9. Bertahan

335 31 0
                                    

"Halo, Iqbal."

"Emm."

"Kenapa? Ada apa? Ayah nggak papakan?" ucap Arvi cemas.

"Gini Ar, kamu tenang dulu ya."

"Cepet deh jangan bikin khawatir!"

"Maaf--"

Deg!

"Gue laper, beliin martabak telur special, hehehe."

"..."

"IQBALANJING." Hampir saja dia membanting ponsel Dio jika tak ingat itu bukan miliknya, padahal sudah terangkat tinggi dan tinggal memberi gaya lalu hancur deh.

Arvi tuh kesal, udah mempersiapkan mental menerima kabar dari doi malah ... dahlah.

"Pft--" hampir saja tawa Dio pecah.

"APA! KALAU MAU KETAWA YA KETAWA AJA GAK UDAH DITAHAN!"

"Udah gak jadi, ayo pergi." Dio berucap dengan suara bergetar karena menahan tawa.

(ノಠ益ಠ)ノ

"Jelaskan!"

"Berhasil, namun belum stabil. Jadi harus dipantau di ICU."

"Lakukan dengan baik."

"Tentu."

"Permisi."

"Ya. Silakan."

Setelah Rajendra berbicara singkat ala kulkas berjalan dengan Dr. Raihan, dia pun keluar dari ruangan Dr. Raihan lalu menyusul Seta yang menemani Candra walau dibatasi dinding kaca.

Terdapat ruang ICU khusus di RS. Heize ini, dengan fasilitas kamar pasien yang berdinding kaca terhubung dengan ruang tunggu untuk keluarga mau pun pembesuk pasien dan juga terhubung dengan pengawasan dokter, jadi keluarga/pembesuk pasien bisa melihat keadaannya dari ruang tunggu.

Seta membungkuk hormat saat Rajendra di depannya, sedangkan Fadil, Dio, dan Iqbal salim pada Rajendra, mereka datang setelah azan magrib dan Iqbal selesai salat.

"Kalian sudah lama?" tanya Rajendra pada Fadil dan Iqbal. Lalu dia duduk di kursi yang disediakan.

"Nggak kok, Om," jawab Fadil.

"Martabak, Om," tawar Iqbal pada Rajendra. Dia memakan martabak yang dibawa Dio dan Arvi.

"Kalian saja yang makan."

"Alhamdulillah gak jadi berkurang." Fadil menggeplak tengkuk Iqbal.

"Loro cok."

"Jaga bicara lu!"

"Maaf, Om. Maklum alumni RSJ Hehehehe," ucap Fadil sambil mengusap kasar rambut kepala Iqbal.

Rajendra hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah anak muda di depannya.

"Arvi belum datang?"

Karena merasa yang paling waras Dio pun menjawab, "Sudah, Om. Dia di dalam."

Rajendra mendekati jendela kaca yang memperlihatkan Candra berbaring di brankar dengan Arvi yang duduk di sampingnya dan memegang jari Ayahnya sambil terisak kecil.

Di dalam, Arvi menyentuh pelan tangan kanan Ayahnya yang terbebas dari infus dan alat lain, dia menggenggam perlah jari-jarinya dan kemudian mencium lama punggung tangan Ayahnya. Tak terasa ternyata air matanya mulai menetes.

"Ayah ...." lirih Arvi, dia menatap wajah Ayahnya sedih.

"Ayah, Arvi datang ...."

"Ayah ... cepat bangun ya? Jangan tidur lama-lama, katanya Ayah ingin lihat Arvi naik panggung kelulusan, jadi Ayah jangan tidur lama. Nanti Arvi marah sama Ayah."

PrakāśaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang