"GET OUT OF MY HOUSE, BASTARDS!"
Tepat sehari sebelum saudara-saudara jauhnya pulang, Jay dengan raut wajah kesalnya itu mengusir mereka berempat karena ketiga adiknya Arden membuat masalah lagi. Sang kakak yang telah menegur adik-adiknya berkali-kali itu sudah lelah dengan keadaan.
Kali ini bukan masalah yang seperti hari sebelum-sebelumnya, melainkan masalah perihal kondisi rumah Jay sekarang yang sudah mirip kapal pecah.
Teriakan Jay yang begitu menggelegar di ruang tengah itu mampu membuat ketiga orang yang sedang memberantakkan isi rumahnya tersebut langsung berhenti.
"Beresin itu semua dan pergi dari rumah gue! Gue capek sama kalian yang gak punya etika sama sekali saat nginep di rumah orang!" Bentak laki-laki berahang tajam itu dengan muka marah.
Arden menghela napas pasrah, lalu mulai bergerak untuk membereskan kekacauan yang dibuat oleh adik-adiknya. Namun, saat hendak berjongkok untuk mengambil bungkus snack yang tergeletak di lantai, ia ditahan oleh Jay.
Pemuda berusia enam belas tahun itu menatapnya, lalu mengukir senyum simpul di bibirnya. "Lo gak usah. Mereka bertiga yang bikin masalah. Lagi pula, lo pasti capek negur adek-adek lo berkali-kali, tetapi gak didengerin," ucapnya ramah.
Kepala laki-laki yang lebih tua dari Jay itu sedikit tertunduk, merasa tidak enak dengan penuturan Jay barusan. Sorot matanya menyiratkan kelelahan dan rasa bersalah yang teramat besar.
"Tetapi, gue kakak mereka. Kalo gue gak ikut beresin ini, gue jadi ngerasa gak berguna sebagai anak pertama," timpalnya jujur.
Si Mata Elang terdiam sebentar.
Sesulit itukah jadi anak pertama? Seberapa banyak beban yang ia pikul di bahunya selama ini? Apakah Arden tidak malu karena memiliki tiga adik yang kelakuannya buruk sekali?
Selama keempat orang itu tinggal di rumahnya, Jay tidak pernah sekali pun melihat Arden berbuat seenaknya dan justru, pemuda berusia sembilan belas tahun itu selalu baik pada keluarganya. Bahkan, Arden sering membantunya untuk menyiapkan makan siang dan makan malam.
Lantas, laki-laki bermarga Park itu menepuk pelan kedua bahu kokoh milik Arden. "Bahu lo kuat banget, padahal beban yang lo pikul itu banyak dan berat banget. Namun, mau sampe kapan lo nanggung kesalahan-kesalahan orang lain yang jelas-jelas bukan salah lo, hah?"
"Mau sampe kapan begitu terus? Arden, gue tau kita gak deket. Tetapi...."
Jay menurunkan kedua tangannya, menatap sosok yang ada di hadapannya saat ini dengan penuh arti.
"Lo adalah sosok yang baik dan sabar. Lo pantas mendapat kehidupan yang lebih baik daripada sekarang. Seharusnya, adek-adek lo bangga karena punya kakak yang baik kayak lo." Secercah cahaya pada kedua mata Arden muncul, namun ia belum berani mengangkat kepalanya.
Sedangkan, ketiga adiknya hanya saling menatap satu sama lain dengan sorot mata sulit diartikan.
Jay menghentikan ucapannya. Kemudian, ia pun mengalihkan atensinya kepada tiga insan yang masih mematung di belakang Arden. Tatapannya berubah, sama sekali tidak ada kelembutan pada wajah laki-laki itu.
Kemudian, kakinya pun berjalan ke arah mereka bertiga dengan langkah tenang. Tak lama setelah ia sampai di depan Harry, Jay pun berkata, "lo paling bungsu di antara empat saudara, namun kelakuan lo yang paling sering bikin darah gue naik."
Harry spontan menutup mata takut ketika kepalan tangan Jay terangkat tinggi, hendak meninjunya. Namun, ia tidak merasakan apa pun setelah beberapa selang waktu ke depan.
"Gue gak akan mukul orang kalo orang itu gak mulai duluan. Tetapi, lo tetep salah karena udah ngerendahin keluarga gue. Maaf karena udah bikin lo takut tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] THE ZOMBIE PLAGUE 2 : REVENGE
Ação[DIHARAPKAN UNTUK MEMBACA S1-NYA TERLEBIH DAHULU!] Tak ada lagi kekacauan, tak ada lagi ketidakadilan, tak ada lagi kekejaman, dan tak ada lagi mayat hidup yang berkeliaran. Semuanya akan kembali seperti sedia kala.