Cerita ini sudah Bab 20 di Karyakarsa, atuhh kesana. Link ada di bio
Selamat Membaca
Setelah pertemuan itu Ibu menyarankan untuk menjaga jarak dengan Kinan. Karena ibu berpikir kesembuhan Kinan jauh lebih penting dibandingkan apapun, bahkan saran dari dokter mengatakan jika bisa Kinan harus menjauhi sumber masalah.
Seno menurut meskipun ia harus menjadi penguntit untuk istrinya sendiri dan sudah seminggu Kinan keluar dari rumah sakit, seminggu juga Kinan selalu berkunjung ke makam anaknya.
"Enggak disamperin Mas." Sapa penjaga makam yang sudah mengenal baik keluarga Seno, "Enggak."
"Ada masalah?" Ucap pria paruh baya yang biasa disapa Pak Eko itu, wajah Seno menatap Pak Eko dan mengangguk.
"Saya buatkan kopi dulu ya Mas." Karena biasanya Kinan akan betah duduk disamping makam Sakha, jadi Pak Eko selalu membuatkan kopi untuk Seno. Mereka tengah duduk di luar pos jaga, "Diminum Mas."
"Terimakasih ya Pak."
"Sama-sama," Pak Eko menyesap kopi dan melirik Seno. Usia yang sudah menginjak usia tua membuatnya menganggap Seno seperti anaknya sendiri. "Sama istri itu jangan keterlaluan Mas."
"Iya."
"Mungkin Bapak nggak punya apa-apa tapi Bapak selalu memegang teguh sebuah komitmen setelah menikah." Karena Pak Eko membahas mengenai pernikahan dan itu membuat Seno tertarik.
Ya dirinya memang keterlaluan.
"Bapak pernah terjatuh setelah menikah?"
"Kalau itu sering Mas."
"Masalah apa yang buat Bapak khilaf."
"Ekonomi, dimana Bapak sebagai suami selalu menyepelekan keuangan istri. Alhasil istri marah saat itu, dia memilih pulang ke kampung."
"Terus Bapak bagaimana?"
"Bapak bukan langsung susulin istri tapi Bapak pikirkan dulu kesalahan Bapak. Setelah Bapak sadar akan kesalahan Bapak, Bapak ke kampung buat nyusul istri. Meskipun disana Bapak diusir sama mertua, dicaci maki, tapi Bapak tetap berusaha mengajak istri bicara."
Anggukan Seno lakukan, ia tahu bahwa rumah tangga setiap orang pasti memiliki permasalahan masing-masing. "Tapi kalau istri nggak mau Pak?"
"Berikan dia waktu, setelah tenang pasti dia mau... Tapi satu hal yang selalu saya ingat mengenai perkataan Ibu saya, bahwa perempuan itu tulang rusuk yang bengkok jika kita memaksakan sesuatu pasti akan patah. Jadi saat ingin memperbaiki hubungan jangan paksa apapun, tapi cobalah untuk mengerti dan berjuang."
Apa Seno harus berjuang disaat gugatan perceraian menghantui? Meskipun belum ada panggilan dari pengadilan, tetapi Seno tahu bahwa Kinan bukan perempuan lemah yang hanya menggertak dia saja.
"Terimakasih Pak." Setelah pikirannya terbuka, Seno memilih untuk masuk ke dalam. Ia akan menemani Kinan dan mendoakan Sakha. Saat Seno mencari sosok Kinan, Seno mendapati Kinan masih duduk di sisi makam dengan tangan yang sibuk mengusap batu nisan.
Seno mendekat, ia berjongkok berhadapan dengan Kinan. "Maaf terlambat." Netra Kinan yang terfokus ke nisan sontak berubah, ia menatap Seno sekilas sebelum memilih untuk pergi.
Seno yang melihat gelagat Kinan hanya bisa menghela napas panjang, ia melanjutkan berdoa sebelum memilih untuk pergi.
Saat keluar dari komplek TPU netra Seno menangkap sosok Kinan yang berdiri di samping mobilnya. Ia mencoba mendekat, "Mau pulang bersama?"
Kinan terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Mereka bersama-sama masuk ke dalam mobil dan menjalankannya keluar dari parkiran TPU. Di sepanjang perjalanan tidak ada seorangpun yang mengeluarkan suara, membuat mobil itu terasa hening.
"Sudah berapa lama Mas ngikutin aku?"
Seno menoleh sebentar netranya tetap fokus ke depan. "Sudah lama, lebih tepatnya setelah kamu keluar dari rumah."
"Buat apa?"
Mengkhawatirkan istri apa tidak boleh?
"Kalau Mas mau memperbaiki hubungan ini, maka jawabanku tetap sama. Aku mau pisah." Tidak ada emosi dalam pengucapannya tetapi hal itu membuat Seno merinding. Apa ia begitu terlambat menyadari kesalahannya?
