08. Telinga Tanpa Mata

54 13 16
                                    

"Jadi, sampai kapan kita kayak orang lumpuh plus bisu begini?" Jani mengubah posisi duduknya jadi berbaring dengan telapak kaki yang menempel di kaca samping. Bete banget sumpah, batinnya sudah meronta.

"Sampai monster buluk itu berhenti makan mobil dan minggat dari sini," balas Tara.

Makan mobil?

Seriously?

Ya. Itu yang tengah dilakukan makhluk besar menjijikkan itu.

Ini sudah mobil kedua yang dicabik-cabik dan dikunyah lalu dipaksa masuk ke kerongkongannya. Bukan mengamankan, alarm mobil mewah itu malah menawarkan
diri agar monster itu melahapnya.

Jika mobil yang ditempati Jani saat ini berada di barisan ke-empat, maka mobil yang menjadi mangsa si monster buluk itu ada di barisan ke-dua. Artinya mereka dipisahkan satu barisan saja sehingga mereka bisa melihat kekonyolan itu dengan cukup jelas tanpa harus keluar mobil.

"Itu monster bego atau gimana, ya?" Jani mendengus. "Itu mobil, loh. Mobil! Udah
super keras, nggak ada nutrisinya, nggak enak pula!" celetuk Jani.

"Definisi gede-gede tolol," sambung Tara.

Satya memutar bola matanya. "Bukan itu yang mesti dipikirin, lol."

"Maksud lo?" tanya Tara.

"Kalian belum ngeh?" tanya Satya dengan alis mengernyit. "Tiap ada suara, monster
itu pasti tertarik. Ringtone hape, mesin mobil dan alarm mobil. Makin besar suara
yang dia dengar, makin bikin dia tertarik. Contoh; suara mesin mobil bikin dia beralih
dari ringtone-nya cewek ini," ujarnya panjang kali lebar dengan melirik Jani pada akhir kalimat.

Sekarang gantian Jani yang mengeryit. Cewek ini katanya?! Gue punya nama, woy! protesnya dalam hati.

"Satu lagi." Satya merogoh saku dalam jasnya, sebuah benda pipih berwarna hitam
pun digenggamnya. Ibu jarinya dibuat berulang kali menekan tombol on, pasalnya
ponsel berlogo apel itu tidak kunjung menyala. Sudah dapat ditebak, ponsel itu kehabisan baterai.

Satya mendengus. Padahal ada sesuatu yang ingin dia perjelas dengan memanfaatkan kamera handphone-nya. Ketika pandangannya menjelajah, retina matanya menangkap sesuatu di genggaman Jani; sebuah ponsel. Namun, gengsi membuatnya memalingkan wajah ke Tara. "Tar, lo ada hape?"

"Hape?" Tara merogoh saku celana jeans sobek-sobek selutut yang dikenakannya. "Lah, anjir. Hape gue mana?!"

Jani mencondongkan tubuhnya. Lengannya bertumpu di kursi yang diduduki Tara. "Beneran nggak ada?!"

Tara kembali merogoh saku celananya karena dia mengenakan kaos tanpa saku. "Nggak ada!"

"Mungkin jatuh pas lari tadi, Tar?"

"Ah, elo sih, Jan!"

"Loh, kok jadi gue?!"

"Ya karna lo segala minta gendong di tangga darurat tadi!"

"Heh! Gue gak minta, ya! Lo yang maksa asal lo ingat!"

"Terus elo mau gue tinggalin gitu aja? Hah?!"

"BERISIK, BOCAH!" Satya ikut tersulut emosi. "Kalau aja itu monster gak lagi-"

"B-bengong?"

Jani dan Tara yang sebelumnya tengah adu bacot pun ikut-ikutan cengo. Sebelas-duabelas dengan Satya.

Bagaimana tidak?! Sepanjang peradubacotan memekakkan telinga yang dilakoni oleh Jani dan Tara, si makhluk menjijikkan itu malah melongo menatap langit-langit basement tanpa tanda-tanda mendengar lalu menyerang seperti yang dilakukannya tadi.

When Death Comes TwiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang