Langit telah gulita. Seorang cewek berambut cokelat dengan airpods di telinganya tengah membiarkan jemarinya bergerak di atas keyboard laptop hingga menimbulkan bunyi tak-tik yang khas. Beberapa kali jemarinya berhenti, matanya menerawang jauh, lantas kembali mengetik dengan tegas.
Dia Soyara. Seorang penulis yang tak bisa meninggalkan naskahnya meski satu hari saja. Selalu memerlukan ketenangan demi menyalurkan buah pikiran. Dan berusaha mengendalikan diri agar mendapatkan tenang adalah suatu keharusan baginya. Maka di sinilah Soyara. Menikmati senyapnya kamar ini sendirian. Anjani, Rosella maupun Lilyana paham betul apa yang kakak sulungnya itu butuhkan jika sudah berkata akan menulis. Beri Soyara waktu sendiri.Kata demi rangkaian kata Soya baca dengan khidmat. Sampai scroll bar telah berada tepat di atas ikon panah ke bawah, bibirnya membentuk garis lengkung. Dalam beberapa ketukan, layar itu menjadi hitam. Ditutupnya laptop itu seraya melepas airpods dan meletakkannya di meja.
Berdiri dari kursi kerjanya, dia berjalan menghampiri kasur empuk yang menjadi alas tidurnya selama hampir sembilan tahun ini. Dia berbaring menatap langit-langit kamar.
Ingatan kejadian yang dilaluinya hari ini berputar bagai film klasik di kepalanya. Darah. Tangisan. Jeritan. Kematian. Aneh rasanya ketika kau baru saja berjuang keras di posisi hidup dan mati namun tiba-tiba saja sadar bahwa itu telah berlalu dan kau tengah tersenyum—merasakan tubuh yang seolah dipijat oleh keempukan kasur di bawahmu.
Aneh. Namun itulah yang dirasakan Soyara.
Dia ingat, sepuluh tahun lalu, jangankan merasakan keempukan kasur. Bernapas saja rasanya sulit sebab saat itu hanya ruangan sempit itu yang bisa dijadikan tempat mereka berlindung.
Jangan sampai terjadi lagi.
“AAAAAKH!”
Soya mendadak duduk dengan mata membesar. “Ella!”
Dia beringsut turun dari kasur. Berlari keluar kamar menuju asal suara—kamar sebelahnya. Soya masuk bersamaan dengan Jeff yang sepertinya juga mendengar teriakan Ella. Soya memelankan langkahnya menghampiri Ella yang berada dalam dekapan Lily. “Kenapa?!”
Balkon kamar yang terbuka berhasil menarik perhatian Jeff. Tak kunjung dapat jawaban, Soya pun mengikuti cowok itu. Namun, pergelangan tangannya dicekal.
Anjani. Meski tak mengucapkan sepatah kata pun, Soya dapat menangkap sorot kekhawatiran dari mata cewek itu. Tetapi Soya memilih melepas cekalannya, melihat sendiri apa hal yang membuat adik-adiknya cemas.
Ketika menginjak lantai balkon, hal yang pertama didengarnya adalah suara besi yang seperti dipukul-pukul oleh benda tumpul. Berikutnya Soya dibuat merinding kala mendengar suara geraman khas yang amat membekas di ingatannya sejak sepuluh tahun lalu.
Napasnya tertahan. Yang ditakutkannya terjadi. Di sana, tepat di depan pagar rumahnya. Puluhan zombie berdesak-desakkan seakan berniat mendobrak pagar hitam itu dan menjadikan semua orang di rumah ini santapan makan malam.
“Shit!” Jeff mengusap gusar wajahnya. “Sesuatu bikin mereka ke sini!”
Anjani menajamkan pendengarannya. Sesaat kemudian matanya membesar. “Listrik!”
“Hah?”
“Ish! Itu- apa namanya?!” Jani berlari tergesa keluar kamar. “GENERATOR!” teriaknya bersamaan dengan suara pijakan anak tangga yang menggema.
Merasa dibutuhkan, Satya beranjak mengikuti Anjani menuju ruang penyimpanan generator di halaman belakang untuk menonaktifkannya.
Pandangan berubah hitam bersamaan dengan bising generator yang padam. Suara gebrakan pagar pun berangsur hilang. Para zombie itu bergerak linglung tak tahu arah.
“·♪·„
Jarum jam hampir menunjukkan pukul tujuh. Ekspektasi Ella adalah menyantap makan malam yang lezat dengan khidmat setelah menjalani hari yang melelahkan. Realitanya; Ella kesulitan menyuap makanannya akibat minim penerangan yang hanya mengandalkan emergency lamp. Bonusnya dia pun merasa was-was karena....