Logika Seno bermain disini saat hatinya dalam keadaan tidak baik-baik, ia mencoba untuk tidak mendebat omongan Kinan.
"Surat perceraian akan dikirim lusa sama pengacaraku, dan Mas tinggal tanda tangan saja."
Ya Tuhan apa Kinan sekarang sudah berubah seperti batu?
"Yang, Mas tidak mau berpisah." Tekan Seno dengan menggengam erat setir mobil menyalurkan kemarahannya, ia tetap mencoba menjawab dengan suara rendah. "Sampai kapanpun, Mas tidak akan menceraikan kamu." Jika ia bisa membalikkan waktu, maka ia akan melakukannya.
"Terserah Mas, tapi keputusanku tetap sama."
Seno memilih untuk diam, ia menjalankan mobil menuju rumah mereka, hal itu membuat Kinan tersadar. "Kamu mau ngajak aku kemana Mas?"
"Pulang, sudah lama kamu tidak pulang."
Kinan hanya melirik sekilas dan mengikuti keinginan Seno. Ia malas berdebat di dalam mobil. Sampai akhirnya mereka sampai di rumah, Kinan membuka pintu dan melangkah masuk, ia enggan berlama-lama dengan Seno.
Seno keluar dari mobil, ia melangkah masuk mengikuti istrinya. Saat ia masuk, Kinan sedang membuat teh hangat di dapur, hal sederhana ini membuat hati Seno bahagia. Ia jadi teringat saat mereka baru saja menikah.
Seno mendekat, ia memilih duduk di kursi bar menatap istrinya yang cekatan. Dari sini Seno sadar bahwa dirinya yang salah, bukan Kinan. Dirinya yang egois, dan mencari kebahagiaan yang lain, mereka sama-sama terluka tapi dibandingkan dirinya, Kinan jauh lebih menderita.
"Terimakasih." Ucap Seno setelah menerima satu gelas teh hangat. "Sebagai ucapan terimakasih, karena Mas mau mengantarkan diriku pulang."
Seno tudak menjawab.
Tangan Seno mengusap pinggiran gelas, netranya menatap wajah Kinan yang jauh lebih segar dari tempo hari. Kinan tanpa celah, Kinannya begitu mempesona tapi kenapa ia lupa sosok itu saat berdekatan dengan keponakannya?
Saat keduanya tengah bergelut dengan pikiran masing-masing, suara bel terdengar. Seno yang mendengar hal itu hanya bisa diam membisu, ia enggan kesana. Hal ini membuat Kinan menatapnya heran?
Tumben sekali Seno tidak heboh menyambut tamu agungnya ini. Padahal dulu Seno akan melangkah cepat membukakan pintu.
"Kenapa tidak dibuka?"
"Hah... Apa?" Kepala Kinan bergerak maju seolah memberikan tanda bahwa ada sosok yang datang.
"Enggak." Seno malas menambah masalah, apalagi ini menyangkut masa depannya. Saat Seno tak bergerak, Kinan berinisiatif bangkit dari kursi untuk berjalan keluar membukakan pintu.
Namun sayang, sebelum itu terjadi tangan Seno mencekal tangan Kinan. "Tidak usah, Mas ingin bersama denganmu."
"Tidak menyambut anakmu?" Tekannya dengan kata anak, seolah sadar dengan perkataan itu Seno menatap Kinan dalam. "Kia anaknya Sandi, Mas melakukan itu karena Mas tidak mau Kia kehilangan sosok Ayah."
"Tapi Mas telah menghilangkan sosok istri disini." Tunjuk Kinan tepat didadanya, ia tahu kemarahannya terlambat tapi ia harus menyalurkan emosi ini agar semuanya lega. Tangan Kinan yang digunakan untuk menunjuk tepat di dada berubah digenggam oleh Seno, "Maafkan Mas, saya sadar salah. Maka dari itu izinkan saya menebus kesalahan saya."
Mencebikan bibir Kinan menatap remeh di depan Seno. "Sesuatu yang hilang tidak bisa kembali, bahkan tidak mungkin kembali."
Wajah Seno berubah sendu, "Terkadang kita harus kehilangan untuk sadar seberapa berharganya seseorang. Dan saya merasakan hal itu, saya hampa tanpa kamu, dan saya sadar bahwa kamu berharga Kinan. Kamu belahan jiwa saya." Tuturnya dengan air mata yang menetes, rasanya dada Seno sesak dengan semua hal yang terjadi di hidupnya.
"Terlambat."
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Lepaskan ✔ (KARYAKARSA)
General FictionCinta butuh diperjuangkan, karena sejatinya mempertahankan adalah fase tertinggi mencintai.