09. Bertemu

46 6 2
                                    

“Aduh!”

Motor yang dikendarai oleh Jeff berhenti mendadak. Soya yang tadinya tengah melamun jadi terbentur punggung cowok di depannya.

"Ada apa sih, Jeff?" Meski kesal, cewek itu tetap tak mengubah gaya bicara lembut khasnya. "Jeff? Kenapa?" ulangnya.

"Itu apa ya, Kak?" Jeff menatap sesuatu dengan raut bingung. "Aneh."

"Mana?"

"Samping pohon pinus."

"Pohon pinus gak cuma satu, Jeff."

"Itu, tuh! Itu!" Jeff menunjuk-nunjuk ke suatu—entahlah. Berada di antara pohon pinus yang jaraknya cukup jauh dari mereka.

Soya memicingkan matanya, tapi detik berikutnya ringisan kecil terdengar dari bibirnya. “Maaf, kurang kelihatan, Jeff. Aku minus dua koma lima.”

“Astaghfirullah. Maaf Kak.”

Soya mengangguk. "Emangnya itu apa sih? Kelihatannya kayak batu aja tuh. Gak ada bergerak.”

“Iya, tapi terlalu aneh buat disebut batu nggak sih? Dan lagi, kayaknya Jeff baru kali ini lihat ada batu sebesar itu di situ.”

“I-iya. Aku juga baru pertama kali lihat," ujar Soya.

"Mm, kayaknya kita harus lanjut sekarang. Udah sore soalnya."

“·♪·„

Banyaknya makhluk tak waras yang orang sebut 'zombie' di perumahan ini membuat mereka menghabiskan cukup banyak waktu di jalan. Terkadang Soya dan Jeff harus menyelip ke semak-semak, garasi rumah orang, bahkan meninggalkan motor sementara mereka bersembunyi di selokan.

Hari sudah semakin petang, sekitar delapan ratus meter lagi rumah Soya dan ketiga adiknya akan terlihat. Namun, sebelum itu mereka harus melewati satu-satunya lapangan bola di perumahan Hortensia Indah ini.

Rasanya baru kemarin Soya dan ketiga adiknya ke sini, menonton pertandingan bola sambil menikmati berbagai macam jajanan pedagang kaki lima yang biasanya berjajar di sepanjang trotoar. Lebih tepatnya sih, jajan sambil sesekali nonton. Karena selain tak mengerti bola, mereka ke sana hanya demi Anjani yang mengidam-idamkan jajanan kaki lima di sana.

Suasana hangat itu terekam jelas di kepalanya. Saat Anjani sangat antusias melihat beragam jenis kuliner di depannya. Saat Ella dan Lily berebut seblak yang hanya sisa satu porsi. Saat keramaian masih terasa sangat hidup dan nyata.

Namun, kini memori itu bagai mimpi yang entah dapat lagi terjadi atau tidak. Takdir benar-benar tidak bisa ditebak sekarang.

Soya sudah bersiap melihat kenyataannya. Tetapi bukan kenyataan yang sekejam ini. Tidak untuk yang semengerikan ini. Sungguh.

Kubangan darah di mana-mana. Tubuh-tubuh yang tak lagi utuh seperti; cairan kental berwarna putih mengalir dari kepala yang sudah tak utuh atau isi perut terurai membuat jantung kembali menggedor rusuk hingga terasa nyeri. Tubuh-tubuh itu ... masih mungil. Mereka adalah tubuh dari anak-anak tak berdosa.

Soya memalingkan wajahnya. Matanya memanas hingga air telah menggenangi pelupuk mata. Kepalanya terasa berdenyut nyeri. Sesuatu seperti mengganjal di tenggorokannya—ingin muntah.

Hatinya masih berharap sekarang ini dia masih berada di alam mimpi. Lalu terbangun ke dunia yang semestinya. Tapi semua ini terasa begitu nyata. Sangat nyata hingga terasa mengiris hatinya.

Soya tidak lagi dapat membendung air matanya. Dia biarkan cairan bening itu mengalir bebas. Menyalurkan rasa sakitnya.

Ya Tuhan, mereka anak-anak tak berdosa.... Kenapa Kau buat mereka mati dalam keadaan seperti itu? Bahkan aku yakin, arti mati pun mereka tak tahu. Lalu kenapa mereka? Tak cukupkah bila hanya aku dan adik-adikku yang mengalaminya dulu?

When Death Comes TwiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang