Sepi vote ya??
Selamat Membaca
Seno terbangun dengan napas yang tidak beraturan, keringat dingin keluar dari pelipisnya. Dimana ia bermimpi tetapi itu seperti nyata apa adanya.
"Hah... Hah."
Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya dan menatap jam dinding yang menunjuk pukul enam pagi, dimana Seno harus bersiap untuk ke kantor. Seno mencoba mengabaikan mimpi buruk itu dan memulai aktivitasnya.
Membuka pintu kamar tidurnya, Seno melangkah keluar menuju meja makan.
"Makan dulu, baru berangkat. Mau Mama buatkan untuk bekal." Sapa wanita paruh baya itu yang baru saja keluar dari dapur, sudah seminggu sejak Kinan pergi dari rumah, Seno memilih untuk kembali ke kediaman kedua orangtuanya. "Seno sarapan saja Ma, nanti siang biar makan di kantin."
"Yasudah dimakan." Saat Seno tengah makan sarapannya, Ayah Seno datang. Pria tua itu menatap anak laki-lakinya dengan sorot mata dingin. "Berapa lama lagi kamu disini?" Tanyanya dengan suara ketus.
Seno menoleh menatap Ayahnya, "Kok bicara kaya gitu sih Pa. Seno juga anak kita kalau Papa lupa." Tegur Lita kepada suaminya.
"Anak? Dia bukan anak tapi sudah pria asal Mama tahu. Dan dia adalah pria yang lupa akan tanggungjawabnya sendiri."
Suasana berubah menjadi hening saat sang panglima rumah tangga sudah berkata. "Papa tidak pernah mengajarkan hal itu kepada anak-anak Papa."
Seno menghentikan suapan nasi dan memilih untuk berangkat ke kantor, ucapan Papanya memang ada benarnya juga.
Seno bangkit dan berjalan menuju Lita, "Ma, Seno berangkat dulu." Salamnya sebelum keluar dari kediaman kedua orangtuanya. Seno tidak pernah bersalaman dengan sang Papa setelah prahara rumah tangganya terjadi. Seno yang merasa membutuhkan waktu untuk menenangkan diri tetapi Papanya tidak mengerti bahkan cenderung mengkonfrontasi Seno secara frontal.
Seno mengemudikan mobil menuju rumah kediaman mertuanya itu sebelum ke kantor. Kebiasaan itu sudah ia lakukan selama Kinan pergi. Mobil yang dikemudikan Seno berhenti di pinggir jalan, ia mengamati pagar yang kali ini terkunci. Biasanya Seno melihat pagar itu sudah terbuka, Seno yang dilanda khawatir mencoba mencari tahu dengan berjalan keluar ke arah rumah.
Seno membunyikan bel, namun sayang tidak ada jawaban. Hingga salah satu tetangga melihat Seno dan bertanya. "Siapa ya?" Sapanya, sontak Seno mencari sumber suara. Seno mendapati seorang perempuan dengan tas belanjaan di tangan berdiri tidak jauh dari posisinya.
"Saya menantu pemilik rumah ini, Seno." Wanita itu mengangguk. "Oh, menantunya."
"Iya, kalau boleh tahu dimana orang-orang yang ada di rumah ini, ya?"
"Ke rumah sakit."
Seakan alarm di kepala Seno berbunyi, ia sontak bertanya kembali. "Siapa yang sakit." Ada rasa khawatir yang muncul.
"Anaknya, baru tadi malam kalau enggak salah dilarikan ke rumah sakit."
Deg!
Kinan sakit apa?
Bagai disambar petir di siang bolong, tubuh Seno mematung memikirkan apa yang baru saja ia dengar. "Mas, Mas nggak papa?" Perempuan itu menatap Seno dengan raut khawatir akibat respon yang diberikannya.
Seno yang mendengar ucapan itu, sontak tersadar. "Rumah sakit mana kalau saya boleh tahu?" Disebutkanlah salah satu nama rumah sakit, Seno bergegas menuju mobil sebelum itu ia tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada perempuan itu.
Di sepanjang perjalanan pikiran Seno tidak bisa lepas dari Kinan. Ia juga merapalkan doa kepada istrinya itu, ia sadar meskipun hubungan mereka dingin tetapi Kinan tetap menjalankan tugasnya sebagai istri yang baik.
"Ya Tuhan apa yang terjadi." Racaunya saat ia menatap jalanan yang begitu ramai karena ini jam masuk kantor. Ia memukul setir kencang dengan racauan yang tidak jelas.
Hingga mobil yang ia tumpangi sampai di pelataran rumah sakit, ia bergegas keluar menuju meja administrasi guna menanyakan informasi tentang Kinan.
"Ruangan yang ditempati atas nama Kinan...., dimana Sus?" Perempuan yang berada di balik meja sontak mencari nama pasien tersebut sebelum memberitahukan ruang perawatan Kinan.
"Ruangan 203 atas nama Kinan."
"Terimakasih Sus." Dengan langkah lebar Seno berjalan menuju tempat yang disebutkannya tadi. Ia berdoa semoga Kinan dalam keadaan baik-baik saja.
Saat langkahnya sampai di depan pintu, tubuhnya mematung. Satu sisi ia ingin masuk memastikan kondisi Kinan, tetapi satu sisi ada rasa takut jika bertemu dengannya. Sampai akhirnya pintu itu terbuka menampilkan wanita paruh baya yang biasanya menyapanya ramah.
"Masuklah, Kinan ada di dalam." Ucap Mama Kinan dengan berjalan keluar. Dengan hati yang berdetak kencang, Seno memantapkan dirinya untuk masuk menemui Kinan. Entah respon apa yang ia akan dapatkan, Seno pasrah.
Saat tubuhnya sampai di dalam, netranya menatap seorang perempuan yang tak berdaya terbaring dengan selang infus, Seno mendekat. Ia menatap wajah yang sudah lama tidak ia jumpai itu. Ada rasa penyesalan yang menyerang di relung hatinya.
Tangannya terulur mengusap tangan yang biasanya melepasnya dengan sebuah salaman hangat, sekarang berubah mengecil, entah nafsu makan Kinan yang menurun atau memang ini salah dirinya?
Sentuhan antara kulit Seno dan Kinan, membuat Kinan membuka kelopak matanya. Tadi memang ia tidak tidur, hanya matanya saja yang agak berat akibat efek obat.
Pandangan mereka bertemu, ada rasa yang ingin Seno ungkapkan tetapi semua itu kalah dengan ucapan dingin yang keluar dari bibir Kinan.
"Kenapa kesini?"
Seno terdiam sebelum menjawab.
"Mas khawatir sama kamu."
Tersenyum tipis Kinan menatap Seno. "Nggak salah? Kemarin kemana aja?" Lanjutnya tanpa menurunkan nada suara yang begitu tidak ramah itu.
Menghela napas panjang, Seno menggeret kursi untuk ia duduki di samping ranjang perawatan Kinan.
"Sekarang Mas ada di sini.... " Sebelum melanjutkan kembali ucapannya, Seno mendengar sering ponsel dan mengangkatnya. "Sebentar, ada telepon." Seno berjalan menuju pojok ruangan dan menerima panggilan.
".... "
"Maaf saya izin dulu hari ini, istri saya di rawat di rumah sakit."
".... "
"Baik saya akan coba mengerjakannya disini, kirim email ya." Sambungan terputus, Seno memasukan kembali layar ponselnya dan menuju ke sisi ranjang Kinan.
"Mas akan rawat kamu sampai kamu sembuh." Ucap Seno dengan menatap wajah Kinan.
"Buat apa? Bukannya Mas senang aku sakit? Bisa berduaan dengan Mba Diana?" Jika dalam kondisi sehat mungkin Seno akan menimpali semua ucapan Kinan, tapi sekarang Seno memilih untuk bersabar. "Mas masih suami kamu, jadi Mas berhak merawat kamu, Kinan."
"Nggak usah, masih ada Ibu."
"Mas yang jauh berhak Kinan, bukan Ibu lagi." Seno mencoba memperjelas statusnya. Kinan hanya mendengus sebelum mengeluarkan kata yang membuat jantung Seno meloncat keluar.
"Setelah aku sehat, maka kita urus perpisahan ini. Bagiku lebih baik sendiri dari pada ada suami tapi rasa janda."
Ucapan itu memukul telak tepat di hati Seno. Perceraian yang ia hindari nyatanya hadir di hidupnya, memilih melapas atau mempertahankan semuanya membutuhkan energi yang tidaklah sedikit. Dan semua ini murni kesalahannya, tapi apa tidak ada kesempatan untuknya memperbaiki hubungan ini?
Selama satu minggu ini, Seno sadar akan kesalahannya. Bahkan ia mencoba memberi waktu kepada Kinan untuk memenangkan diri sebelum mengajaknya bicara. Tapi apa yang ia dapatkan?
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Lepaskan ✔ (KARYAKARSA)
General FictionCinta butuh diperjuangkan, karena sejatinya mempertahankan adalah fase tertinggi mencintai.