“Gak akan ada lalat yang nempel di makanan lu kali,” celetuk Jani. Cewek itu terlihat santai saja menyantap hidangannya bersama kelima orang lainnya. Berbanding terbalik dengan Ella yang terlihat lapar namun kerap kali memajukan wajahnya sampai berjarak 5 sentimeter demi memeriksa spaghettinya masih aman atau tidak.
“Rumah ini bersih dari lalat ya, Kak?” tanya Jeff polos. Toh memang sejak awal main ke rumah ini dia tidak pernah diganggu lalat.
Jani menahan tawa. “Bukan. Lalatnya takut budeg dengar teriakan Ella.”
Ella mendengus. “Kak Jani bisa diam gak, sih? Emang Kak Jani bisa jamin kalau makanan aku aman? Hm?”
“Lebay.”
Ella mendengus (lagi), pun menyantap mie yang telah dia tatap lamat-lamat tadi. Cewek kuncir kuda itu memang yang paling doyan makan dari tiga saudarinya yang lain. Namun soal kebersihan, dia juga nomor 1. Kalau kata Anjani, Ella itu lebih lebay dari Soyara yang notabenenya alergi debu dan berpenyakit asma.
Ella mendekatkan kipas angin portable mini berkarakter Hello Kitty di genggamannya. Berusaha menepis udara panas yang menyergap akibat Air Conditioner yang tak bisa menyala tanpa listrik. “Lagian kenapa sih kita nggak pakai genset silent aja?” protesnya.
“Dikira beli genset semurah beli cilok apa?!” Jani pun sama, memegang kipas portable mini. Bedanya punya dia berwarna merah muda polos. Sesekali dia mengarahkan kipas itu pada Lily agar tak kegerahan juga.
Jumlah mereka tujuh orang. Sementara kipas itu hanya ada empat. Maka mereka sepakat 1 kipas untuk 2 orang, kecuali Satya yang memang kebagian sendiri.
Jeff menahan tawa. Tampaknya hanya cowok itu yang menikmati perdebatan Tom and Jerry di depannya seakan perdebatan mereka adalah hiburan gratis. Sementara tamu mereka; Satya dan Tara, hanya bisa sesekali menatap bergantian dua kakak-adik itu. Lily? Cewek berwajah datar itu bisa-bisanya makan dengan tenang seolah tak ada keributan di sekitarnya.
“Tapi kalau begini sama aja gak bisa dipakai.”
“Udah diam, sssst.” Soya meletakkan garpu ke atas piring kosongnya. Porsi makan yang sedikit membuat dia selalu selesai lebih dulu.
Tak menghiraukan teguran sang kakak, Jani kembali menyahuti Ella. “Apa kata lu?”
“Useless! Gak bisa dipakai! Kakak nggak dengar?”
“Useless?” Anjani mengetatkan rahangnya. “Lu pikir anak umur empat belas tahun yang masih trauma bisa inisiatif ganti genset?!”
Atmosfer mendingin seketika. Lily meletakkan sumpitnya. Menghunus Ella dan Jani lewat tatapan tajamnya. Tumbuh bersama sejak lahir membuat Lily paham betul tabiat mereka. Dia selalu mengabaikan perdebatan kedua orang itu selama masih batas wajar. Namun jika sudah mulai menyinggung masa lalu mereka, apalagi Soyara, maka Lily sudah tak bisa abai.
Jeff yang kebetulan duduk di sisi kiri Ella—entah sejak kapan kehilangan humornya—mengusap tangan sang pacar yang tengah membisu. Ucapan Jani barusan tentu menohok hati Ella. Namun bukan itu yang dikhawatirkan, melainkan anak umur 14 tahun yang Jani maksud—Soyara. Ella berkata maaf lewat tatapan sendunya pada wajah teduh sang kakak sulung.
Jani menatap marah Ella. “Kenapa diam?”
“Udah.” Soya menghela napas. “Hargai makanan yang ada di depan kalian.”
“Maaf, Kak.”
“·♪·„
Notes:
InsyaAllah part selanjutnya lebih panjang (ini aku double up) yeay!
Terima kasih, see ya^^
KAMU SEDANG MEMBACA
When Death Comes Twice
AdventureKekacauan terjadi di mana-mana. Darah dan tubuh yang sudah tak lagi utuh seolah menjadi hiasan di sepanjang jalan. Jangankan tertawa, bernapas dengan normal saja sulit kami lakukan. Aku, Kak Ella, Kak Jani, dan Kak Soya pernah mengalami insiden sepe...