14. On The Way

222 26 3
                                    

Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, karena semua yang terjadi adalah suratan takdir dari-Nya, yang pasti tidak akan pernah kita tahu sebelum waktunya namun akan kita rasakan jika sudah tiba saatnya untuk terjadi.-Calee.

Deburan ombak yang menerpa meninggalkan jejak basah di hamparan pasir, belum sempat jejak itu mengering sudah diterpa ombak lagi. Seorang remaja duduk termenung melihatnya sejak tadi memikirkan mengapa ombak itu tak membiarkan hamparan yang diterjangnya mengering terlebih dahulu? Mengapa ombak terus menghantamnya tanpa henti? Entahlah, yang pasti sudah menjadi hukum alam.

"Huh."

Helaan nafas lelah keluar dari mulutnya, dia mendongkak melihat langit yang indah dihiasi cahaya kelap-kelip dan bulan sabit seolah tersenyum padanya. Walau matahari tak tampak, bulan tetap bersinar karena permukaannya memantulkan cahaya dari matahari. Namun ... apa yang akan terjadi jika matahari mulai redup?


Pikirannya kembali ke masa-masa saat bersama ayahnya membuatnya merindu, manik indahnya mengeluarkan dan air yang mengalir di pipi, dia tidak menangis, dia hanya mengeluarkan air mata tanpa rasa yang pasti.

"Aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat kau berada," nyanyinya lirih, lalu dia terkekeh. "Kok gelap ya ...."

Dia memejamkan matanya menikmati angin yang membelai lembut wajahnya, walaupun dingin tak membuatnya ingin pergi. Perlahan dia kembali membuka matanya, bukan binar sedih ataupun bahagia yang ada di matanya, namun pandangan kosong ke langit.

"Huh ... mending mikirin yang pasti-pasti aja." Seolah mendapat cahaya ilahi, dia dengan cepat mendapat sesuatu untuk dipikirkan daripada ngelamun terus kesambet kan gak lucu! Apa lagi sendiri malam-malam di pinggir pantai.

Dia pun berpose seolah-olah berpikir keras. "Besok Senin, hadeh Senin lagi. Hari pertama masuk SMA. Seragam udah, buku dan alat tulis udah, uang aman udah, kayanya udah lengkap tapi kaya ada yang kurang, hm ... apa ya?"

"Yang kurang itu, ini sudah tengah malam dan kamu belum pulang, Arvi."

Bisikan seseorang itu membuat Arvi kaget dan langsung berdiri. Pandangannya terpaku pada seorang pria yang memakai piama hitam di hadapannya.

"Hehehe, Papa kok di sini? Mau ngapain?" ucap Arvi dengan tenang walau jantungnya tengah berdisko.

"Pulang."

Tanpa menunggu jawaban Arvi, pria yang dipanggilnya Papa itu langsung berbalik meninggalkannya sendiri.

'Mampus lo Ar, papa marah.'


<.O.>


"Sudah berapa kali Papa bilang, jangan pulang larut malam apa lagi sendiri dan di tempat sepi! Kamu mau Papa kurung di mansion? Ah ... lebih baik kamu tinggal saja di sana agar Papa bisa selalu mengawasimu."

Melihat anaknya menunduk takut dimarahi, Papa-Rajendra hanya bisa menghela nafas untuk meredakan emosinya. "Pergilah ke kamar dan tidur."

"Iya, Pah. Selamat malam Papa, Kakek ...." Arvi pun naik ke lantai dua tempat kamarnya berada.

"Selamat," gumam Arvi saat sudah sedikit jauh dari kakek dan papanya.

PrakāśaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang