Khawatir?

6.7K 724 36
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Haechan hendak mengambil buku paket yang ada di loker. Namun, ia cukup terkejut ketika mendapati satu coklat dan surat di tempat itu. Padahal dia sudah mengganti serta membawa kunci loker miliknya agar tidak ada yang sembarangan membuka atau meletakkan sesuatu di sana. Kenapa sekarang kejadian lagi?

"Udah lama gak ngeliat benda-benda itu muncul di loker lo," celetuk Yoshi yang juga ingin mengambil buku.

"Gue bingung, Ci. Padahal kuncinya udah gue ganti, kok masih ada yang bisa ngebuka?" tanya Haechan seraya menutup dan mengunci loker miliknya kembali.

"Perlu lihat CCTV kelas buat nyari tau siapa orang yang cukup gak sopan buka-buka loker lo lagi?" ujar Yoshi.

"Gak usahlah, ngapain," balas Haechan sembari berjalan ke arah tong sampah yang berada di dekat sisi pintu kelas, membuang surat serta coklat pada tempat tersebut.

Semua pergerakan Haechan tak luput dari perhatian kedua netra Jeno. Entah sadar atau tidak, pemuda itu tersenyum. Mungkin dia senang karena Haechan membuang hadiah dari penggemarnya.

"Seneng lu ngeliat Haechan ngebuang hadiah dari fansnya?" celetuk Jaemin dengan nada suara dan raut yang menyebalkan. Sepertinya dia cenayang.

Jeno menoleh, lalu mendelik ke arah pemuda itu. "Apaan, sih? Gak jelas lo!" ujarnya jengkel.

"Halah! Pake ngeles segala. Bilang aja kalau seneng kali, ngapain gengsi?" balas Jaemin mengejek. "Suka bilang, Jen."

"Gak, ya!" Jeno kembali mendelik sini.

Jaemin mencibir dengan malas. "Iya, deh, yang ada di hati lo, kan, cuma Mark seorang. Sedangkan yang lain digusur."

BRAK!

"ENGGAK YA, ANJING! NAJIS GUE! GAK MAU LAGI! GAK SUDI!"

Bukan hanya Jaemin yang terkejut karena Jeno tiba-tiba saja berdiri sambil menggebrak meja, kemudian berteriak keras. Semuanya terkejut dan memandangi pemuda itu dengan ekspresi bingung.

Termasuk Haechan. Namun, pemuda yang masih memiliki banyak misteri tersebut, hanya tertawa untuk beberapa detik saat melihat tingkah kekasihnya.

"Kalem, Jen. Kalem. Lo bikin sekampung kaget tau," kata Jaemin seraya mencoba menyuruh Jeno duduk kembali. "Duduk, nyok, duduk."

Jeno mendengus sinis, menyingkirkan tangan Jaemin yang hendak memegang tangannya. Lalu dia duduk dengan ekspresi wajah kesal.

"Lo semua ngapain lihat-lihat gue, hah?!" Pemuda itu berkata judes pada seisi kelas yang tengah memperhatikannya. "Lo kira gue badut?!""

Mereka semua buru-buru mengalihkan pandangan, lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing.

"Kalem, Jen. Yaelah," kata Jaemin.

"Apa lo!" balas Jeno judes, wajahnya cemberut.

"Santai, babi!" ujar Jaemin ikut jengkek. "Itu tangan lo gak sakit ngegebrak meja?" tanyanya cukup khawatir. Gebrakan meja yang dilakukan Jeno sangat memakai tenaga.

"Gak usah ngomong sama gua. Kita musuhan jilid ke enam puluh tujuh," sahut Jeno datar.

"Si tolol!"

Haechan terkekeh melihat dan mendengar pembicaraan mereka berdua, dan ingin sekali menggodai sang kekasih sekarang. Tapi, dia sedang tak memiliki semangat karena kepalanya sedikit pusing. Lebih baik dia tidur barang sejenak selagi menunggu bell berbunyi.

"Ntar bangunin gue kalau guru udah di kelas, Hoon," kata pemuda itu pada Jihoon yang duduk di sebelahnya.

"Yoi, bro," sahut Jihoon.

Jeno melirik ke tempat Haechan berada. Dia sedikit heran kenapa pemuda itu tidak merecokinya. Padahal kalau ia sudah mulai ribut dengan Jaemin, Haechan akan bersemangat untuk ikut menggoda juga. Tapi, sekarang tidak. Jadi lebih diam, dan malah meletakkan kepala di atas meja dengan kedua tangan sebagai bantalan.

"Dia tidur?" gumam Jeno pelan.

"Tanyainlah, Jen. Samperin ke bangkunya. Terus nanya, kamu tidur, sayang? Capek, ya? Mau aku pijitin gak? Gitu," cetus Jaemin.

Jeno mendelik gusar. Kenapa pemuda itu bisa mendengar gumamannya, sih?

"Gak usah ngomong sama gue!"

Jaemin tertawa tanpa dosa. "Kayanya Haechan lagi kurang sehat, Jen. Gue perhatiin mukanya gak bersemangat gitu. Pucet."

Tuh, kan. Bukan hanya Jeno yang menyadari kalau wajah Haechan tampak pucat. Tidak salah lagi, pasti pemuda itu sakit.

"Kalau kata gue sih, mendingan lo samperin dia deh, Jen. Tanya apa dia baik-baik aja atau enggak. Kalau perlu lo bisa langsung bawa dia ke ruang kesehatan buat istirahat di sana," kata Jaemin.

Jeno bergeming, mengatupkan mulutnya rapat-rapat dengan mata yang terfokus pada Haechan. Tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah ia mengikuti perkataan dari Jaemin?

"Ya elah, banyak mikir bener lu! Ilangin itu gengsi, Jen. Gue tau lu khawatir sama dia," ucap Jaemin lagi. "Sono, samperin, anjir!"

Jeno menggerakan bibirnya meledek Jaemin, mendumelkan sesuatu tidak jelas. Dengan agak ragu, pemuda itu berdiri, lalu melangkah mendekati tempat duduk Haechan. Jaemin yang melihatnya segera mengacungkan jempol bangga.

Jeno sudah berada di samping Haechan, tapi pemuda itu hanya berdiri diam, terlihat ragu ingin mengeluarkan suara. Jihoon yang tadi fokus bermain game bersama Yoshi akhirnya menyadari kehadiran Jeno. Mereka saling melirik dan menyenggol lengan satu sama lain, tidak lupa sebuah senyuman tersungging di bibir keduanya.

"Lagi tidur, Jen. Kalau ada perlu, bangunin aja," ucap Jihoon karena gregetan melihat Jeno hanya diam saja berdiri di samping Haechan dengan wajah yang tampak ragu untuk mengeluarkan suara.

Jeno menatap pada Jihoon dan Yoshi, kemudian menggerakan bibirnya tanpa mengeluarkan suara.

"Dia kenapa?"

"Capek kayanya, sih," jawab Yoshi. "Lo gak berani bangunin? Biar gue bantuin, nih."

Jeno segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, menolak tawaran dari Yoshi.

"Gak usah, gak ada perlu, kok! Biarin dia tidur," sahut pemuda itu seraya membalikan badan.

Namun, saat ingin melangkah, tangannya ditahan oleh seseorang. Ia menoleh untuk melihat siapa yang berani memegang tangannya. Ternyata Lee Haechan.

Jeno membuka mulut hendak bersuara, tetapi pemuda itu sudah terlebih dahulu menariknya mendekat dengan lembut, sehingga ia tersentak, lalu terduduk begitu saja di pangkuan Haechan.

Pinggang Jeno dipeluk erat oleh dua tangan Haechan. Pemuda itu sendiri menyandarkan dagunya di bahu sang kekasih.

Bukan hanya Jeno yang terkejut oleh apa yang dilakukan oleh Haechan, tapi semua murid di kelas. Bahkan sudah ada yang mengabadikan momen tersebut dengan ponsel.

"Boleh gak sih, gue berharap kalau lo nyamperin gue ke sini karena khawatir?" kata Haechan dengan senyuman menawan yang ditunjukkan hanya pada Lee Jeno seorang.

Jeno berkedip, wajahnya merona. Bukan hanya kalimat atau perlakuan Haechan padanya, tapi karena jarak wajah mereka saat ini sangat dekat. Bahkan ia bisa merasakan hembusan napas pemuda itu.

.

.

Tbc.

Hallo semuanya~

Mr.Sucks(Hyuckno) END ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang