Sejatinya menikah adalah sebuah ibadah terlama dimana didalamnya banyak kebaikan. Namun semua itu nyatanya tidak dialami Kinan Darmawan, istri seorang Seno Darmawan.
Dua tahun menikah hidup Kinan layaknya ratu yang selalu dipuja oleh Seno, tapi di akhir tahun kedua dia menjelma sebagai bunga yang tak dianggap. Kesalahan Kinan hanya satu dia tidak bisa menjaga janin dalam kandungannya. Saat Kinan terpuruk dengan keadaan, berbanding terbalik dengan Seno.
Kehidupan Seno dilingkupi kebahagiaan dengan hadirnya anak perempuan dari mendiang Kakaknya. Jarak rumah yang tak jauh dari rumah membuat Kiara, anak dari mendiang Sandi selalu datang berkunjung di rumah.
"Kia jangan lari-lari," tutur ramah Seno saat ia menemani tingkah gadis lima tahun itu bermain di halaman belakang. Sedangkan seorang perempuan duduk di kursi taman dengan segelas cangkir teh yang menemani, ya, perempuan itu adalah kakak ipar atau Ibu dari Kiara, Diana.
Tersenyum Diana menatap interaksi dua orang yang tidak jauh dari posisinya. Diana akui setelah kepergian Sandi, Kiara tidak pernah kehilangan sosok Ayah, ya karena sosok itu ada di dalam Seno. Dan Seno mau memberikannya, meskipun ia harus bermain di rumah adik iparnya.
"Sudah lama Mba?" Sapa Kinan dengan masih menggunakan setelan kerjanya, Diana hanya tersenyum dan menyuruh duduk di kursi yang kosong. "Ya."
Mereka sama-sama menatap dua orang beda generasi itu dengan pandangan yang berbeda. Kinan paham jika suaminya sangat menunggu kehadiran anak dalam rumah tangganya, tapi ia bisa apa saat Tuhan saja belum mau menitipkan anugerah itu.
"Mba bahagia ya?"
"Maksud kamu?"
"Kinan tahu kalau Mba bahagia jika Kiara bisa bermain dengan Mas Seno... Tapi apa harus setiap hari?" Tanyanya dengan nada lemah.
"Maaf," ucapnya lemah, sebelum melanjutkan pertanyaannya. "Kamu keberatan?"
Tersenyum tipis Kinan tampilkan. Apa ada kata yang harus dikatakan Kinan kepada Kakak iparnya itu? Apa belum cukup dengan semua yang terjadi di kehidupan Kinan selama ini. Ingin rasanya Kinan mengatakan semuanya di depan Diana.
"Keberatan atau tidak itu yang harus jawab Mba sendiri. Coba Mba ada di posisi Kinan, apa Mba mau?"
Dicemooh di keluarga besar suaminya membuat psikis Kinan sedikit banyak tertekan.
"Loh Jeng kok itu Seno sama anak perempuan, siapa dia?" Tutur seorang wanita paruh baya bertanya ke Mama Lita--Mertua Kinan.
"Itu anak Kakaknya Seno, mendiang Sandi, Kiara."
"Pantas, perasaan Seno belum punya anak... Em Jeng ini cuma saran saja, mungkin Kinan amit-amit mandul ya, terus sebagai orangtua kita kan mau yang terbaik buat anak, apa enggak dijodohkan saja mereka. Aku rasa mereka pas, apalagi si Kiara juga pasti membutuhkan sosok ayah dan Diana juga sudah pasti subur. Jadi tidak salah, kan kalau mereka bersatu." Ucapan itu terdengar jelas oleh Kinan saat ia menghadiri acara keluarga Seno. Saat mendengarnya awalnya Kinan acuh, toh suaminya masih sayang kepadanya. Tapi saat peristiwa terjadi dan merenggut janin yang telah lama ia tunggu, semuanya nampak jelas.
Diana terdiam, sebelum sosok pria yang tak lain Seno mendekat dan menyerahkan Kiara kepada Diana.
"Sebentar ya Mba." Ucapnya dengan menggeret tubuh Kinan ke dalam rumahnya.
"Apaan sih kamu tanya kaya gitu ke Mba Diana?" Tanya ketus melayang dari mulut Seno. Kinan menatap wajah suaminya itu dengan pandangan sengit. "Memang kaya gitu, kan Mas? Selama ini apa Mas pernah melihatku sebentar saja? Tidak, kan? Bahkan Mas lebih suka menghabiskan waktu dengan mereka dibandingkan bersama denganku, yang notabene istri kamu."
Jika dulu Kinan akan memilih diam, maka sekarang ia akan berlaku tegas. Prinsipnya jika sudah tidak ada lagi yang harus dipertahankan maka ia akan melepas hubungan ini. Ia lelah dengan pura-pura bahagia padahal tidak.
"Kiara keponakanku, wajar bukan?"
"Tapi apa dengan menghabiskan waktu bersama dengan Mba Dian? Aku nggak melarang kamu untuk dekat sama Kia, tapi tidak dengan Mba Dian."
"Kamu cemburuan." Tunjuk Seno tepat di depan wajah Kinan. "Kalau aku tidak cemburu maka itu yang akan jadi bumerang bagimu Mas. Dulu aku diam saat kalian memilih menghabiskan waktu bertiga tanpa mengajak denganku. Tapi sekarang aku lelah."
Tubuh Kinan berbalik dan melangkah menuju kamar tidurnya. Ia akan membereskan semua pakaiannya dan kembali pulang ke rumah Ayah dan Ibunya.
"Kamu mau kemana?" Tanya Seno yang mengikuti langkah Kinan dan melihat sendiri tingkah Kinan yang mengambil koper besar dan memasukkan semua perlengkapannya.
"Aku udah capek. Lebih baik kita berpisah, dari pada setiap hari harus makan ati lihat kalian." Jawabnya tanpa melihat wajah Seno dan tetap melakukan aktivitas. Seno membeku, apa istrinya ini akan pergi dari rumahnya?
Belum cukup ia dikagetkan dengan tingkah laku istrinya sekarang ia harus mendengar teriakan Kiara. "Ayah! Ayah dimana?"
Kinan yang sudah selesai, memilih untuk untuk keluar dari kamarnya dengan menggeret koper. "Itu dicari sama anak kalian." Bisiknya tepat di depan daun telinga Seno, saat Kinan melangkah keluar.
Tangan Seno mencoba menghadang kepergian Kinan dengan mencekalnya. "Kamu tidak boleh pergi."
Langkah kaki Kinan terhenti, "Percuma ada kalau tidak pernah diperhatikan, dan lebih baik pulang ke rumah yang akan menyambutku dengan senyuman bahagia." Selesai mengatakannya, Kinan menyentak tangan Seno dengan kasar dan melanjutkan langkahnya hingga ia berdiri di depan sosok yang dulu ia hormati.
"Selamat Mba, kamu telah berhasil mengambil hidup Mas Seno dariku. Dan aku berharap kalian bisa bahagia."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Lepaskan ✔ (KARYAKARSA)
Ficção GeralCinta butuh diperjuangkan, karena sejatinya mempertahankan adalah fase tertinggi mencintai.