Ayah duduk di ruang makan meminum kopi hitamnya, terlihat tenang namun tidak dengan pikirannya. Ayah masih memikirkan ucapan tuan Rajendra.
"Karena Anda terlibat kejadian hari itu, bukan tak mungkin mereka akan menggunakan Anda untuk menjatuhkan saya, terlebih Arvi."
"Saya mohon Anda waspada, saya akan mengirim beberapa orang untuk menjaga Anda dan Arvi dari jauh dan dekat."
"Anda pasti tahu alasannya."
Sudah sekitar 2 jam Ayah duduk termenung, sesekali menyesap kopinya yang sudah dingin.
Tok! Tok! Tok!
Mendengar pintu yang diketuk, Ayah bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Seseorang langsung memeluk Ayah, ketika pintu dibuka.
"Ayah, jangan pergi ..." ucap lirih orang itu— Arvi. Dan ada Dio yang berdiri di belakang Arvi.
"Loh kenapa? Dio, Arvi kenapa?" Ayah kaget sekaligus bingung dengan sikap putranya.
"Dio jelasin di dalam aja Om."
Ayah menggendong Arvi, lalu berjalan masuk diikuti Dio yang sudah menutup pintu.
Ayah duduk dengan Arvi di pangkuannya, sedangkan Dio duduk berhadapan dengan Ayah.
"Arvi demam?" Ayah menyingkirkan poni Arvi yang menutupi dahinya yang tertempel plaster demam.
"Iya, Om. Tadi pas tidur mengigau, terus bangun maksa pulang," ucap Dio sopan.
Ayah mengangguk mengerti. "Sudah hampir tengah malam, lebih baik kamu menginap saja, tidur di kamar Arvi, ya?"
"Iya, Om."
"Ayo ke kamar. Kamu gendong Arvi, Om matiin lampu dulu."
Saat akan menyerahkan Arvi pada Dio, Arvi tidak mau. Jadi Ayah mematikan lampu dengan menggendong Arvi, sedangkan Dio sudah ke kamar Arvi.
Ayah membuka pintu kamarnya, lalu berbaring di ranjang dengan memeluk erat Arvi.
"Ayah." Arvi menatap Ayah dengan pandangan teduh.
"Jangan pergi ..." Air mata Arvi mulai turun.
Ayah mengeratkan pelukannya. "Ayah di sini, Ayah tidak akan pergi, Ayah tidak akan sanggup meninggalkan Arvi."
Entah kenapa Ayah menjadi emosional berlebih, mungkin karena ucapan tuan Rajendra, ditambah ucapan Arvi sekarang dengan keadaannya yang sakit.
"Arvi takut, Ayah ...." Arvi kembali menatap Ayahnya.
"Sttt, Ayah akan selalu bersama Arvi. Arvi harus berani, lawan rasa takut itu."
"Janji tetap persamaan Arvi." Arvi menyodorkan jari kelingkingnya pada Ayah.
Ayah pun menautkan jari kelingkingnya dengan jari mungil Arvi. "Janji."
"Arvi mimpi, Ayah ninggalin Arvi sendiri hiks."
Ah, ternyata Arvi mimpi. Tapi bukankah mimpi itu bisa menjadi sebuah pertanda?
"Tidak udah diingat, mau tau kenapa Arvi mimpi seperti itu?"
Arvi menatap polos Ayah. "Mau."
"Itu karena Arvi ngambek pada Ayah, jadi tuhan menegur Arvi melalui mimpi seperti itu," ucap Ayah lembut.
"Beneran?" Mata bulat Arvi mengerjap menatap Ayah.
"Tentu. Sekarang tidur, Ayah puk-puk."
Arvi menyamankan dirinya di pelukan Ayah, keduanya mulai menutup mata, dan menjelajah alam mimpi.
•́ ‿ ,•̀
Pagi harinya, Dio pulang pagi sekali karena harus bersiap ke sekolah. Sedangkan Arvi masih terlelap, demamnya mulai turun tapi Ayah tidak mengizinkannya sekolah dulu, Ayah juga sudah menitipkan surat izin Arvi pada Dio.
Hari ini Ayah tidak berangkat ke kantor, Ayah langsung izin pada tuan Rajendra dengan alasan Arvi sakit, tentu saja tanpa ba-bi-bu langsung diizinkan.
Pukul 06.25, Ayah mengajak Arvi jalan-jalan di pantai, bagai gantinya jalan-jalan kemarin, juga untuk menghirup udara segar pantai di pagi hari. Mereka menikmati suasana pagi di pantai, melihat para nelayan yang akan berangkat menangkap ikan, orang-orang yang sedang memancing, juga anak-anak yang bermain dengan riang.
Ayah menuntun Arvi ke sebuah pohon waru besar yang sudah terlihat tua, namun tetap berdiri kokoh dan lumayan rimbun. Ayah duduk bersandar pada pohon, dan Arvi duduk di sebelah Ayah.
"Di sini, Ayah dan Ibu bertemu."
Arvi melihat Ayah yang berbicara sambil memejamkan mata, Arvi diam mendengarkan, menunggu Ayah melanjutkan ceritanya.
"Ibumu sangat cantik seperti namanya, Jelita."
"Makanya, anaknya gantengnya plus-plus," ucap Arvi sombong sambil berpose kece. Arvi tahu, suasana hati Ayah sedang tidak baik, jadi Arvi akan sedikit menghibur Ayah.
Ayah terkekeh, "Kamu itu manis imut, bukan ganteng. Manusia tampan itu seperti Ayah." Setelah mengucapkan itu, Ayah kembali melamun mengingat masa saat istrinya masih hidup.
Arvi melihat Ayahnya sendu, Arvi pun memeluk Ayah erat. "Ayah jangan nangis, nanti orang mengira Arvi jahatin Ayah."
"Kamu ini. Ayah nggak nangis, Cuma kelilipan aja." Ayah mengontrol emosinya agar tak kelepasan di depan Arvi.
"Sudah semakin panas, pulang yuk!" ajak Ayah pada Arvi yang masih memeluknya dari samping.
Arvi melepas pelukannya. "Arvi mau nyebur dulu, bantuin nelayan cari ikan!" ucap Arvi.
"Gausah macam-macam, Arvi. Demammu baru turun!" ucap Ayah datar.
"Gak macam-macam kok, satu macam aja!" balas Arvi sewot.
Ayah berdiri, lalu Arvi juga ikut berdiri. Saat Ayah akan menggendongnya, Arvi malah berlari ke bibir pantai.
"ARVI!" Teriakan Ayah membuat orang-orang di sekitarnya mengalihkan pandangannya ke arahnya yang berlari mengejar Arvi.
Ada yang panik, takut terjadi sesuatu karena Ayah berteriak dan mengejar Arvi yang berlari dengan cepat.
Arvi berhenti saat sampai di bibir pantai. Arvi jongkok, dan dia melihat kepiting kecil, Arvi mengulur tangan untuk mengambil kepiting itu, tapi sebelum Arvi berhasil mengambil kepiting itu, tubuh Arvi sudah melayang.
"AYAH TURUNIN, ARVI MAU TANGKAP KEPITING ITU, KEBURU ILANG, AYAH!"
Baru saja adegan uwu, sudah bertingkah lagi Arvi-nya.
Ayah menggendong Arvi di pundaknya dan langsung berjalan menjauhi bibir pantai. Kepala Arvi menjuntai ke bawah, Arvi berteriak dramatis dengan tangan yang terulur ke objek yang di teriaki, "KEPITINGKU!" Ayah hanya diam, tak menggubris Arvi.
PLAK!
Ayah menampar pantat Arvi. Arvi langsung diam, matanya berkaca-kaca dan bibirnya yang melengkung ke bawah.
"Ayah jahat ...."
"Anjai Ayah jahat, emang Ayah yang jahat!"
"HUEE AYAH." Arvi terus meracau tidak jelas, hingga lelah sendiri.
Ayah tetap berjalan menuju mobil, tanpa mengucapkan sepatah kata untuk merespons Arvi.
"Ayah ganti posisi, Arvi pusing." Ayah pun menggendong depan Arvi.
Orang-orang yang melihat interaksi Ayah-anak itu, bukannya merasa aneh malah merasa gemas. Bayangkan saja, pria gagah nan tampan, menggendong remaja yang imutnya kelebihan kayak Arvi.
☆
- - -
< T B C >
- - -
☆
Sabtu, 11 Juni 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Prakāśa
Novela JuvenilLika-liku perjalanan hidup seorang Arvian Baskara Candra. Yang dituntun setinggi langit, lalu di lepaskan dan jatuh ke lautan dalam. Begitu gelap dan dingin. Tenggelam dalam lautan abadi adalah keinginannya saat itu. Hingga seseorang menariknya kelu...