Bab 1

461 47 1
                                    

Cerita ini update lebih cepat di Karyakarsa

Disana sudah Bab 3

Selamat Membaca

***

Banyak orang yang bilang bahwa rumah adalah tempat ternyaman bagi setiap istri, bahkan ada yang bilang rumah adalah istananya. Tapi apa ada istana yang selalu didatangi seorang perempuan yang berstatus ipar? Atau lebih ditepatnya mantan ipar?

Pasti jawabannya adalah tidak ada.

Tetapi ini pengecualian untuk Kinan, karena ia sendirilah yang merasakan hidupnya tersingkir akibat iparnya. Awalnya ia menerima semua ini dengan senyuman saat bocah kecil perempuan itu datang dan membuat ramai rumah yang  semula sepi. Tapi kebaikan yang ia tebar di awal itu berubah menjadi bencana.

"Lebih baik kamu bersenang-senang dengan mereka Mas." Saat hatinya mendung ia membutuhkan sandaran untuk tempat ia mencurahkan isi hatinya. Tetapi saat itu nyatanya ia diabaikan, ia merasa sendiri.

"Jika kamu bahagia maka aku akan mundur." Bukan angan karena ini sepertinya akan terjadi, sekuat apapun Kinan berusaha mempertahankan, nyatanya ia kalah dengan pesona Diana. Kalau ada julukan janda selalu di depan maka itu tepat untuk Diana.

"Tidak ada hal yang membuatku sakit saat orang yang aku sayangi mengabaikan diriku." Mengutarakan isi hatinya Kinan berusaha waras, dimana saat ini ia hanya bisa menatap pantulan cermin yang menampilkan wajahnya yang sembab. Membayangkan masa depan pernikahannya yang diambang kehancuran membuatnya harus tetap kuat.

Tok... Tok... Tok.

Suara ketukan pintu membuat Kinan menghapus air matanya yang keluar, ia harus pura-pura baik, setidaknya di depan orangtuanya. Kinan berdiri, melangkah membukakan pintu.

"Ibu." Wanita paruh baya itu tersenyum dan mengangguk. "Ayo makan, Ibu sudah buatkan kamu sarapan."

"Iya Bu." Kinan keluar dengan mengekori langkah Ibu, ia tidak bisa menolak meskipun nafsu makannya menurun sekalipun. Karena Ibunya adalah salah satu orang yang paham akan dirinya.

Saat mereka sampai di meja makan, tangan perempuan paruh baya itu menuangkan semua lauk dan sayur ke atas piring milik Kinan. "Meskipun hati kamu tidak baik-baik saja, tapi perut kamu harus terisi." Ucapnya dengan nada penuh perhatian.

Kinan menunduk, ada sesuatu yang ada di relung hatinya yang menghangat yang mampu membuatnya kembali mengeluarkan air mata. Namun sebisa mungkin ia harus menahannya.

"Dimakan Kinan."

"Iya Bu." Mengusap ujung kedua matanya ia menyuapkan makanan yang sudah disiapkan sang Ibu.

Mereka menikmati makan sarapan dengan keheningan. Setelah selesai, Kinan bergegas membantu Ibunya untuk membereskan peralatan makan, "Biar Bibi saja, kamu istirahat."

"Biar Kinan bantu."

"Tidak usah. Bibi bisa menyelesaikan hal itu." Tolak Ibu kepada putrinya, "Lebih baik kamu istirahat wajah kamu pucat." Sudah satu minggu sejak kejadian itu dimana Kinan keluar dari rumahnya dan kembali hidup di rumah masa kecilnya.

Kinan mengangguk, ia memutuskan kembali ke kamar tidurnya dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Tubuhnya lemas dengan pikiran yang tidak hentinya memikirkan apa yang harus ia lakukan. Bercerai, kah? Atau berjuang kembali? Ada dua sisi hatinya yang selalu bertentangan saat ia memikirkan hal itu.

Ibu memang perhatian dengan Kinan, tapi Ibu tidak pernah ikut campur di rumah tangga anaknya. Dia hanya melihat dan mengamati tanpa mau ikut campur langsung, karena menurut Ibu anaknya sudah dewasa dan pastinya paham akan apa yang mereka pilih. Seperti juga saat Kinan dan Seno memutuskan untuk menikah.

"Kalian serius mau menikah?" Tanya Ibu saat Seno mengutarakan keinginannya. Seno menatap sekilas perempuan yang duduk disampingnya, dan mengangguk pasti. Seno sudah kenal lama dengan Kinan, bahkan mereka sudah menjalin hubungan ini bertahun-tahun. "Iya Bu, Seno dan Kinan serius. Makanya Seno meminta izin Ibu terlebih dahulu sebagai orangtua Kinan." Ayah Kinan sudah lama meninggal, menyisakan Ibu dan Kakak Kinan yang tinggalnya di luar kota.

"Ibu setuju. Karena hati Ibu juga berharap akan hal ini. Tapi bagaimana dengan keluargamu? Apa mereka mampu menerima Kinan?" Bagaimanapun pernikahan itu dibutuhkan restu keluarga kedua belah pihak. Seno menatap Ibu dengan raut wajah meyakinkan.

"Keluarga saya menerima Kinan dengan tangan terbuka Bu." Tidak ada halangan untuk kisah cinta mereka.

"Kalau begitu Ibu ikhlas melepas putri Ibu." Melihat putrinya akan hidup bahagia dengan orang yang ia cintai membuat hati Ibu rela melepaskannya.  Bagi seorang Ibu saat anaknya bahagia maka ia akan bahagia juga.

***

Tubuh Kinan malam ini menggigil, ditambah rasa lemas membuatnya susah untuk bangkit. Tetapi ia harus bangkit untuk membuang hajat kecil. Belum juga ia sampai di depan kamar mandi, rasa pening menyerangnya kuat hingga ia jatuh pingsan.

Suara dentuman khas orang jatuh membuat Ibu terbangun, entah ini firasat atau apa, Ibu merasa kondisi putrinya hari ini cukup memprihatinkan. Ibu bergegas menuju kamar tidur Kinan, membuka dan mendapati tubuh Kinan sudah tak sadarkan diri dan membuatnya histeris.

"Kinan! Bangun. Kinan." Tepukan Ibu layangkan ke pipi milik putrinya itu, ditambah mencoba mencari bantuan. Bibi yang mendengar teriakan dari majikannya sontak terbangun dan mencoba mendekati sumber suara. Tubuhnya termangu saat melihat dua majikannya sedang berada pada kondisi tidak baik-baik saja.

"Bi panggilkan Pak Usman. Ayo kita bahwa Kinan ke rumah sakit." Tanpa menunggu lama tubuh Kinan sudah berada di dalam mobil yang membawanya ke rumah sakit.

Dalam perjalanan itu Ibu menatap pilu wajah putrinya, Ibu tahu bahwa rumah tangga putrinya sedang tidak baik-baik tapi ia tidak bisa ikut campur, hanya doa yang bisa ia panjatkan.

Tangannya terulur mengusap wajah Kinan, wajah yang semakin hari semakin tirus. "Kuat Kinan, kamu harus Kuat. Tidaklah kamu mengingat perjuangan dirimu sampai di posisi ini? Bagaimana kamu membalas cemoohan orang yang mengatakan kamu tidak memiliki Ayah?" Untaian kata itu keluar begitu saja, Ibu tahu bahwa putrinya adalah perempuan dengan kekuatan yang lebih. Tumbuh tanpa seorang Ayah membuat putrinya itu merasakan kejamnya dunia. Disaat diluaran sana seorang Ibu bisa membagi waktu di rumah dengan anaknya, Ibunya harus banting tulang untuk menghidupi kedua anaknya itu.

"Sandaran kamu hanya sama Tuhan nak, bukan manusia. Ingat itu." Mungkin jika Kinan sadar pasti ia akan memikirkan hal itu, tapi posisinya sekarang ia tidak sadarkan diri.

Sampai akhirnya mobil berhenti di depan UGD, Pak Usaman berjalan keluar untuk memanggil para medis guna membantunya membawa tubuh majikannya.

Tubuh Kinan masuk ke ruangan UGD, Ibu yang melihatnya hanya bisa  menunggu di luar dan merapalkan doa. Tidak ada orangtua yang akan baik-baik saja saat melihat tubuh putrinya dalam keadaan seperti itu.

"Semoga Kinan baik-baik saja."

Tak berbeda jauh dengan pria yang malam ini hanya bisa menatap langit ruang kamar tidurnya. Dimana ia merasakan kegelisahan yang tak berkesudahan, egonya mengatakan ia harus dengan keputusan ini, tetapi hatinya mengatakan sebaliknya.

Tbc

Lepaskan ✔ (KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang