11. Rasa Bersalah

33 6 2
                                    

"Jeff, stop, Jeff!" Soya menepuk bahu Jeff. Entah sudah berapa banyak Soya menepuk bahu cowok itu hari ini.

Usai roda motor tidak lagi berputar, Jeff mengedarkan pandangannya. Situasi ini ... entahlah, mereka harus mengucap syukur atau malah menambah waspada. Sebab tidak ada satupun dari mayat hidup yang Jeff dan Soya temui sejak melewati lapangan tadi.

Alis Jeff mengernyit, mendengar suara tangis. Pikirnya salah dengar, namun Soya yang turun dari motor dan menghampiri semak-semak membuatnya menangkis pikiran itu.

Seorang anak perempuan memeluk lututnya. Punggungnya bergetar diiringi suara tangis. Soya yakin betul kanibal tidak menangis. Makanya, dia berjongkok di depan anak itu.

"Kak."

Soya menoleh. Memperhatikan air wajah Jeff yang terlihat khawatir. "Apa?" bisiknya.

Jeff menggeleng. Menunjukkan keraguannya akan anak itu. Lagipula, siapa yang percaya seorang anak kecil yang tengah duduk di semak-semak ini bukanlah mayat hidup? Kan aneh bila dia bisa selamat dari infeksi mayat hidup setelah pakaiannya compang-camping dan penuh darah begitu. Jika memang ada yang percaya, orang itu mungkin hanya Soya.

Soya malah memberikan senyuman. Lantas memusatkan perhatiannya pada sang anak perempuan yang tangisnya mulai berhenti. Mengetahui kehadiran kedua orang berbeda gender di depannya.

Soya berdeham canggung. "Mm, D-dek?"

"Kamu enggak apa-apa?" sambungnya.

Anak itu enggan menunjukkan wajahnya, malah mengintip dari sela tangannya. Bisa Soya lihat meski tangisnya telah berhenti, tubuhnya masih bergetar. Mungkin ketakutan.

"Dek, kamu kenapa bisa di sini?"

Lagi-lagi, Soya tak diacuhkannya. Soya yang tak berani menyentuhnya-khawatir membuatnya makin takut-memilih merogoh kantung sweater rainbow nya, mengeluarkan sebungkus cokelat batangan. Ujung kemasan berwarna ungu itu telah sobek.

"Mau cokelat enggak? Tapi maaf ya, cokelatnya sisa separuh."

"Mama bilang aku nggak boleh percaya sama orang asing, apalagi kalau dikasih permen atau cokelat. Itu namanya sogokan," tukas si anak perempuan.

Dalam hati Soya terkejut. Anak itu sekalinya ngomong mirip Lily.

Soya terkekeh. "Ini bukan sogokan kok, cokelatnya kan cuma separuh."

Akhirnya anak itu mendongak, menatap Soya dan bungkus ungu cokelat itu bergantian dengan tatapan polosnya. "Berarti kalau cokelatnya utuh baru namanya sogokan ya Kak?"

Soya tertawa sampai matanya sisa segaris. Cewek dengan senyum menawan itu mengangguk. "Iya, bisa dibilang begitu." Soya menyodorkan lagi cokelatnya. "Ayo ambil. Kalau takut atau lapar, cokelat ini jadi enak banget loh."

Tangan kecilnya menerima cokelat itu. Lantas memakannya dengan binar gembira. Di sela-sela kunyahannya, dia mengangguk senang. "Huum, cwokelatnywa jwadi enwak bwanghet."

"Kalau cokelatnya masih di mulut jangan ngomong dulu ya, takutnya keselek soalnya Kakak nggak bawa air minum," pinta Soya seraya menepuk puncak kepala anak itu.

Membiarkan anak itu makan dengan tenang, Soya menoleh pada Jeff seraya tersenyum. Matanya seolah berbicara seperti 'lihat, anak ini bukan kanibal karena dia masih suka cokelat!'

Dan Jeff menghembuskan napas pasrah seraya mengangguk. "Ekhem. Kak, udah makin sore."

Soya mengacungkan ibu jarinya. Tepat ketika dia menoleh lagi ke si anak perempuan, bocah itu baru saja menelan kunyahan cokelat terakhirnya. Matanya berkedip bingung, diperhatikan dua orang di depannya.

When Death Comes TwiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang