17. Teman Baru (Kawan dan Lawan)

107 16 0
                                    

Burung telah berkicau, sang surya pun telah tampak di ufuk Timur dengan indah. Tetesan air akibat hujan semalaman masih menjejak membuat hawa pagi ini sedikit lebih dingin. Seorang pemuda masih bergelung dengan selimutnya enggan untuk beranjak bahkan membuka mata sekalipun, matanya sembab karena menangis tadi malam tidak lupa hidung dan pipi yang memerah menambah kesan lucu. 

“Ungh.” Bibir ranumnya mengerucut dengan kedua tangan di samping kelapa yang di luruskan ke atas.

Perlahan kelopak matanya terbuka hingga sepasang manik coklat menatap kosong ke langit-langit kamar dengan binarnya yang sedikit redup, melamun memikirkan kejadian kemarin dia tak terlalu mempermasalahkan, dia sadar posisi jika hanya seorang anak yang beruntung di adopsi duda kaya raya. Kalaupun ingin marah pun percuma, Rajendra pasti punya keinginan untuk menikah lagi dan memiliki anak kandung, dia tidak boleh egois.

Ponsel di atas nakas berbunyi nyaring, Arvi pun mengambilnya melihat jam yang menunjukkan pukul lima pagi, dia pun duduk sebentar, lalu beranjak ke kamar mandi. Setelah selesai bersiap dia berhenti sejenak di depan cermin menatap wajahnya dan tersenyum untuk menyemangati dirinya sendiri.

“Semangat dari ini, Arvi.” Setelah mengucapkan itu, dia bergegas turun ke ruang makan.

Seluruh anggota keluarga Heize telah berkumpul di ruang makan terlihat sibuk dengan aktivitas masing-masing begitu pula Rajendra diam-diam mengamati Arvi yang hanya memainkan ponsel, dia tidak menunjukkan respons apa pun tentang kejadian kemarin sejak dia pulang malam tadi, kecuali mata yang terlihat sembab.

“Arvi, ada apa dengan matamu?” Pertanyaan Rajendra membuat semua mata tertuju pada Arvi.

Tanpa menoleh Arvi menjawab. “Tidak apa-apa.”

“Tatap lawanmu ketika berbicara, Arvi,” ucap Fauzan.

Arvi mengalihkan pandangannya dari ponsel menatap manik tajam Rajendra. “Arvi baik-baik saja, Papa. Tadi mata Arvi terkena sabun, jadi terasa perih dan berair.”

Percakapan singkat mereka terhenti karena Dimitri sudah memberi arahan agar sarapan dimulai. Tidak ada yang boleh berbicara selama makan berlangsung, kecuali hal yang sangat penting dan mendesak, itu sudah menjadi peraturan di keluarga Heize juga untuk menghindari tersedak saat makan.

Setelah sarapan berakhir Ilhan menawari Arvi untuk berangkat bersama, namun ditolak olehnya karena sudah janji berangkat bersama Iqbal hari ini  dia pun berpamitan untuk pergi sekolah, lalu langsung berlari ke luar.

Tubuh kecil itu semakin menjauh, Iqbal menatap kepergian Arvi sendu, Fadil memberi tahunya tentang apa yang terjadi kemarin ikut membuatnya kecewa dengan sang Papa yang membiarkan anak sekecil itu berkelahi dengan tante-tante.

“Lama sekali, Cil.”

“Baru selesai sarapannya. Sudah ayo berangkat!”

“Kalau begitu cepatlah naik!”

“Ayok kita ngebut!”

Mereka pun pergi ke sekolah, diikuti kakak-kakak Arvi yang juga akan pergi ke sekolah dan universitas, sedangkan di dalam mansion hanya tersisa para orang tua yang diselimuti hawa tajam dari Opa Dimitri.

“Rajendra, lupakan wanita itu atau Ayah sendiri yang akan menghabisinya berserta anak itu,” ucap Dimitri.

“Tidak bisa seperti itu, Ayah.”

“Mengapa? Bukankah kau sendiri yang membuang wanita itu, sekarang kau mau memungutnya?”

“Satu minggu yang lalu, aku dan dia bertemu, dia mengatakan bahwa satu bulan setelah kuusir dia mengandung, kandungannya saat itu berusia dua bulan, dia juga menunjukkan surat tes DNA yang menunjukkan bahwa anak itu darah dagingku, Ayah.” Mereka semua terdiam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PrakāśaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang