisa mengingat sedikitpun tentang masa laluku? Kenapa aku tidak bisa ingat apa-apa, dan kenapa aku terus berada dalam posisi ini?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Adventure In The Dark
Fantasia[SERIES 1 - Part A] "Adventure In The Dark" "Apa yang tampak dari luar terkadang berbeda jauh dengan apa yang ada di dalam." *** Rei Adhitama Arion, mengembara selama satu tahun lamanya guna mencari jati diri dan ingatannya yang hilang. Pencariannya...