7. Kenapa?

289 35 0
                                    

Di sekolah, Arvi hanya melamun dan tidak membuat ulah seperti hari biasanya. Tentu saja terlihat aneh di mara para sahabatnya, padahal pagi tadi dia terlihat semangat. Mereka mencoba berpikir positif. 'mungkin Arvi masih lemes karena baru sembuh."

Namun itu salah. Memang ada yang mengacau fokus Arvi, dia memikirkan Ayahnya. Entah mengapa sejak bermimpi Ayahnya pergi, dia menjadi selalu khawatir jika berjauhan dengannya.

Arvi sedang menunggu Ayah menjemputnya, dia duduk di pos satpam sekolah. Tadi sudah ditawari sahabatnya agar diantar pulang mereka, tapi dia menolak dan memilih menunggu Ayah, sendiri. Dia menyuruh mereka pulang lebih dulu.

Sudah 30 menit berlalu sejak dia menghubungi Ayah untuk menjemputnya. Karena bosan menunggu, Arvi beranjak dari duduknya dan menuju tamam yang berseberangan dengan sekolah.

Dia duduk di ayunan yang ada di sana, memandang sebuah keluarga kecil yang bahagia, Ayah dari keluarga itu menuntun anaknya yang baru bisa berjalan, sedangkan sang Ibu merekam momen itu, mereka tertawa bahagia.

'Andai dulu aku seperti itu.' Arvi melihat keluarga itu dengan tatapan kosong.

Seseorang mendekati Arvi dan berjongkok di depannya. "Apa yang kamu lihat baby, hmm?"

"Ayah ..." lirih Arvi.

"Tak apa, Ayah di sini."

Arvi memeluk Ayahnya sambil terisak kecil. "Arvi juga mau seperti mereka, Ayah. Arvi juga mau tau rasanya pelukan Ibu, kenapa Ibu ninggalin kita, hiks. Ayah."

Yang bisa dilakukan Ayah hanya mengelus punggung Arvi, dia tak pernah bisa membalas pernyataan Arvi tentang itu. Karena sulit untuk menjawabnya, jika dijawab maka Arvi semakin sedih, dia juga pernah menyalahkan dirinya karena dilahirkan, jika dia tak lahir, mungkin Ibu masih hidup bersama Ayah. Tentu saja Arvi yang menyalahkan kelahirannya membuat Ayah sedih.

Orang tua mana yang tak sedih jika seorang anak yang ditunggu-tunggu kelahirannya, malah menyesal dilahirkan. Jikalau ada orang tua yang tega menyakiti anaknya bahkan menelantarkannya, itu adalah berbuatan dosa.

"Ayah jangan tinggalin Arvi, Arvi gak mau sendiri."

"Ayah tidak ke mana-mana Arvi, sampai kapan pun Ayah akan tetap bersamamu. Bukankah kemarin Ayah sudah berjanji akan tetap bersama mu? Hmm ...."

"Hiks ... iya. Ayah sudah berjanji pada Arvi."

"Sudah dong diem, nanti Ayah di kira orang bikin kamu nangis."

Arvi melepas pelukannya lalu mengusap air matanya dengan tangan mungilnya. "Tapi kan memang Ayah yang bikin Arvi nangis."

"Loh ... kok gitu. Ayah datang kan kamu memang sudah menitihkan air mata."

"Alah, sok dramatis Ayah."

"Pulang yuk, Ayah capek jongkok."

"Kalau capek jongkok ya berdiri aja banh, atau lesehan aja!"

Ayah terkekeh mendengar ucapan Arvi.

"Ya udah ayuk."

Ayah dan Arvi berdiri, dan terlihat jelas perbandingan tinggi badan mereka. Sampai-sampai Arvi harus mendongkak jika ingin menatap wajah Ayahnya.

PrakāśaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang