16. Apa ...

112 8 0
                                    

Mari kita lihat yang terjadi ....



Arvi sangat bersemangat hari ini, karena telah menantikan setelah berminggu-minggu mendekam di mansion, yaitu pergi ke luar untuk menghabiskan waktu bersama bestienya  seperti dulu hanya berempat, walaupun masih dipantau tapi mereka tak peduli. Suasana di taman bermain sangat ramai karena weekend membuat bestie Arvi harus ekstra berhati-hati dan teliti, jika tidak si kecil akan hilang ditelan lautan manusia. Fadil yang menggandeng Arvi sangat kewalahan karena dia terus ditarik ke sana-kemari.

“Fadil! Lihat itu ada kapal!”

“Fadil! Arvi mau itu!”

“Fadil! Ayo naik bebek!”

“Fad--”

Fadil yang jengah pun menarik Arvi ke pelukannya. “Tunggu dulu, Arvi. Iqbal dan Dio tertinggal.”

Arvi menatap Fadil dengan tatapan polosnya. “Benarkah?”

“Iya, ayo kita tunggu di sana.” Fadil menunjuk kursi taman yang dekat dengan air mancur.

Tak lama kemudian Iqbal dan Dio menghampiri mereka, Iqbal menyodorkan paper bag kepada Fadil, dia membukanya dan mendapatkan sesuatu yang menarik, chill anti lost strap. Fadil memakainya pada pergelangan tangannya dan Arvi. Nah, sekarang mereka dapat berjalan dengan tenang tanpa takut si kecil hilang.


Arvi menatap tangan mungilnya yang menggenggam jari kelingking Fadil, sekecil itukah dia? Atau tangan Fadil yang terlalu besar? “Ini kenapa harus pakai ini sih?” protesnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Arvi menatap tangan mungilnya yang menggenggam jari kelingking Fadil, sekecil itukah dia? Atau tangan Fadil yang terlalu besar? “Ini kenapa harus pakai ini sih?” protesnya.

“Agar kamu tidak hilang.”

Arvi hanya mendengus sebal pipinya digembungkan dan bibir mungil itu terlihat manyun, lagi pula ini tidak terlalu buruk, dia tidak akan terpisah dengan sahabat-sahabatnya karena tempat ini sangat ramai bisa-bisa dia menjadi anak ilang di sini.

“Tapi, bagaimana aku naik wahana jika pakai ini?” cibirnya.

“Ya nanti dilepas dong,” jawab Iqbal.

Mereka sudah menaiki berbagai wahana yang menurut Dio ramah anak dan tidak membahayakan, mereka berjalan ke arah bazar makanan. Aroma yang menggugah selera tercium membuat Arvi melepas genggamannya pada Fadil, namun sayang dia melupakan masih ada strap membuatnya berhenti mendadak karena talinya pendek membuatnya tak bisa lari lebih jauh. Fadil berjalan perlahan mengabaikan tatapan tajam Arvi yang jatuhnya menggemaskan, sedangkan Iqbal dan Dio hanya terkekeh pelan mengikuti mereka.

“Cepatlah kalian! Di perutku sudah terjadi gempa.”

Setelah puas berkeliling Arvi pun mencari tempat yang cocok untuk memakan jajan-jajannya, Fadil, Dio, dan Iqbal mengikuti ke mana pun kaki mungil itu melangkah, tangan mereka juga sudah penuh dengan jajanan yang Arvi inginkan.

“Di sana, ayo kita ke pohon itu!”

Di hamparan rumput hijau yang cukup luas dengan danau buatan di tengahnya, mereka menuju tempat yang Arvi tunjuk, sebuah pohon rindang di tepi danau buatan di sekeliling tempat itu juga banyak anak-anak kecil yang bermain bersama dengan para orang tua yang piknik di sekitar danau.

Fadil duduk bersandar pada pohon dengan Arvi di pangkuannya, jajan-jajan Arvi juga sudah berada di hadapan mereka, ada Iqbal dan Dio di sisi kanan dan kirinya.

Manik indah Arvi memancar binar melihat jajannya, Fadil sudah melepas strapnya agar dia leluasa memakan jajannya. Sedangkan ketiga pemuda lainnya menikmati pemandangan indah di hadapan mereka sambil meminum es teh.

“Makanlah perlahan, pipimu penuh dengan saus.” Dio gemas melihat Arvi yang makan dengan bruntal karena dia hanya bisa menggigit kecil dengan mulut mungilnya.

Tak lama kemudian makanan mereka sudah habis, Iqbal membersihkan mulut wajah Arvi yang penuh saus dengan tisu basah yang sudah mereka sediakan dari rumah.

“Aku ingin ke toilet dulu, Bang, tidak usah ditemani.” Arvi pun beranjak menuju toilet yang ada di ujung taman.

Karena asyik melompat-lompat pada papan pijakan di jalan setapak, Arvi tak sengaja menabrak seorang gadis yang membuat mereka jatuh terduduk. Gadis itu menangis sedangkan Arvi menunduk meratapi bokongnya yang sakit.

“Huaa, PAPA!” teriak gadis itu.

Dari arah belakang gadis itu seorang pria di ikuti wanita berlari ke arah mereka, pria itu menenangkan gadis itu yang sepertinya anaknya.

Plak!!!

“Apa--”

“KAMU APAKAN ANAK SAYA!!! LIHAT, KARENA MU DIA MENANGIS, DASAR!!!” wanita itu marah dan menampar Arvi.

“Maaf.” Arvi masih setia menunduk, menahan tangis karena perih di pipinya.

“DASAR ANAK GAK TAU DIRI! UNTUNG SAJA ANAKKU TIDAK TERLUKA.”

Saat akan menampar Arvi lagi, pria itu segera menghentikannya. Karena keributan ini membuat mereka menjadi pusat perhatian.

“Cukup Liana.”

Suara itu tak asing bagi Arvi, itu seperti suara seseorang yang mengisi hari-harinya setelah kehilangan ayah. Dia pun mendongak menatap orang di depannya tatapnya jatuh pada seseorang yang sangat dia kenal.

“Papa,” lirih Arvi.

Pria itu Rajendra, dia juga tampak terkejut, tanpa sepatah kata pun dia menggendong gadis itu dan menarik tangan wanita itu untuk pergi bahkan memalingkan wajahnya enggan menatap Arvi yang kembali menunduk.

Perlahan Arvi terisak, dia bingung dan kaget dengan apa yang terjadi barusan. Dia tersentak merasakan seseorang memeluknya dan membisikkan kata penenang.

“Fadil, papa ....”

Sejak tadi Fadil menyaksikan kejadian itu dari jauh, karena dia ingin menyusul Arvi di toilet. “Pulang saja yuk.”

“Mau ke pantai.”

“Baiklah.”

Pukul 5 sore mereka baru sampai di mansion Heize ketiga sahabat Arvi langsung pulang setelah mengantarnya dengan selamat. Dia masuk mansion dan tidak melihat siapapun lalu langsung ke kamar untuk membersihkan diri. Perasaannya sedikit tenang setelah ke pantai walau banyak pertanyaan di benaknya.


-tbc
100224




PrakāśaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang