Tenyata aku sudah terbiasa bangkit sendiri. Bertahan dan pergi, atau membuka lembaran baru dan memperbaiki semuanya, satu keputusan yang dapat mengubah semuanya.
.
.
.
.Arvi tak pernah mengira hal ini terjadi, diangkat anak oleh Rajendra awalnya dia fine-fine saja, masih dibiarkan tinggal sendiri dan sedikit bebas, tapi pagi ini dia bangun di kamarnya yang ada di mansion utama keluarga Heize yang membuatnya ingin mengamuk, Rajendra memberi titah mulai saat ini, hari ini, jam ini, hingga detik ini dia harus tinggal di mansion juga pergerakannya akan diawasi lebih ketat. Andai saja kemarin dia tidak tertidur.
Arvi yang pada dasarnya seperti anak kera lepas tentu tak terima dengan keputusan Rajendra, bahkan dia mengancam akan membakar mansion ini nanti jika dia benar-benar terkekang, tentu saja ancaman itu hanya dianggap angin oleh Rajendra bahkan tuan Dimitri mengucapkan jika dia tak akan miskin hanya karena mansion ini hancur lebur, karena masih banyak mansion yang dia miliki.
Lelah berdebat dengan mereka, Arvi memilih pergi ke dapur untuk mencari sesuatu yang enak di makan, dia butuh pelampiasan. Dengan perlahan dia membuka kulkas dan berharap menemukan sesuatu yang diharapkan.
“Anja-- eh alhamdulillah Mixue!” pekiknya girang.
“Bodo amat punya siapa, pokoknya sudah jadi milikku mwehehehehe.”
Dia segera membawa es krim itu ke kamarnya agar bisa makan dengan tenang tanpa gangguan manusia lain. Setidaknya es krim menambah 30% moodnya, apalagi matahari tepat berada di atas kepala, dia memakan es krim di balkon dengan duduk lesehan sambil berpikir.
“Semakin di pikir, semakin kepikiran.”
“Tidak usah di pikirkan, Arvi.”
Derap langkah kaki mendekati Arvi, perlahan dia menoleh ke belakang walau sudah tahu siapa yang berbicara padanya.
“Eh, Bang Ujan? Kapan pulang?”
Pria yang Arvi panggil Bang Ujan atau Fauzan terkekeh, dia duduk di sebelah Arvi lalu memeluknya, keduanya menikmati pelukan singkat namun hangat itu.
“Abang baru saja sampai, Dek. Kenapa duduk di bawah? Panas-panas begini malah makan es krim.” Bang Ujan menarik pelan hidung mungil Arvi.
”Aaa ... Arvi rindu Abang!” Arvi ingin memeluk Fauzan lagi, tapi kepalanya malah ditahan.
“Kalau mau peluk cuci muka dulu! Lihatlah wajahmu penuh dengan krim. Lalu kita makan siang, sudah ditunggu di bawah.”
“Ih, iya-iya ayo” Mereka pun beranjak dari tempatnya.
Seluruh keluarga Heize sudah selesai makan malam, lalu mereka berkumpul di ruang keluarga untuk mengobrol, bermain, menonton TV, dan mengganggu Arvi. Namun di dapur ada seorang remaja kelimpungan mencari es krimnya, bahkan dengan tega dia menuduh saudara kembarnya mencuri es krim miliknya, padahal dia ingin memamerkan es krim itu ke Arvi.
“Ngaku aja deh, Abang kan yang ngambil es krim aku!”
“Enggak adekku sayang, bukan Abang yang ambil.”
“Kalau bukan Abang Jovan siapa lagi! Masa bang Uzan!”
Remaja itu-- Jonas mendorong Jovan hingga jatuh dengan posisi tengkurap, lalu dia menduduki punggung Jovan dan menjambak rambut lebat Jovan.
“Ya gak-- ADUH-ADUH SAKIT WOE! JONAS!”
“NGAKU AJA DEH, KALAH ABANG AMBIL ES KRIM AKU!”
“BUKAN ABANG YANG AMBIL DEK!”
Dari arah pintu terlihat ayah mereka menghampiri. “DADDY TOLONG AKU!”
“Ck, Jonas berhentilah. Orang yang kau cari ada di ruang tengah.” Sang Ayah hanya bisa mengelus dada sabar melihat tingkah anak kembarnya.
Jonas segera pergi dari dapur untuk menangkap pelaku, sedangkan Jovan berdiri dibantu Daddy, lalu dia berjalan pelan sambil memegang pinggangnya seperti orang tua, encok cui.
Sesampainya di ruang tengah, Daddy malah melihat Jonas malah duduk anteng di sebelah Arvi yang dipangku putra pertamanya, Fauzan Al Syuara Heize adalah cucu pertama Dimitri dan putra pertama Daddy Ferdi Mahesa Heize. Dia dalalah satu-satunya cucu Dimitri yang pandai dalam karya sastra, seperti namanya yang memiliki arti sang penyair.
Mereka tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing hingga suara Arvi memecah keheningan. “Papa!”
Rajendra yang tengah berkutat dengan laptop di pangkuannya pun mengalihkan pandangan pada Arvi. “Yes baby?”
“Gak jadi deh.”
Arvi turun dari pangkuan Fauzan, lalu berpindah ke bunda Aira. Dengan senang hati Aira memangku Arvi yang sepertinya mengantuk karena perlahan matanya mulai terpejam. Aira pun memposisikan anak itu miring seperti bayi yang sedang menyusu, lalu dia menjejalkan pentil dot berisi susu coklat hangat pada belahan plum yang terimpit oleh pipinya sendiri.
Ilhan yang ada di sebelah Bunda Aira menoel-noel pipi tembam Arvi yang bergerak seirama dengan isapannya dan itu membuatnya melenguh tak nyaman. Bukannya berhenti, dia mengambil alih dot yang semula dipegang Bunda berpindah ke tangannya, dia menarik keluar pentil dot dari mulut Arvi membuat isak kan kecil terdengar.
“Mimik hiks, Unda mimik hiks.”
“Ilhan, berhenti mengganggu Baby!” tegur Ayahnya.
“Tapi Baby sangat lucu, Ayah. Aku tidak bisa jika tidak mengganggunya.”
“Kalau sampai menangis Abang lempar kamu ke habitatmu.”
“Ya-ya-ya terserah Bang Ujan. Emang habitaku di mana?”
“Hutan Amazon.” Ilhan sampai speechless dengan jawaban Fauzan.
Karena tidak mau kembalikan ke habitatnya, Ilhan menggigit pipi Arvi lalu kabur entah ke mana, intinya dia harus pergi sebelum para titan mengamuk.
“HUAAAAAA!”
“ILHAN WIJAYA HEIZE!” Teriak Rajendra menggelegar hingga seluruh penjuru mansion.
Malam harinya Arvi terserang demam, karena makan es krim dan ditambah tadi siang dia menangis cukup lama. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun bayi Heize tak kunjung tidur karena merasa tidak nyaman padahal saat ini tengah di dekapan Rajendra, dia menggendong Arvi di tepi danau buatan yang ada di halaman belakang mansion atas permintaan Arvi yang ingin melihat ikan.
“Papa mau lihat buaya ...” ucap Arvi lirih.
“Besok saja ya, buayanya sudah tidur.”
“Gapapa ayo lihat.”
“Tidak akan terlihat, sayang. Kandangnya kan gelap. Kita masuk saja ya? Bunda sudah membuatkanmu susu.” Rajendra merasakan gelengan kecil di dekapannya, keheningan pun melanda sesaat.
“Papa ....”
“Iya, sayang.”
“Arvi rindu ayah, Papa. Arvi ingin dipeluk ayah.” Rajendra tidak membalas ucapan Arvi.
“Papa, kenapa ayah tinggalin Arvi sendiri. Arvi juga ingin punya keluarga yang lengkap, ada ayah, ibu, dan Arvi. Tapi mereka tinggalin Arvi sendiri di sini, Papa Arvi harus bagaimana?” Suaranya mulai lirih dan serak, menahan tangis yang menyesakkan.
“Ayah dan ibu Arvi sudah bahagia di sana, mereka pasti sedih melihatmu seperti ini. Kamu tidak perlu merasa sendiri, kami di sini untuk menjadi keluargamu.”
Rajendra sedikit tidak suka jika Arvi malah memikirkan orang lain saat bersamanya, tapi dia tidak bisa melarang Arvi merindukan orang tua kandungnya dan malah membuat Arvi membenci dirinya, dia dapat merasakan air mata Arvi di dadanya, yang bisa dia lakukan hanya menimang-nimang Arvi sambil menyanyikan lagu pengantar tidur, walau suaranya berat, mampu membuat Arvi tenang dan akhirnya terlelap.
Tbc--
17092023
KAMU SEDANG MEMBACA
Prakāśa
Novela JuvenilLika-liku perjalanan hidup seorang Arvian Baskara Candra. Yang dituntun setinggi langit, lalu di lepaskan dan jatuh ke lautan dalam. Begitu gelap dan dingin. Tenggelam dalam lautan abadi adalah keinginannya saat itu. Hingga seseorang menariknya kelu...