Langit tengah menunjukkan warna terindahnya. Perpaduan antara merah, jingga, dan kuning keemasan membuat siapapun yang memandangnya akan memunculkan binar pada matanya.
Namun, di sebuah kamar tidur bernuansa mewah ini, keindahan cakrawala itu hanya dibiarkan mengintip dari sela antara vitras putih jendela dengan lapisan gorden abu-abu berserat.
Listrik di rumah keempat putri Yudhistira ini telah kembali berfungsi usai Satya menyalakan generator beberapa menit lalu. Suhu ruangan terasa terkendali, tak panas tapi tak juga dingin. Cahaya dari beberapa lampu LED pada plafon ditambah lampu tidur di atas nakas dan sudut ruangan tampak cantik tanpa menyilaukan mata. Nakas berwarna kuning itu berada di antara ranjang kembar dengan bed cover bernuansa dove grey. Di atas headboard, dua buah lukisan abstrak bertengger elok.
Soyara tengah terpejam lemah di atas salah satu ranjang. Baju yang tadinya bernoda darah telah berganti menjadi piyama lilac dengan motif bunga daisy. Sebuah bantal berwarna putih menjadi tumpuan di bawah kakinya, membuat posisi kepala berada lebih rendah daripada kaki.
Di sampingnya, Anjani menatap cemas wajah teduh Soyara seraya mengusapi tangan dinginnya. Ella duduk termenung di ranjang sebelah, pipinya masih basah dengan wajah yang merah. Netranya menatap kosong lantai granit motif kayu di bawahnya.
Sejak Soyara dibaringkan di sini, hanya bunyi khas jarum jam dinding yang berhasil memasuki rungu mereka. Mereka seolah kelu untuk bicara di tengah situasi semrawut ini.
Beberapa detik berikutnya, suara ketukan pintu terdengar diikuti kenop pintu yang dibuka oleh seorang cewek berwajah datar. Dia membawa nampan berisi secangkir teh berwarna putih kekuningan. Tampak uap-uap tipis yang berasal dari isi gelas itu. Menandakan bahwa minuman yang dibawanya masih panas.
Ella bangkit dari duduknya, berjongkok, lalu menarik laci terakhir dari sebuah meja nakas yang diapit dua ranjang. Mengambil sebuah tas berwarna merah dengan lambang '+' berwarna putih sebelum kembali menutup laci nakas itu. Usai memberikan tas P3K itu pada Jani, Lily meletakkan nampannya di atas nakas.
Sebuah botol kecil berisi cairan bening kolonye sudah berada di tangan kiri Jani dan kapas di tangan kanannya. Lantas meneteskan beberapa tetes kolonye ke kapas yang dipegangnya. Dirasa cukup, Jani menahan kapas itu di depan hidung Soya. Hal yang selalu mereka lakukan untuk menyadarkan sang kakak sulung.
Ella menangis lagi. Rasa cemasnya terhadap sang kakak sulung tak dapat tertahan. Di antara ketiga saudarinya, Ella memang yang paling perasa. Baginya, menahan tangis hanya akan menjadi boomerang terhadap dirinya sendiri. Sejak kecil hal itu selalu ditanamkan oleh ibu mereka–Airin. Jangankan memarahi anak-anaknya bila cengeng, kalimat 'jangan menangis' pun rasanya tak pernah keluar dari mulutnya.
Maka dari itu, sampai detik ini baik Lily, Jani dan Soya tak pernah melarang Ella menangis. Justru sebisa mungkin mereka menenangkan Ella hingga tangisnya mereda dengan sendirinya, seperti yang Lily lakukan saat ini–merengkuh tubuh sang kakak seraya mengusapi punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Death Comes Twice
AdventureKekacauan terjadi di mana-mana. Darah dan tubuh yang sudah tak lagi utuh seolah menjadi hiasan di sepanjang jalan. Jangankan tertawa, bernapas dengan normal saja sulit kami lakukan. Aku, Kak Ella, Kak Jani, dan Kak Soya pernah mengalami insiden sepe...