Beberapa menit berlalu dan suasana masih secanggung tadi. Sampai Soya memecah keheningan. “Anjani,” panggilnya.
“E-eh? Iya, Kak?”
“Soal awards tadi. Maaf ya, listrik padam sebelum kami lihat kamu terima trofi. Jadi gimana? Cerita dong,” ujar Soya diakhiri senyuman. Astaga, kakak sulung mereka itu memang berhati malaikat.
Ella menyeringai. “’Sebelum kami lihat kamu terima trofi?’ Emangnya dapat?”
“Oh, ceritanya ngeremehin nih?”
Dimulai lagi. Memang mereka ini tak ada lelahnya berdebat. Mentang-mentang pernah menjuarai lomba English debate tingkat provinsi.
Jani menyabet ponselnya di atas meja. Meninggalkan piring yang masih tersisa sedikit spaghetti, dia beranjak mencari keberadaan trofinya bermodalkan senter ponsel. Sialnya dia lupa di mana tempat dia meletakkan benda itu.
Jani memang belum sempat bercerita sambil menunjukkan trofi kebanggaan barunya pada mereka bertiga. Karena baru siuman dari pingsan, Soya jelas belum tahu-menahu. Sementara Lily dan Ella seharusnya sudah melihat saat pertama kali pulang tadi. Tapi entah kenapa Ella seolah tidak tahu dan malah meremehkannya.
Maka demi menyumpal mulut bocah songong itu dengan trofi barunya, Jani sampai mondar-mandir dari ke ruang tamu, kamar tamu, ruang keluarga, kamarnya dan Soya, kamar Lily dan Ella, sampai kembali ke dapur karena tidak menemukannya. Bodo amat wajah menyebalkan Ella.
“Tara!” Jani menyorot senter ke wajah Tara—yang sialnya setampan itu sampai membuat Jani shock tiga detik tanpa berkedip—seraya menengadahkan tangan kanannya. Padahal niat awalnya dia yang membuat Tara kaget.
Tara mengernyit. “Apa?”
Jani menurunkan senternya, menyorot tak tahu arah. “Ehm. Kunci mobil,” katanya memajukan tangan kanannya.
Tara terdiam sebelum menjawab. “Astaga, Jan. Tahu sendiri situasi luar jauh dari kata aman. Jangan cari mati dengan mobil gue. Cicilan belum selesai,” ujarnya dramatis.
“Haish! Buruan mana!” Jani tahu cowok itu tidak serius. Kentara dari cengiran bodoh tapi kelewat tampan—mungkin efek minim cahaya jadi glow in the dark—khas Tara. God, kenapa gue jadi salting gini?!
Cowok yang baru saja menyelesaikan makannya itu merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kunci. Selepas memegang benda yang dicari, Jani kembali meninggalkan dapur.
Tara menggeleng heran. “Riweuh.”
“Padahal aku cuma bercanda loh,” kekeh Ella.
“Kamu kayak nggak tahu tabiat kakakmu aja, Dek,” sahut Soya.
Lily pun mengangguk. Dia merapikan sisa makan malam mereka dibantu Soya.
Decitan kursi membuat mereka serentak menatap seseorang yang baru berdiri—Ella. Cewek itu menyengir sebelum melesat menuju pintu toilet di pojok ruangan dapur. “Kebelet!”
Soya menggeleng. “Anak itu, kebiasaan.”
Sementara di sisi lain, Anjani tampak mendengus kesal seraya menutup pintu MPV hitam milik Tara. Pikirnya trofi itu ada di sini mengingat dia sudah mencari ke sekeliling rumah, tetapi hasilnya nihil juga.
Jani mengusap rambut gusar. “Anjrit! Di mana sih itu trofi?!” Dia menyandarkan tubuhnya di kap mobil. “Tadi kan masuk rumah, ke kamar Kak Soya, kamar Lily, kamar mandi, ruang keluarga.... Oh, terus kamar Kak Soya lagi, terus ...”
“... AH! Tempat generator!”
Benar ternyata benda itu tengah nangkring di atas sun lounger dekat tempat penyimpanan generator. Menghela napas, Jani menggapai benda berwarna emas mengkilap itu lantas memeluknya seraya berjalan kembali ke dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Death Comes Twice
AdventureKekacauan terjadi di mana-mana. Darah dan tubuh yang sudah tak lagi utuh seolah menjadi hiasan di sepanjang jalan. Jangankan tertawa, bernapas dengan normal saja sulit kami lakukan. Aku, Kak Ella, Kak Jani, dan Kak Soya pernah mengalami insiden sepe...