13. Riweel

253 26 0
                                    

★Selamat Membaca★
.
.
.
.
.
.

“HUAAA GAMAUU!”

Huh, semua orang dibuat khawatir sekaligus pusing menghadapi Arvi yang rewelnya melebihi bayi saat sakit.

“Baby gendong Papa saja ya? Kasihan loh Iqbal capek. Ya? Sama Papa aja.”

“GAMAU!”

“Ar ikut Om Rajen, ya? Ibal kebelet nih,” bujuk Iqbal.

Sejak seorang pria dan wanita yang diketahui sepasang suami-istri yang ternyata kakak Rajendra mendobrak pintu kamar Arvi, dia tidak mau turun dari gendongan Iqbal. Sudah berbagai cara dilakukan tapi tidak mempan.

“Ikut!”

“Iqbal mau pup masak ikut sih?”

“IKUT! IKUT! IKUT!”

Arvi meronta-ronta di gedongan Iqbal membuat Rajendra dengan mudah melepasnya dari Iqbal.

“HUEEE IBAL!” teriak Arvi mengudara.

Dengan segera Rajendra mendekap erat Arvi lalu membawanya keluar ke halaman belakang rumah.

“Akh, pinggangku.” Iqbal meregangkan otot-otot tubuhnya, walau Arvi ringan tapi kali menggendongnya lama ya tetap saja terasa.

“Gitu aja encok,” sindir Ilhan yang menatap sinis Iqbal.

“Apa lo! SKSD bet,” jawab Iqbal tak kalah sinis.

Sepertinya jika Ilhan dan Iqbal dipersatukan akan terjadi bencana besar, maka dari itu saya pisahkan dulu mereka mari kita lihat bayi kita.

Setelah ditimang-timang Rajendra di taman belakang sambil melihat bintang dan bulan, Arvi mulai tenang walau masih sesegukkan.

“Hiks syusu, syusu,” rengek Arvi yang ada di gendongan Rajendra.

“Sttt iya, kita ke dalam ambil susunya, ya?”

“Nda mau! HUAAA.”

“Cup, cup. Kok malah nangis lagi? Katanya mau susu.”

“Hiks, iya, tapi mau di sini, hiks nda mau masuk.”

Karena Arvi menolak, Rajendra pun duduk di kursi taman.

“Hm, baiklah Papa akan suruh Ilhan untuk membawa susunya kemari.”

“Papa?” Arvi menatap Rajendra bingung.

‘Ugh damagenya gg batin Rajendra gemas.

Bayangkan saja wajah imut yang menatapmu polos dengan mata bulatnya yang masih ada jejak air matanya, juga pipi dan hidung mungilnya yang memerah karna habis menangis, jangan lupa dahinya masih tertempel plaster penurun demam.

“Iya, mulai sekarang panggil Om Rajendra Papa.”

“Papa!”

Karena gemas, Rajendra pun mencium kedua pipi Arvi. “Lucunya bayi Papa, sebentar, Papa lupa telepon Ilhan.”

Rajendra mengeluarkan ponselnya dari saku celana lalu menghubungi Ilhan, tangan kirinya juga tak berhenti mengelus punggung Arvi membuatnya nyaman hingga tak terasa dia menyandarkan kepalanya di dada bidang Rajendra dan mata bulatnya mulai terpejam.

PrakāśaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang