38. Genocide

42 9 31
                                    

~◇~◇~◇~

Tengah Malam, Kediaman Alger.....

Athanasia terus mondar-mandir di ruang kerja sang ayah, gadis itu memasang raut wajah cemas sejak tadi. Entah kenapa hatinya terasa tidak tenang dan gundah. Claude serta Felix pun juga terlihat mulai khawatir.

Keduanya terus menatap layar monitor di hadapan mereka sejak beberapa saat yang lalu. Sudah beberapa jam mereka tidak mendapat kabar lagi dari ketiga sahabat itu.

"Kenapa jam segini mereka belum mengabari kita?" Ucap Athanasia sedikit panik.

"Itu benar. Ini sudah jam 12 malam." Martha melirik jam di tangannya.

Athanasia menggigit jari, Michaela yang berada di sebelahnya pun berusaha menenangkannya. Berkata bahwa Lucas dan kedua temannya pasti akan baik-baik saja.

Claude mengernyitkan dahinya, sesekali dia mengetuk-ketukkan jari telunjuknya di atas meja. Layar monitor di hadapannya hanya menampilkan garis lurus. Belum ada tanda-tanda kemunculan gelombang suara lagi.

Claude menghela nafasnya panjang. Pria paruh baya itu menyisir rambutnya, lantas beranjak dari kursinya. Ia hendak mengambil sesuatu.

TUT!! TUT!! TUT!!

Tiba-tiba terdengar suara peringatan dari komputer miliknya, Claude pun mengurungkan niat dan segera kembali ke kursinya. Bola mata pria itu seketika melebar.

"Tuan Claude! Alat komunikasi Tuan Lucas dan Nona Clara terputus!"

DEG!

Athanasia yang mendengar hal itu langsung terhenyak, ia lantas segera bangun dan berlari menghampiri meja kerja sang ayah, dirinya ikut menatap monitor. Athanasia menutup mulutnya.

Dua garis lurus berwarna merah terpampang di layar, menandakan kedua alat itu telah mati. Gadis bersurai blonde itu semakin panik.

"Apa yang terjadi, Ayah?! Kenapa alat komunikasi mereka bisa mati?!" Tanya Athanasia agak histeris.

"Kurasa mereka telah tertangkap."

DEG!!

Claude mengusap wajahnya frustasi, ia menatap serius komputer di hadapannya dan mencoba untuk melakukan sesuatu.

"Felix! Coba kau sambungkan lagi alat komunikasi mereka!"

"Baik, Tuan Claude."

Iris Athanasia mulai bergetar, tubuhnya juga ikut terasa lemas. Martha sontak berlari menghampirinya.

"Semuanya akan baik-baik saja, Athanasia. Percayalah." Ujar Martha.

"L-lalu, bagaimana dengan Xavier?? Apakah alat komunikasinya juga mati??" Tanya Athanasia panik.

Claude tidak langsung menjawab. Pria paruh baya itu meletakkan dagunya di tangan, menggigit bibir.

"Belum ada informasi terbaru terkait Tuan Xavier." Ucap Felix.

Athanasia menghela nafasnya gundah. Gadis itu meremas rambutnya dahinya frustasi, Martha hanya bisa berusaha menenangkannya meski dia sendiri pun merasa tidak tenang.

"Kita tunggu dulu untuk beberapa saat. Kuharap ada kemajuan tentang penyihir itu." Ujar Claude.

Athanasia diam tidak merespon. Ia hanya bisa mengatupkan kedua tangannya dan berdo'a.

"Lucas, Clara, Xavier. Kumohon kembalilah dengan selamat." Lirihnya.

Markas The Black Fox, Pukul 00:00 Malam....

Under the Moonlight (Suddenly, I Became a Princess) -DISCONTINUED-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang